Jakarta, MENARA62.COM Sejak hadirnya dan semakin murahnya internet, bisnis semakin merambah di ranah digital. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan sehingga bisnis hari dimulai, bukan hanya sekedar lembaga keuangan saja. Hal tersebut disampaikan Direktur PT Sharsys Informatika Indonesia Ridwan Aldilah saat launching Gerakan Microfinance Muhammadiyah (GMM) di Jakarta, Selasa (30/10) kemarin.
Dia mengungkapkan, di era digital ini juga perlu dipahami bagaimana caranya agar mendapatkan dengan harga yang ukup bersaing. Pasalnya, digital bukan barang yang murah, tetapi cukup mahal.
“Contoh banyak yang e-commerce kita bisa jualan bukan cuma di warung tapi juga digital. Maka dari itu, kita perlu meningkatkan kapasitas kita agar dikenal lembaga keuangan seperti OJK, sehingga kapasitas bisnis kita bertambah,” jelas dia.
Dengan adanya dunia digital, terang dia, akan semakin membantu akuntabilitas perusahaan, sehingga orang percaya sesuai atau tidak prosesnya.
Adapun mengenai resiko kerugian, perlu untuk belajar apa saja yang dimaksud dengan produk digital.
“Kita tidak harus membuat dari awal atau menggunakan produk yang sudah ada,jadi diresikokan ke lembaga lain. Perlu memanfaatkna fasilitas-fasilitas yang ada, kita tidak harus membuat dari awal, jadi seara resiko ditanggung oleh mereka. Sharing risk namanya,” tukasnya.
Dalam kesempatan sama, Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Muhammadiyah Andi Buchori mengatakan potensi sumber daya alam (SDA) yang sangat besar, namun tertinggal dengan negara lain, tidak hanya aspek ekonomi, tapi juga pada sektor keuangan dan sektor riil.
Menurut Global Islamic Economy Indikator (GIEI) Indonesia menempati urutan ke-42. Termasuk dalam islamic finance, halal food, halal travel, modest fashion, halal media and recreation, dan halal pharmaceutal and cosmetics.
“Saat ini yang cukup mengagetkan adalah jumlah muslim ekonomi sangat besar dalam mendukung perekonomian negara. Jadi sebagai negara terbesar, kalau tidak dilakukan pengembangan ekonomi syariah kita hanya sebagai konsumen,” ujar Andi.
Menurutnya, dibanding dengan negara lain Indonesia memiliki kesempatan besar menjadi leader di berbagai sektor. Termasuk UMKM. Ia menjelaskan masalah klasik pelaku UMKM adalah sulit mendapatkan akses dan waktunya relatif.
“Karena pelaku usaha baru tersebut berada di fase mortalitas, setelah mereka bisa survive, baru bank dapat memberikan KUR,” katanya.
“Tapi kalau bisa dibilang, program KUR yang dijalankan pemerintah gagal karena tidak ada ekspansi yang diharapkan,” sambungnya.
Sebab, kata dia, di negara manapun termasuk negara maju, Bank tidak disiapkan untuk memberikan kredit. Bank hanya sebagai tempat sebagai alat untuk bertransaksi.
“Karena itu pelaku usaha harus melek internet, banyak sekali pelaku usaha start up yang terbantu dengan adanya akses digital,” tandasnya.