JAKARTA – Efek domino atas keterlambatan pembayaran klaim asuransi JKN oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit kini berimbas ke industri farmasi. Banyak rumah sakit yang kemudian menunggak pembayaran pengadaan obat dengan rata-rata keterlambatan 4 hingga 6 bulan.
Kondisi tersebut dikeluhkan oleh industri farmasi. Sebab belum dibayarnya pembelian obat-obatan hingga berbulan-bulan, telah mengganggu cash flow industri obat dalam negeri.
“Kami tidak lagi sekedar merumahkan karyawan, tetapi sebagian dari industri farmasi kini terancam tutup,” kata Dorodjatun, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi di sela Rapat Koordinasi Pembahasan Usulan Kenaikan Harga Obat di era JKN, Kamis (13/9).
Ia tidak tahu persis dititik mana kesalahan dari kasus tunggakan pembayaran obat oleh rumah sakit ke industri farmasi. Sebab tidak ada data yang bisa dijadikan pegangan oleh industr farmasi, berapa nilai premi yang sudah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke rumah sakit dan rumah sakit mana yang belum menerima klaim asuransi JKN.
Tanpa data tersebut sulit menelusuri penyebab tunggakan pembelian obat oleh rumah sakit. Mengingat klaim JKN yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada provider baik rumah sakit, klinik, maupun puskesmas sifatnya adalah paket.
“Kalau ada datanya, kami bisa tahu mengapa satu rumah sakit belum bayar tagihan obat, apakah karena klaim JKN belum dibayarkan atau klaim yang sudah dibayarkan digunakan untuk kegiatan lain. Itu yang kami tidak bisa telusuri,” lanjut Dorodjatun.
Tetapi ia mengingatkan bahwa industri farmasi Indonesia kini banyak yang terancam kolaps. Sebab sejak diberlakukannya fornas obat-obatan pada era JKN, sekitar 60 persen harga obat turun dari harga sebelumnya. Selain itu, kenaikan nilai dolar terhadap rupiah membuat harga bahan baku obat juga meroket.
Perlu diketahui bahwa saat ini 100 persen bahan baku obat di Indonesia masih impor. Dan 50 persen material kemasan obat juga masih impor. Jadi total ada sekitar 80 persen bahan obat yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah.
Dengan kondisi prosentase bahan baku obat yang masih import tersebut Dorojatun mengatakan bahwa 7 persen harga obat di Indonesia tergantung fluktuasi nilai dolar.
Dorodjatun mengaku sudah berkirim surat kepada pemerintah terkait pengadaan dan harga obat ini pertengahan Agustus 2018. Tetapi hingga kini, belum ada kebijakan apapun terkait harga obat yang diputuskan oleh pemerintah.
“Kalau kondisinya begini, bagaimana pelayanan JKN ke depan? Sebab 90 hingga 92 persen obat yang dibutuhkan untuk pelayanan JKN berasal dari industri farmasi lokal,” tukas Dorodjatun.
Ia mengatakan BPJS Kesehatan sudah memberlakukan denda terhadap semua pembayaran kalim JKN yang terlambat. Tetapi mengapa pemberlakukan denda tersebut tidak diberlakukan juga untuk rumah sakit yang terlambat membayar pembelian obat ke industri farmasi.
Sementara itu Asih Eka Putri, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengatakan dari total hutang BPJS Kesehatan ke rumah sakit senilai Rp 7 triliun, sekitar 50 persennya adalah untuk pengadaan obat (farmasi). Kondisi ini akan terus terjadi selama akar persoalannya tidak diselesaikan dengan baik.
Menurutnya ada 3 skenario yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah defisit BPJS Kesehatan ini. Pertama adalah menormalkan defisit dengan subsidi anggaran penuh sehingga keuangan BPJS Kesehatan bisa sehat. Ini merupakan ranah kebijakan Kementerian Keuangan.
Langkah kedua adalah restrukturisasi total program JKN baik nilai premi asuransinya maupun manfaatnya. Restrukturisasi JKN ini hanya bisa dilakukan dengan mengubah undang-undang terkait JKN yang sudah ada.
Langkah ketiga adalah pemberi kerja atau pemerintah menaikkan subsidinya. Dengan cara seperti ini maka dana yang terkumpul dari premi asuransi bisa menutup kebutuhan dana untuk pelayanan peserta program JKN.
Zainal Abidin, anggota DJSN mengatakan program JKN ibaratnya adalah anak dengan anemia berat. Ia lahir dari ibu yang menderita anemia juga. Sehingga ketika program dilaksanakan pun anemia kronis terus berlangsung.
Solusi dengan cara menyuntikkan dana menurut Zainal tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab dengan kondisi yang sudah kronis seperti sekarang ini, program JKN hanya bisa diselamatkan dengan cara mengguyurkan energi baru berupa anggaran.
“Menyuntik itu kalau hanya sakit-sakit biasa. Tetapi kalau sudah kronis, anemia berat, maka harus ditransfusi. Kalau dengan transfusi kemudian JKN bisa sehat kembali, baru dilakukan perbaikan disana-sini,” jelasnya.
Menurut Zainal sejak awal dilahirkannya program JKN sesungguhnya pemerintah dan pembuat undang-undang sadar akan ancaman defisit anggaran BPJS Kesehatan. Karena itulah mereka sudah menyiapkan pasal 48 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional tahun 2013. Pada pasal tersebut disebutkan jika dalam perjalanan JKN mengalami defisit anggaran, maka pemerintah wajib untuk mengatasinya.
Zainal juga berharap agar BPJS Kesehatan lebih lantang bersuara. Buang jauh-jauh anggapan bahwa dengan diam, persoalan bisa diselesaikan. Sebab tunggakan pembayaran klaim ke rumah sakit yang kini berimbas pada belum dibayarkannya tagihan obat oleh rumah sakit ke industri farmasi bisa mengancam pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
“Ibaratnya, obat, alat kesehatan dan dokter adalah darah dari pelayanan kesehatan. Jika hal yang vital bermasalah tentu tinggal menunggu kematiannya,” tegas Zainal.
Ia juga berharap pemerintah menyusun skenario mengawasi pembayaran obat dari rumah sakit ke industri farmasi. Rasanya tidak adil jika keterlambatan membayar klaim ke rumah sakit kemudian BPJS Kesehatan mendapatkan sanksi dengan membayar denda. Sedang rumah sakit yang terlambat membayar pembelian obat ke industri farmasi tidak mendapatkan sanksi apa-apa. Padahal kedua kejadian tersebut sama-sama mengancam keberlangsungan program JKN.