JAKARTA, MENARA62.COM — Siapa di bumi ini yang tidak tahu bahkan tidak ingin menyaksikan senja? Setiap orang selalu ingin menyaksikan bahkan mengabadikannya. Ada yang menunggu di pematang sawah, di bukit, di gunung, bahkan ada yang sengaja datang ke tepi laut untuk menunggu lalu menyaksikan senja kemudian mengabadikannya.
Senja seakan sebuah cerita, rasa, perasaan, rindu, kerinduan, cinta, percintaan, bahkan segala yang manusia inginkan ada pada senja. Meski ada yang berkata, “Secantik apapun matahari terbenam (senja), selalu akan menjadi gelap.” Tapi itulah senja. Selalu ditunggu dan diburu. Senja yang tak pernah lama dan tak pernah sebentar. Tak pernah ingkar meski kadang hanya sebatas warna yang berpendar. Tapi senja tetap saja menjadi buruan para pencintanya.
Senja, selain diburu ia juga selalu menjadi tumpuan sebuah rasa dan perasaan, juga menjadi ibarat dari sebuah peristiwa. Kadang menjadi usia, menjadia puncak rindu dan kerinduan, menjadi tepi atas percintaan, bahkan menjadi senja yang hanya terdapat dalam imajinasi. Itulah senja yang tak akan pernah berakhir meski petang menyulamnya menjadi malam.
Pada senja tahun ini, sebuah cerita dan beberapa cerita diceritakan lewat sepotong kata yang kemudian menjadi gumpalan kata-kata. Lalu, kata itu merambah menjadi puisi, menjadi musik, menjadi cerita pendek, bahkan menjadi cerita yang belum selesai meski senja itu telah usai.
Lewat kata dan cerita, senja yang menyamar di panggung menjadi puisi dan musik, lalu melaung menjadi cerita. Cerita itu disampaikan pada Panorama 3 (Parade Nonton Ranggon Bersama) oleh Komunitas Ranggon Sastra, Ahad (24/12/2017) di Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Panorama adalah agenda rutin Komunitas Ranggon Sastra (KRS) setiap akhir tahun. Tahun ini adalah Panorama ke-3 yang digelar dengan beragam kesenian, yaitu Monolog, Musikalisai Puisi, Visualisasi Cerpen, Deklamasi Puisi, dan Pentas Teater.
Menjelang akhir tahun ini, KRS mempersembahkan sebuah cerita yang disampaikan dengan beragam kesenian dan digelar pada sore hari menjelang senja. Tema tahun ini adalah “Cerita yang Belum Selesai.”
Seperti tema pada Panorama 3 tahun ini, ada senja yang menjadi saksi, bukan hanya lewat kata-kata, tetapi lewat cerita dan ratusan pasang mata. Senja seakan dihadirkan dan dibawah ke panggung, kemudian berubah menjadi alunan suara yang kadang pelan kadang lantang. Itulah senja pertama pada cerita itu. Senja yang warnanya menjadi puisi, menjadi lagu, bahkan menjadi dialog tentang perempuan yang diumpamakan sebuah negeri.
Senja kedua adalah senja yang keluar dengan samar, menyapa ratusan penonton dengan warna emasnya, lalu jadilah ia cerita. Cerita tentang kekasih yang mencuri sepotong senja demi kekasihnya. Ialah Sukab, yang diceritakan oleh W.S. Restu lewat cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku. Cerita itu seakan menjadi senja yang nyata bagi ratusan orang yang ada di gedung itu. Dengan saksama mereka menyelami potongan senja yang dibawa oleh Restu ke panggung lewat ceritanya. Begitupun Alina, kekasih Sukab dalam cerita itu yang tengah membaca surat dari kekasihnya, tentang sepotong senja, ia seakan terhanyut oleh rentetan kata dan kalimat yang terdapat dalam surat itu. Surat tentang senja.
Senja terakhir seakan enggan pergi. Warna emasnya seperti menggantung pada pohon besar yang menjadi tandu para petani di sebuah perdesaan. Pohon itu menjadi sumber kerukunan juga keserakahan. Dengan pohon itu, senja menyelinap jauh dan hinggap dalam perasaan Sang Abah (Oo’ Tonggos), tokoh tua dan dituakan dalam pentas Pohon malam itu. Abah dalam pentas Pohon karya/sutradara Johanes Ricki Wijaya menjadi wakil dari senja yang seakan sebuah harapan masa depan di kampungnya. Ia menolak tanah leluhurnya dijual dan dijadikan pabrik. Meskipun beberapa warga di kampung itu sangat ingin menjual tanahnya dengan alasan ekonomi, tapi Abah tetap kukuh pada pendiriannya. Ia menjelaskan harapan dan hidupnya kelak, seperti pagi yang memikirkan senja, selalu kekeh menahan matahari agar tidak tenggelam. Begitupun Abah, meski dipaksa oleh warga sendiri juga mandor (Ale) yang hampir tiap hari datang, ia tetap tidak mau menjual tanah di kampung itu.
Warga di kampung itu barangkali tidak pernah berpikir akan ada senja pada hari itu dan hari-hari berikutnya. Sehingga mereka hanya berpikir hanya ada pagi dan siang saja. Tetapi tidak dengan Abah, ia senantiasa berpikir tentang hidup hari ini dan hari berikutnya, sampai senja menjadi akhir dari segala kehidupannya.
Senja yang terakhir itu menjadi kemelut antara warga dan Abah juga mandor. Penonton pun masih ingin menyaksikan cerita yang belum selesai itu, termasuk senja yang sudah menjadi malam. Pada akhirnya, senja itu hanya jadi cerita yang tetap mempertahankan warnanya. Dan cerita tentang Pohon itu pun menjadi cerita yang tak selesai. Cerita itu masih ditunggu kelanjutannya oleh penonton di gedung itu meski senja 2017 akan segera berganti.