Onak dan Anak. (75)
Pelajaran agama yang aku dapatkan dari surau ( langgar ) kampung puluhan tahun silam yang disampaikan ustdaz sepuh : Marjuki – yang memberikan wejangan : hubungan orang tua dengan anak tidak pernah ada kata putus, aku rasakan sekarang. Saat ini. Bagaimana tidak, meski kadang aku dibuat “sakit perut”. Mules. dan Pusing dalam arti yang sesungguhnya. Namanya anak, tetap anak. Tidak bisa lepas dan putus. Di luar sana, orang akan tetap bertanya : “kamu anaknya siapa?” Baik ketika anak memberikan akses positip pun negatif. Nama orang tua selalu akan disebut-sebut.
Anak, kata Ustadz Marjuki bisa menjadi onak bahkan duri dalam keluarga. “Namun, jika kita didik dengan benar, sejatinya anak adalah permata, penerus sejarah. Anak bisa sebagai penyejuk jiwa. Memang anak seperti pisau bermata dua.
Aku masih ingat, Katika itu Ust Marjuki berdiri disamping mimbar yang sesungguhnya agak rapuh itu. “Mendidik anak itu, tidak mudah. Ada saatnya orang tua berdarah-darah. Perih. Namun ada saat menikmati hasilnya. Tidak musti berupa harta benda, namun sikap manis anak-anaknya adalah bagian dari hasil yang diperoleh orang tua, ketika berhasil mendidik anak-anaknya. Jadi kuncinya memang sabar, ” terangnya.
Kata-kata Ust Marjuki itulah yang hingga kini menancap kuat, disamping juga petuah dari ibu bapak yang bertalu-talu selama menggema. Sehingga kita aku dapati anak tidak atau belum sesuai harapan, tidak serta merta kemudian menyalahkan anak dan keadaan. Bisa jadi ini teguran agar kita lebih dekat dengan gusti Allah. Meminta, memohon jika perlu menangis.
Saat memilih sekolah, pasca lulus pondok nanti, yang tinggal menghitung waktu, juga menjadi perdebatan panjang. “Gak ngomong itu terus tho pak?” selorohnya, setiap aku tanya mau neruskan dimana. Padahal hitungan minggu atau beberapa bulan lulus, santri lain sudah menjadi pondok lanjutan atau sekolah lanjutan. Ini terkesan Rohman, kok adem ayem saja. Bahkan terkesan menghindar.
“Pokoknya gak mau meneruskan mondok lagi. Pinginnya sekolah umum yang pulang sore gak papa, di rumah bisa menemani kakak,” katanya membela diri. Katanya masih dengan HP ditangan, saat libur di rumah belum lama, satu sore jelang Maghrib.
Padahal tanya sana-sini, konsultasi ustadz tidak hanya dua tiga orang, semua menyarankan untuk meneruskan mondok. Alasanya hampir sama: agar hafalannya terjaga.
“Tidak mau,” agak meninggi intonasi suara Rohman. Tombol HP berhenti. Mata kami beradu pandang. Beberapa menit. Namun tidak alam berselang, dia menunduk, sambilmenggerutu. Aku dengar. Aku mencoba mencari tahu, apa yang ada dipikirannya, dari sorot matanya yang tajam, menolak untuk meneruskan mondok. Aku tidak menemukan jawabnya. Apakah semata pingin di rumah, menemani kakaknya yang “luar biasa”.
“Gak kepingin seperti teman yang lain, neruskan mondok, kemudian bisa sekolah S-1 di luar negeri, Sudan, Maroko, Mekkah atau Medinah,” kataku mencoba menjelaskan. Tidak mempan. Dia masih bersikukuh, layaknya batu karang.”Bapak percaya aku, tetap akan meneruskan hafalanku, meski aku sekolah umum,” janjinya.
( bersambung )