32.2 C
Jakarta

Dari Kacang-kacangan Hingga Rumput Laut

Makanan 'negatif-karbon' yang membantu membalikkan perubahan iklim.

Baca Juga:

Kita semua tahu bahwa produksi makanan dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Emisi ini berasal dari berbagai sumber, seperti traktor yang membakar bahan bakar, pembuatan pupuk, hingga bakteri dalam perut sapi. Secara keseluruhan, sektor pertanian menyumbang seperempat dari emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia.

Namun, ada beberapa jenis makanan yang ternyata lebih banyak menyerap gas rumah kaca dibandingkan dengan yang dihasilkannya. Makanan-makanan ini sering disebut sebagai “makanan karbon negatif”.

Produksi dan konsumsi lebih banyak makanan seperti ini bisa membantu mengurangi dampak karbon dari pola makan kita, bahkan bisa memperbaiki ekosistem yang rusak.

Tanaman, misalnya, menyerap karbon dioksida (CO2) dari udara saat tumbuh. Namun, ketika kita (atau hewan) mengonsumsi tanaman tersebut, CO2 ini biasanya dilepaskan kembali ke udara. Karena emisi yang terus berlangsung, kita perlu menghilangkan karbon secara permanen dari atmosfer, menyimpannya jauh di dalam laut, batuan, tanah, atau pohon. Beberapa produk dan praktik produksi makanan telah terbukti mampu melakukan hal ini, dan saat ini sudah dimungkinkan untuk menjadikan seluruh pola makan kita karbon negatif, meskipun itu memerlukan perubahan besar dalam kebiasaan makan kita sehari-hari.

Berikut beberapa contoh makanan karbon negatif yang patut diperhatikan:

  1. Kelp
    Kelp dan alga makro lainnya menyerap CO2 saat tumbuh. Beberapa bagian dari kelp yang terlepas kemudian mengendap di dasar laut, di mana sebagian karbonnya disimpan. Untuk kelp dapat dikatakan karbon negatif, rantai pasokannya harus sangat efisien dalam hal karbon, dengan pengemasan, pengangkutan, dan pemrosesan yang minim. Kelp yang diperoleh secara lokal memiliki potensi untuk menjadi karbon negatif, meskipun ini masih jarang terjadi. Pembelian kelp juga bisa menjadi insentif untuk merestorasi hutan kelp yang telah rusak.
  2. Produk Bakteri
    Bakteri pengoksidasi metana adalah sekelompok bakteri yang ditemukan di berbagai lingkungan yang mengonsumsi metana untuk mendapatkan energi. Metana adalah gas rumah kaca yang sangat kuat, bahkan lebih berbahaya daripada CO2 dalam jangka waktu 100 tahun. Dengan mengonsumsi produk yang mengandung bakteri ini, kita mengubah metana menjadi CO2 yang lebih ringan dampaknya terhadap pemanasan global. Produk dari bakteri ini, seperti serbuk protein atau pengganti daging, berpotensi karbon negatif, meskipun produk-produk seperti ini belum tersedia di pasaran secara luas.
  3. Blueberry dan Seledri
    Di lahan gambut yang dibasahi, karbon organik bisa terakumulasi lebih cepat daripada proses dekomposisinya. Produk-produk seperti blueberry, cranberry, dan seledri dapat tumbuh di lahan seperti ini, yang berarti mereka memiliki potensi untuk menjadi karbon negatif jika rantai pasokannya efisien dalam hal karbon. Sayangnya, produk-produk blueberry segar sering kali dikemas dalam plastik dan dikirim ke seluruh dunia, yang menjadikannya makanan dengan jejak karbon yang tinggi. Produk gambut karbon negatif memang ada, tetapi sangat langka.
  4. Kacang, Zaitun, dan Jeruk
    Penanaman pohon di lahan pertanian membantu menyimpan karbon. Dalam dua dekade terakhir, area tanaman pohon kacang di seluruh dunia telah meningkat dua kali lipat, banyak di antaranya berkembang di lahan pertanian. Produk kacang yang dijual di pasaran dapat mengurangi sekitar 1,3 kg CO2 per kg. Jika pohon-pohon ini digunakan untuk membuat produk kayu yang tahan lama setelah masa hidupnya, karbon yang tersimpan dapat bertahan lebih lama.

Mengonsumsi makanan dengan dampak karbon yang lebih rendah atau bahkan karbon negatif bisa menjadi langkah besar dalam memerangi perubahan iklim. Meski saat ini masih sedikit yang dapat kita temui di pasar, penting untuk memantau tren ini dan beradaptasi dengan kebiasaan makan yang lebih ramah lingkungan di masa depan.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!