Sekolah Lima Hari Diterapkan Karena Persoalan Ini

JAKARTA, MENARA62.COM– Kebijakan sekolah lima hari ini sebenarnya berpangkal pada dua persoalan mendasar: Pertama, soal hak dan kewajiban guru sebagai pendidik. Kedua, soal pentingnya memberikan kesempatan kepada para siswa agar punya kehidupan yang seimbang di dalam dan di luar sekolah. Ujung dari dua agenda itu adalah mengurangi satu hari sekolah dalam seminggu, dari enam hari menjadi lima hari.

Hal itu diungkapkan Fahd Pahdepie dalam laman facebooknya. Fahd Pahdepie dikenal sebagai penulis dan pembicara publik. Beberapa waktu lalu, Fahd bersama beberapa penulis, blogger dan internet influencers diundang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Dalam kesempatan tersebut, Menteri bercerita panjang lebar mengenai kebijakannya soal sekolah lima hari itu.

Menurut Muhadjir, selama ini para guru, terutama yang berstatus sebagai PNS, dibebani kewajiban mengajar, atau melakukan aktivitas lain sebagai pendidik, sebanyak delapan jam sehari atau 40 jam seminggu.

Ini tentu tak sesuai dengan kewajiban jam kerja PNS lain, karena kacaunya manajemen sekolah dan guru ini, untuk memenuhi kewajibannya banyak para guru di lapangan yang harus bekerja dan mengajar di banyak sekolah. Misalnya, selesai mengajar di sekolah A, harus langsung pergi ke sekolah B atau C agar bisa memenuhi beban mengajarnya.

Menteri Muhadjir melihat fenomena di atas sebagai sebuah kekacauan yang tak boleh dibiarkan. “Pertama, jika hal semacam itu diteruskan, manajemen sekolah tidak akan kunjung membaik. Ujungnya nanti soal pemerataan kualitas sekolah, tentu saja. Kedua, kasihan juga guru-gurunya, mereka akan kesulitan untuk berkonsentrasi, apalagi meningkatkan kualitas dan kapasitas individunya sabagai seorang guru.
Melalui Permendikbud Nomor 23 tahun 2017 ini, para guru akan lebih difokuskan untuk mengabdi di satu sekolah saja. Saat ia tidak mengajar, ia tidak dibebani oleh kewajiban jam mengajar yang lain tetetapi diberi ruang untuk melakukan tugas lain sebagai pendidik—semua aspek pendidikan yang bukan hanya ‘mengajar’ saja (sebab tafsir 40 jam seminggu yang berlaku selama ini untuk para guru, harus direalisasikan dengan jumlah jam ajar).
“Mengapa perlu lima hari dalam seminggu? Ini agar para guru juga punya hak dan kewajiban yang sama dengan PNS lain. Sekarang guru itu kasihan, mereka Sabtu tetap harus bekerja,” ungkap Muhadjir.

“Kalau para guru di sekolah enam hari seminggu, kapan mereka punya waktu untuk berlibur bersama keluarga? Kapan punya cukup waktu untuk mendidik anaknya sendiri di rumah? Masak mendidik anak orang lain terus sementara untuk anak sendiri tak punya waktu?” pungkas Muhadjir.

Bagi peserta didik, kebijakan FDS memberi waktu libur lebih banyak sehingga bisa dihabiskan bersama keluarga, Sabtu dan Minggu. “Saat ini, jika anak sekolah enam hari seminggu, praktis mereka hanya punya libur sehari saja dalam seminggu. Terlalu singkat untuk sebuah ‘liburan’ keluarga karena hanya akan membuat si anak lelah saja,” jelas Mendikbud.

Menteri Muhadjir berpendapat, seandainya anak-anak hanya sekolah lima hari saja dalam seminggu maka meraka akan punya waktu lebih banyak bersama orangtuanya di hari libur yang sama. Ia juga memperluas gagasan ini untuk mengubah waktu libur sekolah yang lain, disinkronkan dengan waktu libur PNS dan karyawan lain.

Delapan Jam Sehari

Lalu, bukankah sekolah lima hari dalam seminggu hanya akan membuat lima hari sekolah itu begitu padat, delapan jam sehari?

Dalam pasal 9 Permendikbud 23/2017, waktu delapan jam itu adalah waktu maksimal yang bisa diterapkan oleh sebuah sekolah, tapi sifatnya optional saja. Setiap sekolah bisa menyesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing, tentunya. Yang penting gurunya bekerja delapan jam sehari saja, anak-anak bisa diberi aktivitas lain yang positif di sekolah, mulai dari ekstrakurikuler, kegiatan seni dan olahraga, kegiatan agama, dan lainnya.

“Di sinilah letak relevansi kebijakan ini pada penguatan pendidikan karakter. Jika dididik oleh guru-guru yang terperhatikan hak-hak individulnya. Jika anak-anak memiliki keseimbangan psikologis yang lebih baik antara kehidupan di sekolah dan di rumah, maka misi menerapkan pendidikan karakter di sekolah bisa dimaksimalisasikan,” ungkap Fahd.

Kemendikbud menerapkan pendidikan karakter ke dalam empat aspek penting, yaitu olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olahraga. ‘Olah hati’ bisa direalisasikan dengan menerapkan aneka pendidikan tambahan seputar agama, akhlak, dan lainnya. Tujuannya agar peserta didik punya kecerdasan etik (akhlak) yang tinggi.

‘Olah pikir’ direalisasikan dengan kegiatan belajar mengajar di kelas. ‘Olah rasa’ bisa direalisasikan dengan aneka ekstrakurikuler yang dapat meningkatkan kecerdasan estetik siswa, misalnya musik, seni, sastra dan lainnya. Terakhir, ‘olahraga’, dengan waktu yang cukup di sekolah, siswa juga bisa didorong untuk menjadi individu yang lebih aktif dan sehat.

“Mengingat bahwa delapan jam sehari itu optionaluntuk sekolah dalam penerapannya, Kemendikbud tetap memberi ruang untuk para siswa atau orangtua yang ingin anaknya punya ‘pendidikan’ lain di luar sekolah. Bentuknya bisa apa saja, bisa les bahasa, private, kursus, dan tentu saja pendidikan agama di madrasah diniyah atau pesantren. Tak ada pembatasan sama sekali soal itu,” tutup Fahd, yang meraih gelar magister Hubungan Internasional dari Monash University.