JAKARTA, MENARA62.COM– Minimnya aturan hukum tentang kekerasan seksual yang menimpa perempuan menjadi fokus Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Terkait itu, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan berkunjung ke kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di bilangan Jakarta Timur, Rabu (1/2), untuk bertukar informasi dan menyerap masukan dari pimpinan LPSK.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Indriyati Suparno, selain RUU PKS, kehadiran mereka ke LPSK juga untuk membahas mengenai upaya perlindungan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan seperti di Aceh maupun Papua. “Aceh sudah memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR), tetapi penyelesaian kekerasan seksual belum masuk prioritas KKR,” ungkap Indriyati yang hadir bersama komisioner Komnas Perempuan lainnya.
Selain Indriyati, komisioner Komnas Perempuan yang hadir antara lain Saur Tumiur Sitomorang, Irawati Harsono, dan Sri Nurherwati. Mereka diterima Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai bersama Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo didampingi sejumlah tenaga ahli dan pejabat struktutal di lingkungan LPSK.
Indriyati berharap, KKR Aceh dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, juga memasukkan penyelesaikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Untuk itulah, pihaknya sangat berharap KKR Aceh dapat memiliki mekanisme perlindungan saksi dan korban, khususnya dalam kasus kekerasan seksual dengan LPSK sebagai lembaga yang bertugas melindungi saksi dan korban sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Komisioner Komnas Perempuan Saur Tumiur Sitomorang mengungkapkan, selain Aceh, kekerasan seksual juga menimpa kaum perempuan di Papua. Bahkan, kekerasan seksual di Papua tergolong berlapis, baik yang diakibatkan karena pembiaran oleh negara, kekerasan seksual oleh komunitas karena budaya dan kekerasan seksual di ranah privat. “Kita ingin tahu, apakah sudah mekanisme perlindungan bagi perempuan di sana (Papua),” tanya Saur.
Sedangkan Komisioner Komnas Perempuan lainnya Irawati Harsono menuturkan, terkait RUU PKS, saat ini sudah dibahas di Badan Legislasi DPR dan masih menunggu apakah selanjutnya akan dibahas melalui panitia khusus (pansus) atau panitia kerja (panja). Mengenai substansi dari RUU PKS, kata dia, salah satu yang belum memiliki payung hukum adalah kekerasan seksual. Karena di KUHP sendiri, hanya disebutkan dan diatur mengenai perkosaan dan pencabulan.
Masih kata dia, di dalam RUU PKS akan diatur lebih jelas mulai dari pelecehan hingga penyiksaan secara seksual. Khusus pelecehan seksual sendiri nantinya akan dibuat gradasinya hingga 9 lapisan sehingga lebih komprehensif. “Pembahasan RUU PKS memang memakan waktu dan cukup lama hampir 3 tahun,” ujarnya.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, pihaknya sangat mendukung Komnas Perempuan dalam menyusun RUU PKS yang sudah masuk Prolegnas 2017. LPSK juga siap membantu dan dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut.
Karena saat ini saja, LPSK terlibat dalam beberapa pembahasan peraturan perundang-undangan, seperti revisi UU KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. “LPSK akan mempelajari naskah akademik RUU PKS dan selanjutnya LPSK akan meresponnya dengan membuat position paper,” ujar Semendawai kepada Menara62.
Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengapreasi kunjungan Komnas Perempuan. Hal tersebut penting dalam membangun jejaring antar instansi. Karena saat ini, menurut Hasto, instansi yang bergerak dalam penegak hukum dan hak asasi manusia terlalu asyik dengan tugas masing-masing sehingga lupa untuk membangun jejaring guna meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat.