25.9 C
Jakarta

Asa Membangun Pesantren di Amerika

Baca Juga:

Mohamad Fadhilah Zein
Mohamad Fadhilah Zeinhttp://menara62.com/
Jurnalis, Produser, Ghost Writer, Youtuber, Kolumnis. For further communication contact fadil_zein@yahoo.com

Apa yang tidak mungkin dalam hidup ini? Jika ada kemauan, maka ada jalan. Begitu pepatah petitih yang selalu diajarkan pada kita semua dalam banyak kesempatan. Begitu pula yang diyakini Imam Shamsi Ali, seorang dai yang sekarang ini menjabat sebagai Presiden Nusantara Foundation dan Direktur Jamaica Muslim Center. Dengan predikatnya yang demikian luar biasa, maka bisa dibayangkan bagaimana kesibukannya.

Aktivitasnya seabreg, mulai dari ceramah, bertemu dengan pejabat, berdiskusi dengan banyak orang, menggelar virtual meeting hingga pulang pergi New York-Jakarta yang tujuan utamanya adalah bagaimana Islam dan Indonesia bisa dikenal oleh masyarakat internasional, khususnya Amerika Serikat. Mengapa demikian?

“Saya memiliki pertanyaan dalam diri sendiri, mengapa Islam Indonesia tidak populer di kancah global. Padahal Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Tapi, tidak terlalu populer jika berbicara tentang Islam, kalah dengan Malaysia,” kata Imam Shamsi Ali saat menggelar Sharing Session Imam Shamsi dengan para wartawan di Hotel Harris Suites, FX Sudirman, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Perjuangannya panjang karena obsesinya tidak mudah, yakni membangun pondok pesantren di atas lahan 7,5 hektar di Moodus, sebuah desa berhawa dingin di kota Haddam Timur, Connecticut, Amerika Serikat. Jika Anda punya cukup uang, coba sesekali berlibur di daerah ini, pasti akan menemui keramahan warga setempat dan tentunya juga pondok pesantren yang dikelola Imam Shamsi.

 

Pondok Pesantren Nur Inka Nusantara Madani yang berada di Amerika Serikat

“Saya sangat berharap dengan adanya pondok pesantren dan Nusantara Foundation, maka bisa membawa nama Indonesia lebih populer lagi,” sambungnya sambil tersenyum.

Anda tentu bertanya, pesantren seperti apa yang hendak dibangun. Apakah pesantren kumuh seperti yang banyak ditemui di Jawa? Ataukah yang megah seperti banyak bertebaran di pusat-pusat kota Indonesia?

Imam Shamsi menegaskan pesantren yang dibangunnya mampu menyelenggarakan program pendidikan dan pembinaan agama Islam khas pesantren di Indonesia. Dalam catatan, kekhususan dan pengecualian yang disesuaikan situasi dan kondisi di Amerika.

“Kita menginginkan para santri nantinya mengenal sekaligus menyebarkan Islam yang berpegang pada Al-Quran dan As-Sunnah, Islam yang teduh, damai, bersahabat, menghormati kebebasan HAM, merangkul demokrasi dan modernitas,” lanjutnya.

Bagi Imam, tentu visi itu menjadi hal yang harus diperjuangkan. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Pondok pesantren di Amerika itu diberi nama Pesantren Nur Inka Nusantara Madani yang diharapkan menjadi tempat dialog dan kerjasama dengan semua umat.

Kegiatan santri di dalam pondok pesantren

Amerika Serikat adalah negara yang memang “memuja” HAM dan demokrasi. Dalam bukunya Politik dan Pemerintahan Amerika, Prof. Bambang Cipto menyebutkan demokrasi merupakan prinsip dasar pembangunan watak bangsa Amerika. Demokrasi telah menjadi American Ethos dan menjadi nilai-nilai pengatur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang senantiasa ada dalam kehidupan masyarakat AS selama ratusan tahun. Demokrasi telah menjadi tradisi yang kokoh sejak diproklamasikannya Deklarasi Kemerdekaan AS 4 Juli 1776. Dalam bahasa Thomas Jefferson, demokrasi dan HAM telah terefleksi dalam life, freedom, and pursuit of happiness sebagai nilai-nilai yang senantiasa mengilhami para imigran yang datang ke AS.

Dengan nilai demikian, akan menjadi menarik, se-kompatibel apa nilai-nilai demokrasi yang “dipertuhankan” Amerika dengan Islam yang begitu banyak aturan dan larangan? Ini menjadi tugas Imam Shamsi dan seluruh pihak yang terkait. Dia menunjukkan bahwa apa yang sudah dikerjakannya selama ini dapat diterima oleh mayoritas warga Paman Sam. Apa bukti?

Silakan Anda kunjungi link berikut ini untuk mengetahui apa yang telah diraih Imam Shamsi selama 24 tahun di Amerika. https://nusantarafoundation.org/imam-shamsi-ali/penghargaan/

Berbicara tentang demokrasi dan HAM tidak lepas dari kondisi politik suatu negara. Begitu pula Amerika. Imam Shamsi memiliki pandangan yang menarik tentang situasi sosial politik di sana.

“Ada perbedaan suasana ketika Presiden Amerika Donald Trump dan yang sekarang Joe Biden,” katanya dengan mimik muka serius.

Menurutnya, sosial politik di era Trump terbangun suasana anti Islam karena memang Trump itu sosok yang anti Islam, sekaligus rasis.

“Bagi Trump dan pendukungnya, Islam itu agama non-white dan ditakuti,” ujarnya.

Pernyataan Imam Shamsi tidak berlebihan. Jika kita lihat selama kepemimpinan Trump, Islamophobia memang begitu gencar. Paling dirasakan ketika awal 2017, pria yang memiliki rambut ikonik ini melarang warga muslim dari 7 negara masuk ke Amerika, yakni Suriah, Iran, Irak, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman.

“Ini jelas kebijakan yang anti Islam. Namun, berkat izin Allah, dakwah Islam di Amerika Serikat terus berkembang, dan Trump pun dikalahkan,” kata Imam Shamsi.

Hal yang berbeda ketika Amerika dipimpin Joe Biden. Imam Shamsi menaruh banyak harapan, salah satunya adalah Biden merupakan politisi yang banyak bersentuhan dengan imigran. Dengan begitu, dia menjadi orang yang mudah simpati, empati dan memahami karakteristik banyak orang.

“Joe Biden cepat tersentuh karena memang sejak kecil tinggal di wilayah miskin,” katanya.

Amerika memang beruntung dengan terpilihnya Joe Biden. Anggaran perang yang besar di era Trump, dipangkas habis di era Biden. Partai Demokrat yang mengusung Biden adalah partai yang memang “menjual” isu-isu social services. Tidak pelak, jika Demokrat berkuasa, maka anggaran yang paling besar adalah selalu berkaitan dengan kepentingan sosial masyarakat.

“Jadi, menurut saya, tidak benar jika kemudian ada anggapan bahwa Demokrat menang, maka hobinya perang. Justru yang terjadi, ketika Partai Republik berkuasa, maka anggaran militer begitu melonjak. Ketika Demokrat berkuasa, anggaran yang paling besar adalah berkaitan dengan isu sosial. Itu lah mengapa Demokrat sering kali disebut sosialis,” cerita Imam Shamsi.

Dengan situasi sosial politik yang demikian dinamis, pembangunan pesantren di Amerika tentu memiliki banyak suka dan duka. Di atas lahan tersebut sudah ada beberapa gedung yang dibangun. Santrinya juga sudah ada. Warga Amerika yang tertarik disambut dengan hangat, sekedar bincang-bincang seputar Islam dan Indonesia, atau ingin tahu kegiatan apa di dalam pesantren.

Imam Shamsi menekankan santri harus mampu berdialog dengan warga sekitar dan menunjukkan keramahan.

Hal yang menjadi persoalan adalah cicilan selama dua tahun yang harus dibayar Nusantara Foundation kepada pemilik lahan sebelumnya. Cicilan per bulan untuk membebaskan lahan mencapai $18.750 atau sekitar Rp246 juta. Itu belum biaya operasional harian pesantren dan sewa lawyer yang tentunya tidak sedikit.

Jadi, menjadi tugas kita semua untuk berpartisipasi agar Islam Indonesia lebih populer lagi di Amerika Serikat. Imam Shamsi sudah bertekad Indonesia harus menjadi negara dengan populasi muslim yang lebih dikenal lagi dalam pergaulan internasional.

“Meski kita menggunakan Nusantara Foundation, tapi kita tidak ada hubungannya dengan Islam Nusantara,” kata Imam Shamsi sambil tersenyum. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!