31.6 C
Jakarta

Benarkah Demokrasi Milik Masyarakat Elit dan Oligarki?

Baca Juga:

Oleh : Ace Somantri

Puluhan tahun bangsa ini merdeka dari penjajahan Belanda dan negara lainnya, begitu informasi yang ditayangkan setiap tahun diperingati pada bulan Agustus di tanggal tujuhbelas yang dikenal dengan hari kemerdekaan Indonesia. Bersyukur atas berkat rahmat Allah Ta’ala bangsa ini merdeka walaupun pernyataan ikrar terbuka dengan cara dipaksa oleh beberapa pemuda Indonesia yang pemberani. Pantas dan layak para pemuda tersebut dikenang sebagai pelopor gerakan kemerdekaan, mungkin boleh dikatakan tanpa mereka yang berinisiasi menculik Soekarno didesak dan dipaksa untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.

Memang tepat apa yang dilakukan para pemuda tersebut, apapun alasannya kala itu andaikan tidak ada deklarasi proklamasi kemerdekaan entah seperti apa nasib bangsa hari ini, apakah lebih baik atau lebih buruk. Yang jelas, mereka para pemuda sangat berjasa pada pada bangsa ini.

Dengan gagah dan berani proklamasi kemerdekaan dikumandangkan secara terbuka. Sorak sorai di penjuru negeri menyambut kemerdekaan Indonesia, antusias rakyat kegirangan sebagai tanda bahagia tiada tara. Di saat itu, ada harapan besar bagi rakyat Indonesia walaupun berbagai regulasi dan legitimasi pasca kemerdekaan belum siap sedia. Demokrasi dijadikan rujukan, Soekarno Hatta memimpin negeri tanpa pemilu raya dikarenakan awal berdiri sebuah bangsa dan negara.

Dalam rangka mengawal bangsa, para pemimpin negara terus-menerus lari secara maraton melalui musyawarah ke musyawarah membahas kebutuhan instrumen negara hingga bertahap berbagai keputusan dihasilkan yang disepakati. Kegiatan tersebut proses perwujudan demokrasi saat awal berdirinya sebuah bangsa dan negara. Mereka berdua memimpin dalam proses pembentukan pondasi dan wujud negara atas teori trias politika, yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif. Istilah demokrasi menjadi ikon dalam pembangunan negara dan bangsa diberbagai negara dibelahan dunia hingga dilegitimasi oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Berkeadilan

Benarkah demokrasi itu berkeadilan, santun dan beradab bagi semua. Berat sungguh berat, teorinya memang bagus karena memberi spirit keadilan dan keadaban karena mekanisme mengambil kebijakan-kebijkan yang diputuskan melalui musyawarah mufakat. Nilai-nilai permusyawaratan bagian kecil dari ajaran yang diajarkan dalam agama Islam, khususnya …waamruhum syuuraa bainahum… Q.S. Asy-Syura ayat 38.

Segala sesuatu yang diputuskan untuk menjadi kebijakan publik atau orang banyak harus benar-benar hasil musyawarah yang melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat luas. Tujuan utama kebijakan publik semata-mata untuk kepentingan hajat orang banyak bukan segelintir orang, andaikan mengikuti segelintir orang tertentu dengan membawa kepentingan pribadi dan kelompoknya atas dasar hawa nafsu yang tidak disadari, maka konsekuensi dari perbuatan tersebut dapat dikategorikan mengingkari syari’at Islam di atas. Dampak dari sikap dan perbuatan tersebut akan banyak pihak yang dirugikan baik secara materil maupun immateril.

Demokrasi salah satu bagian nilai ajaran yang diadopsi dari agama langit, tata aturan dan mekanisme yang disepakati dalam term sosial ketatanegaraan dan kebangsaan. Namun sangat disayangkan, dalam implementasinya demokrasi menjadi kedok dan topeng para kaum elit masyarakat modern. Terlebih saat demokrasi diaplikasikan pada negara-negara berkembang, di mana kelas-kelas sosial masih kental jurang pemisah antara kaum proletar dan borjuis.

Konsekuensi jurang pemisah tersebut, secara otomatis kelompok kelas kaum elit nan borjuis akan mendominasi dari berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan akan selalu ada rekayasa sosial yang tiran dan otoriterian yang menghalalkan segala cara tanpa ada rasa belas kasihan, peka dan iba terhadap masyarakat proletarian yang papa dhu’afa. Keangkuhan dan kecongkakan sikap dan tindakan menjadi hiasan dalam kebijakan yang diputuskan dikarenakan para pemegang kebijakan akan dikendalikan oleh kaum borjuis kelas papan atas.

Katanya, masyarakat era ini adalah era modern segala sesuatu harus atas dasar kemampuan atau kompetensi skill yang dimiliki. Intinya hanya orang-orang mampu yang dapat mengambil peran-peran strategis, memang benar dan tidak salah penyataan tersebut. Akan tetapi pertanyaannya siapa orang-orang yang mampu dan kompeten? Pasti jawaban “gue banget gitu loh..” kalian semua miskin dan dungu tak ada guna.

Dalam pikiran mereka begitu karena merasa superior dari harta yang dimiliki serta faktanya bangsa kita rakyatnya menjadi pekerja dan pembantu di perusahaan dan rumah-rumah mereka. Kuli dan buruh, karyawan atau pekerja menjadi kelas bawah yang rendahan. Akhirnya masyarakat moderen hanya ada dalam genggaman tangan mereka yang berpendidikan dan berharta, dan itu semua berdampak pada sistem ketatanegaraan dan kebangsaan Indonesi.

Menurut Joseph Scumpeter dari Austria, ada teori demokrasi elit bahwa dalam masyarakat modern, demokrasi bukanlah partisipasi langsung semua warga negara, tetapi kompetisi antara kelompok-kelompok elit yang bersaing untuk memenangkan pemilihan. Benar adanya, apa yang dikatakan Joseph diatas, di Indonesia selama ini pemilihan umum hanya kompetisi para elit, sementara rakyat hanya dijadikan objek penderitaan.

Kata lainnya, bahwa demokrasi faktanya milik para oligarki, hanya mereka selama ini yang berani membiayai, walaupun penyelenggaraan menggunakan anggaran negara. Itu cukup untuk panitia pelaksana, suksesi para calon dimodali anggarannya oleh oligarki. Negara sekalipun membiayai tidak mampu berbuat banyak untuk melahirkan pemimpin berintegritas, akhirnya ruang tersebut diambil dan dibeli oleh oligarki. Dan itu semua terjadi diberbagai negara-negara yang menganut sistem demokrasi, rakyat hanya menonton melongo. Kadang yang prihatin, saat alam pikiran rakyat dibodohi dengan isu-isu calon presiden yang layak dan pantas sehingga membela dirinya mengeluarkan uang saku sendiri demi sosok calon yang dikehendaki hanya karena terpengaruhi oleh narasi dan diksi. Setelah tidak jadi calonnya, malah justru sering terjadi diujung kontestasi malah koalisi.

Receh-receh uang saku rakyat jelata disumbangkan demi calon pemimpin yang diharapakan, namun sangat menyakitkan saat diujungnya berkoalisi dengan alasan demi keutuhan negeri. Selanjutnya setelah koalisi ikut melegitimasi kebijakan yang menyakiti hati rakyat, saat itu terjadi pemimpin yang disumbang uang receh hanya diam diri seribu bahasa tanpa ada kontribusi sama sekali.

Dikebiri

Apakah hari ini akan terjadi kembali lagi fenomena di atas, selama demokrasi dikebiri dan dicuri oleh para elit negeri dan oligarki. Maka budaya korupsi saling curi satu sama lain terus akan terjadi ditubuh bangsa dan negara yang dihuni elit negeri, selama demokrasi dengan pola dan model sangat liberal yang sering dipuja-puji menjadi sistem yang paling jujur dan adil, padahal faktanya banyak merusak tatanan anak negeri.

Konsekuensinya dari sikap elit, pada akhirnya masyarakat ditingkat bawah pun akan melakukan hal sama karena melihat pemimpin di atasnya saling curi dan mengebiri hanya untuk pundi-pundi saku pribadi dan berankas di rumahnya sendiri. Hukum politik rimba akan menjadi tradisi dan budaya negeri, fakta dan nyata demokrasi hanya milik kaum elit negeri. Rakyat hanya menjadi stempel demokrasi, saat rakyat sakit menjerit kesakitan karena sulit kerjaan, langka bahan pangan yang murah, sulitnya keadilan dan lain-lain yang diakibatkan oleh ulah tindakan oligarki dan elit bangsa. Tidak peduli dan tidak mau ambil pusing, lebih baik diam dan sembunyi karena tak ada materi masuk dalam saku dan nomor rekening.

Demokrasi liberal tetap saja hanya kedok dan kemasan penuh tipu-tipu. Kejujuran dan keadilan bukan pada demokrasi melainkan ada pada keimanan dan moralitas yang bersumber pada ajaran kebaikan agama dan nilai-nilai kemanusiaan bersumber pada hati nurani. Sejahat-jahat hewan, saat untuk kepentingan diri, keluarga dan ekosistem dalam satu area kekuasaannya maka akan berusaha menjaga dan membebaskan dari gangguan luar yang berniat merusaknya.

Menapa sebuah bangsa dan negara yang dihuni manusia, justru sebaliknya dari apa yang diperbuat hewan. Hanya demi keserakahan kekuasaan, segala hal yang dapat digadaikan dan diperjual-belikan, kesempatan itu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan diri dan keluarganya. Bahkan tidak tanggung-tanggung membangun dinasti politik kekuasan berbasis keluarga tanpa mengindahkan etika dan kaidah politik, begitu pun rasa malu sudah tidak ada termasuk rasa takut akan hancurnya nilai-nilai kebangsaan yang utuh pun tidak ada dalam benak dan pikirannya. Wallahu’alam.

Bandung, Oktober 2023

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!