Oleh : Ashari, S.IP*
Wacana full day school mengemuka di era Mendikbud Muhadjir Effendy, sebelum era daring Nadim Makarim. Padahal sejatinya full day school sudah banyak diterapkan oleh sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Coba kalau ada waktu, tanyakan 10 guru yang mengajar di sekolah-sekolah pinggiran, atau yang di tengah kota sekalipun, bagaimana tugas guru sekarang? Saya yakin, 8 dari 10 orang guru yang anda tanya akan menjawab, bahwa tugas dan tanggung jawab guru makin berat dan beragam.
Terlebih dengan tuntutan administrasi yang makin kompleks, menjadikan tugas utama guru (ada delapan), menjadi keteteran. Terlebih dengan diterapkannya K-13, maka instrumen menilai guru kepada siswa makin banyak. Sampai ada teman guru yang berkata, kalau begini kapan waktu mengajarnya? Saya jawab dengan kelakar, waktu ngajarnya ya di jam pelajaran, dapat pagi atau siang.
Tantangan luar dalam.
Tuntutan guru harus professional memang tidak sebatas wacana atau kata-kata. Namun musti diimplementasikan dalam tugas keseharian. Kalau tidak, memang guru akan kedodoran. Bisa karena ketinggalan tekhnologi, pola, strategi atau penguasaan materi. Dalam dataran real di kelas, guru sering dihadapkan dengan situasi yang dilematis. Misalnya guru tidak boleh melakukan tindakan yang berbau kekerasan fisik, sebab dapat dituntut karena telah melanggar HAM, atau sisi lain, guru tidak boleh memarahi peserta didik (PD), guru harus empati dengan PD. Mereka harus mendapatkan layanan maksimal.
Boarding School ( BS), sebuah solusi
Munculnya sekolah-sekolah dengan manajemen boarding memberikan solusi alternatif dan tambahan (additional) dalam system pendidikan kita. BS menawarkan system, pola pendidikan yang integratif dan menyeluruh. PD diasramakan di lingkungan sekolah, bagi yang belum mampu, dapat dititipkan di pondok pesantren setempat atau menyewa rumah-rumah penduduk yang relatif murah. Mereka akan mendapatkan materi pelajaran lebih. Artinya pagi hari jam 07.00 – 14.00 mereka belajar materi pelajaran regular secara simulative, kemudian istirahat sebentar, sore hari mereka mengerjakan tugas-tugas PR dari gurunya, sedangkan malam hari, di samping belajar rutin, mereka juga harus mengaji.
Dari hasil wawancara pengasuh dan para orang tua yang menyekolahkan anaknya di BS, jika mereka (PD) kuat, maka hasilnya memang membanggakan. Mereka tidak saja digenjot pelajaran standar di sekolah, namun kemampuan mengajinya juga sangat diperhatikan. Bahkan tidak sedikit para PD dituntut untuk dapat menghafalkan Al-Quran beberapa juz. Mereka tetap bermain, layaknya kebanyakan anak-anak, namun waktu (jam) mainnya bener-benar diatur dengan rigit. Jika tidak diberikan aturan yang mengikat, maka kecenderungan PD akan bebas. Bebas apa saja, termasuk bermain yang destruktif.
Maka PD yang ada di BS benar-benar seperti layaknya masuk karantina. Seperti para atlit yang akan maju di ajang perlombaan tingkat nasional atau dunia, mereka, meski awalnya ada keterpaksaan, namun setelah mengetahui hasilnya, mereka akan dapat memahaminya. Bea atau cost untuk mensekolahkan anaknya di BS memang agak tinggi, belum semua terjangkau. Maklum hampir semua keperluan akan dicukupkan oleh pihak sekolah, dari makan, minum, mandi hingga alat-alat sekolah.
Epilog
Akhirnya berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat peduli pendidikan, untuk menjadikan anak-anak bangsa menjadi PD yang berkualitas, dengan tidak bermaksud mengecilkan system pendidikan regular, masuk jam 07.00 -13.40. Pola BS patut kita apresiasi sebagai bentuk sekolah idaman masa depan yang menghasilkan generasi emas. Melalui program-program golden class yang mencerahkan. Semua perlu kerja keras. Semoga.
*Penulis, Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman, DIY.