JAKARTA, MENARA62.COM– Polemik terkait Dokter Layanan Primer (DLP) terus berlanjut. Belum ada titik temu antara pemerintah sebagai pembuat ide lahirnya program DLP dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai ikatan profesi dokter.
Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP yang baru diluncurkan oleh PB IDI menjadi sikap ilmiah terbuka IDI atas persoalan DLP ini.
“Kami menyusun buku putih tersebut semata-mata sebagai panggilan tanggungjawab kebangsaan anggota IDI,” jelas Ketua Umum PB IDI Prof Dr Ilham Oetama Marsis, SpOG (K), Jumat (21/04/2017).
Dalam buku tersebut dijelaskan dengan gamblang terkait mengapa IDI menolak ide pembentukan program studi DLP.
Menurut Prof Marsis, asumsi bahwa program DLP bisa mengatasi tingginya rujukan ke rumah sakit tidak didukung oleh data. Sebab data nasional rujukan peserta BPJS Kesehatan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) baik tahun 2015 maupun 2016 menunjukkan bahwa rasio total rujukan dari FKTP masih dibawah patokan BPJS 15 persen yakni hanya 12 persen.
Rujukan tertinggi di daerah-daerah tertentu lanjut Prof Marsis lebih disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana, masih rendahnya kapitasi dibanding biaya pelayanan dan karena atas permintaan sendiri.
Selain itu defisit anggaran BPJS Kesehatan yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini adalah karena fenomena adverse selection dank arena besarnya penderita penyakit katastropik. Penyakit katastropik timbul karena upaya kesehatan masyarakat belum berjalan, bukan karena kurangnya kemampuan dokter di FKTP.
Karena itu, PB IDI menyatakan tetap menolak rencana pemerintah untuk membuka program studi DLP di sejumlah kampus.
Dalam Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP direkomendasikan beberapa solusi. Diantaranya IDI mengusulkan agar penambahan kompetensi pada dokter umum dilakukan melalui modul terstruktur.
Pemerintah perlu memprioritaskan untuk memperbaiki Fakultas Kedokteran terutama yang akreditasinya masih B dan C. Menurut hemat IDI, lebih cost effective jika pemerintah menggunakan tenaga lulusan ahli kesehatan masyarakat untuk memperkuat fungsi promotif dan preventif.
“Pemerintah semestinya memfasilitasi agar jumlah klinik dan dokter praktik yang bekerjasama dengan BPJS bertambah,” lanjut Prpf Marsis.
Selain itu IDI mengusulkan reformasi pendidikan kedokteran melalui subsidi biaya pendidikan, recruitment calon dokter, proses pendidikan yang membuat dokter terbiasa bekerja di pedesaan dan lama pendidikan yang cost effective bukan dengan memperpanjang masa pendidikan.
Kemudian IDI juga mengusulkan agar pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana FKTP milik pemerintah dan menaikkan biaya kapitasi sehingga kualitas pelayanan menjadi lebih baik. Bahkan IDI juga memandang program DLP tidak perlu didirikan. Universitas yang berminat mengembangkan karir dokter lebih baik mengembangkan program spesialis kedokteran keluarga.