25.1 C
Jakarta

Benarkah Sekolah di Malaysia, Lebih Unggul?

Baca Juga:

Oleh Ashari, SIP*

CERITA lama yang mengatakan bahwa dulu banyak guru Malaysia belajar ke Indonesia, atau banyak dosen kita yang mengajar di sana, kemudian kini berbalik arah, kita yang belajar ke Negeri Jiran, ternyata bukan hanya isapan jempol. Kini menjadi kenyataan. Orang Jawa mengatakan ‘kebo nusu gudel’. Akselerasi pendidikan di Malaysia di bawah Kementerian Pelajaran dan Kementrian Pengajian Tinggi Malaysia memang banyak pengamat mengakui melesat bak meteor. Anggaran Pendidikan di sana tahun 2010 saja sudah 32 trilyun RM.

Ketertinggalan dalam hal investasi SDM ini mereka garap serius. Program menyekolahkan guru keluar negeri konon menjadi kebutuhan Perdana Menterinya. Karena mereka sadar benar, bahwa SDM yang handal akan mampu mengubah kondisi Malaysia yang cukup lama dijajah oleh Inggris. Di Malaysia bea pendidikan dibagi dua, yakni  pendidikan yang menjadi tanggungan kerajaan atau yang lewat jalur swasta, praktis bea sendiri. Namun justru yang menjadi pusat pendidikan di Malaysia adalah Pendidikan Sekolah Rendah (PSR) dan Pendidikan Sekolah Menengah (PSM).

Pendidikan Sekolah Rendah kalau ditempat kita adalah setara Sekolah Dasar (SD). Siswa PSR juga menempuh sekolah 6 tahun. Di samping juga ada Sekolah Taman Kanak-Kanak. Bahasa pengantar wajibnya adalah Bahasa Melayu dan Bahasa Inggris. Sedangkan Bahasa Tamil dan Bahasa Mandarin digunakan sebagai bahasa pengantar di Sekolah Jenis Kebangsaan.

Sementara untuk Sekolah Menengah-nya, ada 5 tingkatan, masing-masing harus ditempuh selama satu tahun. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Malaysia. Pada tingkat ke-3, siswa akan diuji melalui pola Penilaian Menengah Rendah (PMR). Hasil ujian ini akan menentukan siswa masuk ke kelas Saint atau Sastra. Ditempat kita model penjurusan, A1 (Fisika), A2 (Biologi), A3 (Bahasa dan Sastra). Hampir sama sesungguhnya. Nah, pada akhir tingkat 5, mereka harus menjalani tes lagi yang disebut dengan Siijil Pelajaran Malaysia (SPM). Mereka akan diperiksa oleh School Certificate Kingdom.

Sekolah Luar Biasa Mendapatkan Tempat

Beberapa teman yang lebih dulu studi banding di Negeri Jiran cerita kalau penghargaan atau pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus, luar biasa. Anak-anak autis, anak-anak dengan IQ rendah, anak-anak dengan fisik lemah mendapatkan pengawasan dan didikan dari guru yang tidak cuma satu. Satu anak autis akan didampingi oleh empat  guru.

Mari kita bandingkan dengan tempat kita? Justru adanya stigma negatif bahwa anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) mengganggu prosesi pendidikan dalam batas kewajaran. Makanya di kita tidak semua sekolah ‘siap’ dengan penerapan sekolah inklusi ini. Termasuk guru-guru kita terkesan belum ‘klik benar’, ketika ada ABK masuk di sekolah kita.

Secara eksplisit Undang-Undang kita jelas menjamin keberlangsungan pendidikan di semua jenjang. Hasil Amandemen Pasal 31 ayat 1 dan 2 menjelaskan, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dan Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Namun dalam dataran realitas masih jauh dari harapan. Maka untuk menutup celah kekurangan ini, harus dimulai dari persepsi/pemahaman yang benar dulu dari guru sebagai garda depan dalam dunia pendidikan. Sebagai pelaku, guru profesional yang selalu didengungkan oleh pemerintah harus memberikan pelayanan maksimal kepada siswa dalam rangka untuk mendapatkan pengajaran.

Dalam realitasnya, akhir-akhir ini guru justru oleh pemerintah diberi tugas dan beban tambahan dalam hal administrasi, yang cukup rumit dan njelimet. Data administasi guru menurut saya memang penting, namun kalau terlalu rigit dan terkesan berulang-ulang, justru membuat tugas utama guru mengajar menjadi kedodoran. Karena mereka akan terkuras energinya untuk mengejar tugas administrasi yang harus segera dikumpulkan, dikejar dead line, akibatnya kelas ditinggalkan. Siapa yang rugi? Siswa kan?

Kepada para pengawas, ayolah sering-sering turba, melihat secara langsung bagaimana beban guru sekarang ini. Kita tidak lagi membicarakan perilaku anak-anak kita yang sering membuat ‘mules’ dan ‘sakit perut’- karena faktornya banyak, namun tugas guru yang ada delapan itu, harapanya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, namun jika ditambah dengan beban administrasi yang membuat kening kepala berkernyit, saya yakin hasil akhirnya tidak optimal.

Tidak Bawa HP?

Satu temuan lagi di Negeri Jiran, yang membuat saya berdecak adalah siswa dilarang membawa HP (Hand Phone) dilingkungan sekolah. Padahal untuk ukuran tehknologi, kurang apa Malaysia? Namun dalam penerapannya di dunia pendidikan, justru anak-anak sekolah tidak diperkenankan. Tentu larangan ini sudah melalui kajian yang mendalam. Hingga mendapatkan persetujuan (Surat Resmi) dari Kerajaan. Setingkat Presiden kalau tempat kita.

Sementara di Indonesia pola itu belum dapat diterapkan secara masiv. Kita sebagai negara konsumen, masih kedodoran dalam hal pengaturan larangan ini. Kadang kita sebagai orang tua sedih kalau tidak dapat membelikan HP anak. Padahal kegunaannya belum maksimal untuk ukuran usianya. Beberapa sekolah di kita memang sudah mulai meng-adop pola tidak boleh bawa HP di sekolah ini. Kendala penjemputan anak yang terlambat pulang akan diatasi oleh sekolah melalui pamong. Atau cara tengah, boleh bawa HP namun diawal pelajaran dikumpulkan, pulang baru dikembalikan. Meski masih ada juga yang menyembunyikan di jok motornya atau balik bajunya.

Epilog

Investasi endidikan yang kita akui sebagai modal besar dalam membangun peradaban negeri ini, marilah bersama kita kawal, agar tujuan pembangunan pendidikan yang tercantum dalam aline-4 Pembukaan UUD 45 yang tidak pernah akan di amandemen, yakni Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, hingga menuju masyarakat yang adil dan makmur ini benar-benar dapat terwujud dengan penyiapan SDM dibidang pendidikan yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Dan guru harus terus belajar. Ingat pepatah Arab atau Hadist yang mengatakan Belajarlah sampai ke negeri Cina. Kita bisa saja pepatah itu kita ganti dengan Belajarlah sampai ke negeri Malaysia. Selamat berjuang. Sekian

*Penulis : Kini Mengajar PPKn di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY, pernah mengikuti Pelatihan Management Education and Instructional Leadership di Institut Aminuddin Baki Malaysia dan Thailand . 23-28 Nov 2013 atas Fasilitasi UAD Yk.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!