JAKARTA, MENARA62.COM– Poligami kadang menjadi isu yang sensitif, penolakan terhadap praktik ini cukup marak, tak terkecuali di tubuh organisasi islam modern terbesar Tanah Air, Muhammadiyah.
Namun, praktik poligami ternyata pernah dilakukan oleh pendirinya, Kiai Ahmad Dahlan. Hal ini dikisahkan oleh Widiyastuti, salah seorang keturunan Kiai Dahlan melalui booklet yang berjudul “Kenangan Keluarga Terhadap KHA Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan (2010). Widiyastuti adalah generasi ketiga Ahmad Dahlan dari Siti Walidah. Kini, ia merupakan salah satu Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
Kiai Dahlan memulai kehidupan pribadinya sebagai seorang suami ketika menikahi Siti Walidah, putri dari Kyai Fadhil Kamaludiningrat, penghulu Kraton Yogyakarta pada tahun 1889 pada saat usianya 20 tahun. Siti Walidah sendiri pada sat itu berusia 17 tahun.
Siti Walidah yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan adalah seorang perempuan yang sangat cerdas. Sebagai putri seorang ulama dia juga mengalami masa pingitan sehingga dia tidak mengikuti pendidikan formal. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari budaya masyarakat pada saat itu yang menganggap perempuan cukup di rumah dan tidak perlu belajar di luar rumah.
Namun kecerdasan Siti Walidah tidak dapat dibendung karena ternyata menikah dengan Muhammad Darwis (nama kecil Kiai Dahlan), yang memberinya peluang mengembangkan diri. Pernikahannya dengan Siti Walidah ini menghasilkan 6 orang putra yaitu, Wahban, Sieradj, Siti Busyro, Siti Aisyah, Jumhan, dan Siti Zuharoh.
Setelah mendirikan Muhammadiyah, Kiai Dahlan menikah dengan 3 orang perempuan. Istri keduanya adalah Ray Soetidjah Windyaningrum atau Nyai Abdullah, janda muda yang diberikan Kraton kepada Kiai Dahlan. Menurut Widyastuti (2010), sebagai abdi dalem, tentunya Kiai Dahlan tidak dapat menolak pemberian Sultan, karena hal itu menandakan Sultan merestui pembaharuan yang dilakukan Dahlan yang berbasis di Kampung Kauman. Kampung ini merupakan basis ulama Kraton Yogyakarta.
Namun istri kedua ini tetap bertempat tinggal di Namburan, tidak pindah ke Kauman. Kiai Dahlan dinikahkan oleh kakak Siti Walidah dengan Nyai Abdullah dengan tujuan untuk memberi warna Muhammadiyah di Kraton Yogyakarta.
Widyastuti (2010) juga mengisahkan bahwa Nyai Abdullah akhirnya diceraikan oleh Kiai Dahlan. Kisah perceraian inipun sangat unik, karena dilakukan melalui surat yang disampaikan oleh kakak Siti Walidah. Sayangnya, catatan Widyastuti tidak menjelaskan alasan perceraian tersebut.
Pada suatu saat, Kiai Dahlan berkunjung ke rumah Nyai Abdullah. Namun mantan istrinya ini bertanya, “Kenapa kiai kemari, bukankah saya sudah kiai ceraikan ?”. Akhirnya Kiai Dahlan membatalkan kunjungan tersebut, karena pada saat itu mereka sudah tidak terikat ikatan suami-istri. Melalui pernikahan dengan Nyai Abdullah, Dahlan dikaruniai seorang putra bernama R. Dhurie. Ray.
Selain Nyai Abdullah, Kiai Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Rum, adik dari salah seorang Kiai NU di Krapyak. Kiai NU tersebut meminta Kiai Dahlan menikahi adiknya, agar ada sinergitas gerakan antara NU dan Muhammadiyah. Namun pernikahan ini hanya sekadar status saja, mereka kemudian bercerai tanpa meninggalkan keturunan.
Kisah pernikahan lain Kiai Ahmad Dahlan terjadi ketika ia melakukan perjalanan dakwah. Saat itu Kiai Dahlan singgah di Cianjur Jawa Barat. Seorang Penghulu Ajengan Cianjur (penghulu bangsawan) merasa kagum dengan kepandaian dan pemikiran-pemikiran Kiai Dahlan. Ia ingin menikahkan putrinya yang bernama Aisyah dengan Kiai Dahlan.
Penghulu Ajengan ini hanya menginginkan adanya keturunan dari Kiai Dahlan di Cianjur. Ia sama sekali tindak menuntut agar Dahlan bertempat tinggal di Cianjur setelah menikahi putrinya. Pernikahan keempat ini menghasilkan seorang putri bernama Siti Dandanah. Nyai Aisyiyah masih sangat muda ketika dinikahi oleh Kiai Dahlan, yaitu berusia 15 tahun.
Kiai Haji Ahmad Dahlan sangat memahami bahwa poligami akan sangat menyakiti perempuan. Meskipun Nyai Walidah tidak pernah melarangnya untuk menikah lagi, namun Kiai Dahlan sangat menjaga perasaan istri pertamanya, dengan tidak menempatkan istri-istrinya itu dalam satu rumah.
Poligami yang dilakukan oleh Kiai Dahlan memang sebuah fakta sejarah, namun yang harus dipahami adalah alasan dilakukannya poligami tersebut. Ahmad Dahlan tentunya punya pertimbangan matang sebelum memutuskan menikah lagi. Selain sudah disetujui oleh Siti Walidah selaku istri tertua, ketiga pernikahan dilakukan atas dasar dakwah sekaligus sebagai bentuk penghargaan terhadap permintaan orang-orang yang ia hormati.
Sumber: khittah.co & Booklet Kiai Haji Ahmad Dahlan