Oleh: Ashari, SIP*
Orang dermawan, kata Nabi Muhammad SAW dicintai AllahSWT dan disayang orang lain. Statemen Rasul ini berlaku sampai kapanpun. Dan berlaku bagi siapapun. Artinya meski mereka tidak beriman kepada Allah SWT, asal dia dermawan pasti akan disuka oleh orang lain. Dikenang. Masalah kedermawanannya itu diterima atau tidak, itu urusan-Nya. Begitu sebaliknya, terhadap orang kikir Allah sangat benci, manusia juga tidak menyukainya tabiat yang satu itu. Meskipun Islam mengajarkan konsep tengah-tengah dalam membelanjakan harta kita di jalan Allah.
Pernah satu saat Khalifah Usman bin Affan yang kaya raya itu akan menyerahkan semua harta bendanya untuk proyek peperangan. Namun niat baik itu ternyata dicegah oleh Nabi, kata Nabi, keluarga dan kerabat juga mempunyai hak terhadap harta benda yang kita miliki. Subhanallah. Begitu indahnya mekanisme kehidupan dalam Islam. Tetap memperhatikan sisi-sisi real kehidupan di dunia. Dalam bentuk lain, misalnya Islam juga melarang umatnya misalnya menjual rumah dan pekarangannya, kemudian hasil dari jual tersebut diinfakkan semua, sedangkan dia bersama keluarga terpaksa tidur di serambi masjid.
Islam tidak suka kepada orang miskin yang kikir, namun ternyata Islam lebih tidak suka lagi kalau ada orang kaya yang kikir. Kikir dalam kamus bahasa Indonesia artinya terlampau hemat memakai harta bendanya, pelit, loket, kedekut. Dalam pengertian sederhana, kikir bagi kebanykan orang ialah tidak mau mengeluarkan harta, tenaga, atau bahkan pikirannya untuk orang lain. Penyakit kikir inilah yang seringkali menghinggapi pejuang, aktivis, bahkan seorang pahlawan sekalipun. Kita kadang kala senang sekali menghitung-hitung apa yang telah kita perbuat untuk orang lain. Mengingat-ingat kebaikan kita. Usaha kita. Keringat yang menetes. Kemudian kita mencari ganti ruginya dalam materi atau bahkan jabatan. Dalam uang hingga pujian.
Logikanya kalau orang miskin kikir enggan sedekah, karena tidak ada yang akan disedekahkan. Namun kalau orang kaya, kikir, maka mereka benar-benar termasuk kedalam golongan orang-orang yang tidak mau bersyukur.
Puasa Ramadhan yang belum lama kita tinggalkan, sudah seharusnya memberikan pelajaran kepada kita, betapa orang yang mau menginfakkan sebagian hartanya baik diwaktu lapang maupun diwaktu sempit adalah bagian dari orang-orang yang bertaqwa. (QS:Ali-Imran 3: 134 ). Dan mereka akan diberikan surge yang luasnya seluas langit dan bumi. Kurang apa coba? Artinya sebagain harta yang kita infakkan dengan ikhlas itu tidak akan hilang, justru dalam padangan Islam, itulah harta yang sesungguhnya kita miliki. Yang akan menolong kita disaat tidak ada pertolongan lain kecuali dari Allah swt. (hadits).
Perihal infak yang ikhlas ini, sampai-sampai Nabi memberikan garansi bahwa harta yang kita infakkan/sadaqahkan akan bertambah, bertambah dan bertambah. Dan memang begitulah, dalam sejarah hidup manusia tidak pernah tercatat orang dermawan yang jatuh miskin, melarat dan berkurang hartanya. Yang ada adalah sebaliknya.
Maka bagi kita yang masih kikir, masih enggan untuk mengurangi harta kita untuk orang lain yang berhak, mereka akan terkena penyakit rakus. Tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Ibaratnya dia sudah mempunyai kambing gemuk 99, tetangga mempunyai kambing 1 kurus, dia tetap ingin bagaimana agar kambing yang kurus itu menjadi miliknya.
Orang yang kikir, sulit menikmati kekayaan yang sudah dalam genggaman. Sehingga jangankan dia/mereka memikirkan untuk menginfakkan untuk orang lain, kadang-kadang untuk makan diri-nya sendiri saja, mereka sangat berhitung. Sehingga kadang terlihat kekurangan. Padahal ada, padahal punya. Hanya disimpan dan dihitung-hitung. Hingga harta yang banyak itu melalaikannya untuk mengingat Allah SWT.
Dalam konteks ini, kita diingatkan dengan firman Allah dalam surat Al-Munafikun ayat 8 : Hai orang-orang yang beriman, jangan harta bendamu, anak-anakmu sampai melupakan engkau mengingat Allah swt, jika itu yang terjadi maka sungguh engkau termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi (khasirun). Naudzubillah. Tentu kita tidak ingin, justru harta yang kita cari siang malam, menjadi bumerang, menjadikan kita masuk kenerakanya Allah.
Sifat kikir pada diri kita ternyata bisa dikurangi bahkan dapat dikikis habis dengan sering-sering melihat orang yang secara materi jauh dibawah kita. Kita akan lebih banyak bersyukur. Atau cara lain dengan sering-sering menengok tetangga yang sakit, kalau cara itu tidak mempan membuka hati kita, maka tidak ada cara lain selain mengejar ampunan Allah agar kita tidak dimasukkan kedalam golongan orang-orang yang dikunci hati kita, hingga hidayah tidak lagi dapat menembus dalam kalbu. Sekian
*Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY.