Oleh: Budiawan, KAM Institute
JAKARTA, MENARA62.COM – Jika Anda generasi Z atau Alpha, Anda mungkin tahu sensasi jalan-jalan di mal, tapi tak selalu disertai dengan belanja. Anda masuk, coba sepatu, sentuh bahan kaos, minum es kopi susu, lalu pulang tanpa kantong belanja di tangan. Selamat—mungkin Anda termasuk bagian dari “gerakan tak resmi” yang diam-diam mendefinisikan ulang makna konsumsi modern.
Fenomena ini dikenal dengan sebutan Rojali: Rombongan Jarang Beli. Tapi jangan buru-buru menghakimi. Ini bukan tentang malas belanja, tapi tentang mekanisme bertahan hidup dan ekspresi kecerdasan finansial generasi masa kini.
Filsafat Konsumsi: Dari Hedonisme ke Utilitarianisme Modern
Kapitalisme lama mengasumsikan bahwa manusia bahagia jika bisa membeli dan memiliki. Tapi hari ini, generasi muda membuktikan bahwa kebahagiaan tak selalu datang dari memiliki—kadang cukup dengan experiencing.
Mal bukan lagi simbol gaya hidup mewah, tapi menjadi ruang publik baru: tempat berkumpul, mengamati tren, merayakan eksistensi—tanpa harus menguras isi dompet.
Psikologi Konsumen Z & Alpha: Rasional, Bukan Pelit
Anak muda saat ini dibesarkan di tengah krisis: pandemi, inflasi, suku bunga tinggi, dan ketidakpastian kerja. Maka, strategi konsumsi mereka lebih berbasis logika dan prioritas, bukan impuls.
Menurut survei Deloitte 2024, sebanyak 68% Gen Z di Asia Tenggara lebih memilih menabung dan investasi ketimbang belanja gaya hidup. Bagi mereka, membeli sepatu seharga Rp700.000 bisa berarti kehilangan peluang beli reksa dana atau SBN yang memberi imbal hasil lebih tinggi di masa depan.
Mal Jadi Showroom, Transaksinya di Genggaman
Fenomena showrooming makin umum: lihat barang di mal, beli online. Rasionalisasi ini masuk akal:
* Di mal: dapat pengalaman sensorik (nyoba, pegang, lihat langsung)
* Di e-commerce: dapat harga lebih murah, diskon, promo eksklusif
Mal kini jadi etalase fisik yang menopang transaksi digital. Ini bukan penurunan, melainkan transformasi fungsi.
Data Tren Konsumen Muda
* 61% masyarakat urban Indonesia menunda pembelian tersier karena tekanan biaya hidup (Katadata, 2024)
* 72% Gen Z mengandalkan review digital, bukan SPG atau etalase (McKinsey, 2025)*
* 3 dari 5 konsumen cek harga di online setelah mengunjungi toko fisik (Google Think with Me, 2023)*
Dari Gaya Hidup ke Survival Mode
Tekanan hidup bukan dongeng. Inflasi bahan pokok, cicilan tinggi, dan upah stagnan membuat uang gaji seperti pasir di genggaman. Maka keputusan “tidak belanja di mal” adalah bentuk kontrol diri dan perencanaan masa depan.
Bahkan menurut Ekonom BCA David Sumual, kelas menengah kini lebih memilih investasi ketimbang konsumsi. Mereka sadar: masa depan tidak pasti, dan belanja hari ini bisa berarti kerentanan esok hari.
Siapa yang Harus Berubah?
Fenomena ini bukan hanya cerita Gen Z dan Alpha. Ini sinyal kuat bahwa model ritel tradisional harus berubah.
“Yang harus menyesuaikan adalah pusat perbelanjaan,” kata Bhima Yudhistira (Ekonom Celios).
Mal tak bisa hanya jadi tempat belanja. Ia harus bertransformasi jadi pusat gaya hidup, rekreasi, interaksi komunitas, bahkan healing space. Mal yang hidup bukan yang penuh kasir, tapi yang penuh makna.
Penutup
“Cuci mata, bukan cuci dompet” adalah filsafat baru konsumsi generasi muda. Mereka tidak anti-belanja—mereka hanya lebih cerdas, lebih selektif, dan lebih sadar akan masa depan.
Mereka bukan pelit. Mereka tahu, kebahagiaan itu tak harus dibeli. Kadang cukup dari udara dingin mal, gelak tawa teman, dan langkah kaki yang ringan—tanpa bon panjang di saku.
