JAKARTA, MENARA62.COM – Perjuangan ahli waris Haji Nimun Bin Haji Midan untuk mendapatkan kembali tanah miliknya seluas 4.464 meter persegi membuahkan hasil, setelah sebelumnya diklaim milik Octa Raharjo dan Bunadi Tjatnika, akibat permainan mafia tanah dan oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Selatan.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan putusan nomor 743/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Sel dan surat keterangan inkrah nomor W10.U3/2420/HK.02/2/2023, menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum atas sertifikat hak milik (SHM) nomor 11142/Bintaro/2019 atas nama Octa Raharjo dan Bunadi Tjatnika dan menyatakan tanah seluas 4.462 meter persegi senilai Rp44 miliar berasal dari persil 101 dan girik 1340 adalah milik ahli waris Haji Nimun Bin Haji Midan yang tidak pernah diperjual-belikan.
Pihak keluarga melalui kuasa hukum Odie Hudiyanto dari Kantor Hukum Odie Hudiyanto & Partners (OHP), mengatakan bahwa tidak pernah ada proses jual beli atas tanah tersebut, sehingga akhirnya menggugat perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Keluarga besar ahli waris Haji Nimun memberi tahu ke masyarakat, bahwa tanah yang dirampas mafia tanah kembali lagi ke pemiliknya. Itu perjuangan panjang sejak dari tahun 2019 dan menjadi terang benderang setelah ada putusan pengadilan,” kata Odie ketika ditemui di Jalan Mawar Bintaro, Jakarta Selatan, Senin (20/3/2023).
Odie menjelaskan Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan SHM nomor 11142/Bintaro/2019 diperoleh dari data yuridis yang tidak benar melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang tidak melibatkan perangkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).
Terbongkarnya mafia tanah yang merampas tanah milik Haji Nimun terungkap ketika Kelurahan Bintaro melakukan sosialisasi kepada warga yang terkena proyek normalisasi Kali Pesanggrahan pada tahun 2019.
“Terungkapnya mafia tanah ini setelah ada undangan dari kelurahan untuk sosialiasi pelebaran Kali Pesanggrahan. Nah, ahli waris bingung, tanahnya kok kena pelebaran, tapi namanya nggak ada,” jelasnya.
Pihak Kelurahan Bintaro hanya menjelaskan jika pemilik tanah yang terkena pelebaran Kali Pesanggrahan adalah Octa Raharjo dan Bunadi Tjatnika yang memiliki tanah berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 11142/Bintaro/2019.
“Awalnya perkara ini sulit terungkap, karena melibatkan oknum BPN Jaksel yang bermain dengan mafia tanah. Padahal BPN Jakarta Selatan sebenarnya dapat menerangkan proses terbitnya SHM nomor 11142/Bintaro/2019 atas nama Octa Raharjo dan Bunadi Tjatnika tersebut, tapi BPN Jakarta Selatan berusaha menyimpan rapat keterlibatan oknum BPN yang bekerja sama dengan mafia tanah,” ujar Odie.
Seperti diketahui, Paultar Sinambela adalah ketua tim ajudikasi PTSL Jakarta Selatan, oknum BPN yang yang ikut menandatangani SHM nomor 11142/Bintaro/2019 tersebut. Majelis hakim menghukum Paultar 6 (enam) bulan penjara karena secara bersama-sama melakukan pemalsuan akta otentik.
Majelis Hakim yang beranggotakan Muhammad Ramdes sebagai Hakim Ketua, Agus Tjahyo Mahendra dan H Bawono Effendi sebagai Hakim Anggota dalam pertimbangan hukumnya menyatakan SHM nomor 11142/Bintaro/2019 diperoleh dari data yuridis yang tidak benar melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang tidak melibatkan perangkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat 3 Peraturan Menteri ATR/BPN nomor 6 tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Majelis hakim juga menghukum BPN Jakarta Selatan untuk membatalkan SHM nomor 11142/Bintaro/2019 tersebut.
Odie memberikan apresiasi kepada Majelis Hakim yang membuat putusan secara benar berdasarkan fakta-fakta hukum selama persidangan dan memberikan kepastian hukum untuk pencari keadilan.
“Kami juga menuntut kepada Menteri ATR/BPN untuk memberantas mafia tanah yang bekerja sama dengan oknum BPN yang secara terang-terangan merampas tanah dari pemilik tanah yang asli dengan kedok program PTSL atau program pertanahan lainnya yang merusak kepercayaan masyarakat,” imbuh Odie.
Tanah Haji Nimun sebelumnya tidak pernah dilirik oleh makelar tanah atau pembeli tanah karena lokasinya yang berada di pinggir Kali Pesanggrahan dan tidak ada jalan untuk akses mobil.
Namun setelah tanah tersebut terkena normalisasi Kali Pesanggrahan, tanah tersebut menjadi mahal setelah Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memberikan ganti kerugian dengan paling sedikit Rp10.000.000,- (sepuluh juta) untuk setiap satu meternya.(*)