“Kenaikan Cukai Hasil Tembakau Tahun 2020 Perlu Pertimbangkan Kerugian Makro dan Dampak Buruk Tembakau Untuk Kesehatan-Sosial- Ekonomi Masyarakat Terutama Saat Pandemi COVID 19”
Bekerja dalam gelombang kecil, Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD) Jakarta, mampu ikut meyakinkan pembuat kebijakan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok. Tuntutan itu dikeluarkan, jika pemerintah tidak bisa menghentikan sama sekali produksi rokok.
Keputusan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok, disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Selasa (10/12/2020). Ia mengungkapkan kenaikan cukai rokok sebesar 12,5% yang akan diberlakukan pada Februari 2021.
Rektor ITB AD Jakarta, Dr Mukhaer Pakkanna SE MM, bersama CHED ITB AD menyambut baik dan menyampaikan apresiasi terhadap keputusan Pemerintah ini.
Namun demikian, ia mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Kementrian Keuangan agar perlu mempertimbangkan kerugian makro di sektor kesehatan dan pembangunan manusia yang menjadi tujuan utama kenaikan cukai hasil tembakau.
Mukhaer menjelaskan, kerugian makro yang dihitung berdasarkan eksternalitas negatif (dampak negatif) yang ditimbulkan oleh tembakau dan produk turunannya di Indonesia, tercatat sekitar Rp 727,7 Triliun (Data Litbang Kesehatan-2015 diolah CHED ITB AD – 2020).
Kerugian ini, Mukhaer mengatakan, terdiri dari kerugian total kehilangan tahun produktif – Rp 374,06 T, belanja kesehatan total (rawat inap) Rp 13,67 T, belanja kesehatan total (rawat jalan) Rp 208,83 T, serta biaya konsumsi rokok Rp 131,14 T. Dan dapat dipastikan bahwa kerugian makro ini akan naik di saat pandemic COVID 19.
“Pertimbangan dampak kenaikan cukai terhadap buruh, petani, serta maraknya rokok ilegal, yang selalu menjadi alasan klasik perlu ditinjau ulang dengan optimalisasi penggunaan DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau) oleh pemerintah daerah secara jelas dan terukur,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima redaksi Menara62.com di Jakarta, Jumat (11/12/2020).
Lebih lanjut Mukhaer mengatakan, pertimbangan dari sisi industri secara mikro, tidak mencerminkan keberpihakan keadilan terhadap penyelamatan generasi muda dan rakyat golongan miskin dari terpaparnya zat adiktif.
Ia juga menyampaikan, hasil riset Bappenas (2019) mengungkapkan, kenaikan cukai hasil tembakau minimal sebesar 25% pada tahun 2020, seharusnya dapat menjadi tolak ukur mengurangi kerugian makro yang ditimbulkan secara bertahap. Yaitu, dengan menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,6% pada tahun 2024 (Sesuai target pencapaian RPJMN).
Mukhaer menegaskan, hipotesis Kementrian Keuangan dengan kenaikan cukai hasil tembakau rata-rata 12,5% yang akan menurunkan prevalensi perokok dewasa sebesar 32,3% – 32,4%, dan turunnya perokok anak sebesar 8,8% – 8,9% diperlukan pembuktian, bahwa hipotesis ini dapat diterima pada tahun target capaian. Apalagi, jika mengingat data historis kenaikan cukai hasil tembakau rata-rata 10% per tahun tidak dapat menurunkan prevalensi perokok anak dan dewasa.