oleh: Imam Shamsi Ali
Tradisi buka puasa di Gedung Putih, kantor dan kediaman Presiden Amerika Serikat telah dimulai sejak Bill Clinton menjadi Presiden negara ini. Sejak itu setiap Ramadhan, diadakan acara buka puasa bersama perwakilan Komunitas Muslim Amerika, khususnya pemimpin organisasi nasional seperti ISNA, ICNA, CAIR, MPAC, MAS, MSA, dan banyak lagi.
Sebenarnya, acara semacam ini bukan baru dan asing di negara ini. Hampir di setiap departemen pemerintahan pusat (federal) mengadakan acara yang sama. Saya bahkan beberapa kali diundang di acara buka puasa Kementrian Luar Negeri (State Department) Amerika. Demikian pula dengan di Pentagon atau Kementrian Pertahanan Amerika.
Demikian pula di berbagai negara bagian dan kota di negara ini. Untuk sekedar menyebut kembali, kamilah yang memulai acara buka puasa di kantor walikota New York bersama Walikota Michel Bloomberg di tahun 2002. Demikian pula di NYPD. Bukan dengan berbuka puasa. Tapi kamilah yang memulai acara “Welcoming Ramadhan” atau acara menyambut Ramadhan di Kepolisian New York.
Dari semua acara itu, memang yang menjadi prioritas adalah komunitas Muslim Amerika atau American Muslim Community. Mereka yang sesungguhnya menjadi tujuan dari acara-acara itu. Bahwa acara buka puasa atau menyambut Ramadhan di Kepolisian New York ditujukan untuk membangun solidaritas dan support untuk komunitas Muslim Amerika.
Karenanya, prioritas undangan untuk hadir biasanya ditujukan kepada tokoh-tokoh umat atau pemimpin Muslim (Muslim leaders) dari kalangan warga Muslim Amerika. Sejak masa Presiden Bill Clinton, GW Bush, hingga Barack Obama, mereka (Muslim Leaders) dan pejabat Amerika yang beragama Islam pasti diundang.
Undangan untuk pada Duta Besar atau Kepala Perwakilan negara-negara mayoritas Muslim merupakan penghormatan. Tentu Amerika punya kepentingan untuk menyampaikan kepada dunia Islam bahwa Amerika sangat menghormati dan menjaga hak-hak umat Islam di negara ini, termasuk hak berpuasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadhan.
Tetapi Donald Trump sangat berbeda. Saya tentunya tidak terkejut. Karakter dan posisi Donald Trump kepada komunitas Muslim dan minoritas lainnya di negara ini sangat berbeda. Suatu yang tidak perlu lagi dibahas.
Acara buka puasa Gedung Putih Ramadhan kali ini memiliki nuansa yang sangat jelas. Bahwa acara ini merupakan refleksi dari sikap dan posisi Donald Trump terhadap Islam dan komunitas Muslim di satu sisi. Sekaligus bertujuan memecah belah komunitas dengan mengundang siapa yang dianggap sejalan dan tidak mengundang siapa yang dianggap berseberangan di sisi lain.
Yang pasti, tidak diundangnya tokoh-tokoh nasional Muslim Amerika menandakan secara langsung kejiwaaan Donald Trump terhadap komunitas Muslim Amerika. Bahkan, dua anggota Kongres yang selalu berada semeja dengan Presiden di acara buka puasa sebelum Donald Trump jadi Presiden Amerika, juga tidak diundang.
Mungkin cara mengadakan acara buka puasa ini sekaligus konfirmasi ketidakikhlasan, bahkan ketidakinginan untuk adanya acara ini di Gedung Putih. Bukankah tahun lalu memang tidak diadakan? Padahal acara agama-agama lain diadakan di Gedung Putih.
Saya bahkan yakin, melihat kepada sikap dan kebijakan Donald Trump kepada umat dan komunitas Muslim di Amerika, kalaupun seandainya diundang, para tokoh Muslim Amerika akan menolak untuk hadir.
Masalahnya bukan pada acara buka puasa. Tapi pada posisi pribadi dan kebijakan publik Presiden Amerika saat ini yang sangat tidak bersahabat dengan Islam dan kelompok minoritas lainnya. Apalah makna hadir dalam sebuah acara buka puasa kalau itu hanya akan menjadi justifikasi marjinalisasi umat ke depan. Komunitas Muslim Amerika jauh lebih cerdik dan kuat dari yang diperkirakan orang lain.
Justeru yang saya curigai, acara buka puasa di Gedung Putih ini hanya akan menjadi meomentum untuk Donald Trump melanjutkan berbagai kebijakan, baik domestik maupun global, yang telah banyak merugikan umat. Kehadiran para Duta Besar akan dijadikan “tameng” dari berbagai sikap dan kebijakan yang merugikan komunitas Muslim di Amerika dan berbagai belahan dunia Islam lainnya.
Tentu yang paling dekat adalah kebijakan Donald Trump secara sepihak mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel, serta memindahkan kedutaannya ke kota yang diakui oleh berbagai resolusi PBB sebagai bagian integral Palestina itu.
Dari semua itu, tentunya kehadiran para wakil pemerintahan Islam sekaligus dapat dilihat sebagai sikap merendahkan (under estimate) komunitas Muslim Amerika, sekaligus ikut menambah luka pada luka Palestina yang sudah ada.
Kita berharap, entah kapan, akan ada dari kalangan negara-negra Islam ini yang berani mengatakan “tidak lagi” (no more) dengan berbagai pelecehan kepada kepentingan umat. Tidak secara domestik, dan tidak juga pada tataran global.
Entah kapan itu akan terjadi!
New York, 7 Juni 2018, Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.