25.9 C
Jakarta

Cerpen : Rembulan diatas Bukit Pajangan seri-74

Baca Juga:

Rambutmu Itu…

Hampir 3 pekan libur semester, Rohman di rumah. Suka duka yang ada. Sukanya hampir tiap hari bersamanya. Dari bangun tidur hingga mau tidur lagi. Meski tidak setiap saat disampingnya, minimal aku bisa melihat kegiatannya selama di rumah. Misalnya pas aku di kantor, aku bisa pantau aktiftasnya lewat WA istri. Diam-diam maupun terang-terangan. Pernah satu saat WA istri ke aku, tersadap Rohman. ” Wah, bapak tanya-tanya terus sama ibu,” katanya dengan nada agak kesal.

Ya di rumah yang hampir 21 hari itu memang jauh dari ekspektasi. Kadang aku dibuatnya aku “sakit perut”, mules, kepala nyut-nyut alias pusing. Bagaimana tidak, hampir seharian, dikurangi makan, minum, mandi dan sholat, kegiatannya tidak lepas dari HP. “Mumpung liburan pak. Kalau di pondok kan gak boleh.” katanya setiap kali aku ingatkan HP-nya sudah. Sholat dulu, mandi dulu. Bahkan sekedar makan saja harus diingatkan.

Tapi aku kemudin ingat, apakah ini kata-kata mutiara atau mantra: Bahwa segala sesuatu itu ada masanya. Ada saatnya. Atau yg sering aku dengan : Indah pada waktunya. Aku menghibur diri sendiri: mungkin sekarang ini sedang masanya dia khusuk dengan HP. Alasan mumpung di rumah memang ada benarnya. Tapi yang aku belum bisa terima itu sebagian besar waktunya habis untuk main HP. Tapi anehnya, ketika aku minta murajaah, setoran hafalan Juz 12 – kok bisa dan benar. “Bapak gak usah khawatir, aku kalau di pondok serius pak, itu buktinya aku sudah lulus beberapa juz,” katanya mencoba menenangkan hatiku yang bergejolak. Benar juga ya. Hatiku mengiyakan.
Soal rambut semi ikal  yang agak panjang, juga membuatku risi. Meski setiap pulang, pasti potong, tapi selalu saja gaya potongannya sesuai seleranya.

“Ini mirip pemain bola Barcelona pak, kalau pemain lokal ya dari Persija, masak bapak gak tahu,” katanya meringis sambil menyibakkan rambutnya.

“Tapi itu masih panjang, mas? ”
“Gak, kok,” kata terus berlari, menghilang dibalik pintu kamar. Tenggelam dengan HP-nya. Pernah satu saat aku coba cek, apa sejatinya yang membuat dia menjadi bisa berlama-lama dengan benda pipih penuh misteri ini? Ternyata lebih banyak lihat tik-tok yang isinya memang beragam. Kita sudah sangat paham HP makin canggih, makin memberikan penawaran program dan aksesori yang kita pilih. HP seperti pisau bermata dua. Bisa mengiris urat nadi, namun juga bisa untuk membuka jendela ilmu. Terserah kita. Orang tua hanya bisa mengarahkan. Tidak bisa mengawasi dengan rigit. Detil dari waktu ke waktu. Misal anak bilang sedang belajar dengan HP, orang tua sudah kehilangan akal untuk kontrol. Memang dilema. Begitu juga dengan gaya rambut Rohman yang tiba-tiba meniru pemain bola itu.
“Gak suka, seperti bapak, cepak?” sambil aku tunjukkan kepalaku yanag tubuh rambut dengan panjang 1 cm ini.
“Itu jaman dulu, pak.”
“Gak ya, kamu lihat banyak juga sekarang anak muda yang model rambutnya kaya tentara begini, mas..simpel. Irit sampo,” terangku.
“Kuno, itu pak,” katanya sambil mengelus rambutnya. Sejurus kemudian ia tunjukkan bintang bola yang menjadi rujukannya.
“Besok SMA sudah beda lagi,hehe,” katanya terkekeh. Aku sendiri mengulum senyum. Namun kembali aku mencoba berdamai dengan hatiku, “Mungkin sedang masanya,” ( bersambung )

Rembulan di Atas Bukit Pajangan

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!