Jakarta, Menara62.com – Komite Gerak Bareng selenggarakan diskusi “Political Economic Outlook 2024” di Tebet, Jakarta, Sabtu (13/1/2024). Acara ini menghadirkan beberapa tokoh yakni Eep Saefullah Fattah (CEO Polmark), Haris Azhar (aktivis HAM), Faisal Basri (pengamat ekonomi), dan Hadi R Purnomo (Direktur LP3ES), dipandu oleh Deputi Progresif, Dina Albens.
Komite Gerak Bareng diinisiasi oleh tiga kelompok relawan dari berbagai afiliasi politik, termasuk Relawan IndonesiAnies (pendukung Anies Baswedan), Relawan Progresif (pendukung Ganjar), dan Jaga Demokrasi, sebuah koalisi masyarakat sipil dan aktivis mahasiswa di Jabodetabek.
Ilham Akbar dari Komite Gerak Bareng menyatakan tujuan diskusi ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan memastikan bahwa demokrasi serta reformasi tetap berada di jalur yang benar.
“Kami menyadari ada situasi yang sedang tidak baik baik saja dan ikhtiar kami ini ikhtiar kecil untuk menyalakan lilin kesadaran walaupun nyalanya kecil untuk menyala di hati kita agar terus setia memperjuangkan apa yang kita sebut cita cita reformasi, bahwa hari ini penyelenggaraan dari relawan 01,00 dan 03 ada yang lebih penting dari memenangkan capres kita tapi untuk memastikan bahwa demokrasi dan reformasi tetap on the track,” jelas Ilham, Senin (15/1/2024).
Dalam diskusi tersebut, Faisal Basri mengkritik keras pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggapnya melanggengkan politik dinasti dan korupsi. Ia juga menyoroti dampak negatif kebijakan ekonomi pemerintah selama ini, terutama mengenai tingginya utang negara yang akhir 2023 sudah mencapai Rp8.000 triliun
“Indeks demokrasi, oligarki dan persepsi korupsi itu bersejajar dengan ekonomi nah betapa sebetulnya ekonomi juga sudah di ujung tanduk. Pertama ibaratnya ada orang uangnya banyak, pengen punya rumah lima punya mobil mewah tapi pendapatan sedikit. Nah ini pak Jokowi, dia gak usaha, kerja keras supaya bisa punya mobil dan rumah mewah tapi dia menyengsarakan Gen-Z caranya apa? Bikin IKN, kereta cepat, duitnya gak ada akhirnya dengan utang, utangnya sekarang 8.000 triliun,” jelas Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Tahun ini kata Faisal, utang Indonesia diperkirakan akan bertambah 700 triliun utang baru. Kalau program kerja Jokowi dilanjutkan oleh Prabowo Gibran ia khawatir, utang Indonesia bisa mencapai 15 ribu triliun.
“Apakah yang bayar mereka? Bukan, karena utangnya ini 10 hingga 30 tahun. Nah yang bayar kita dan anak cucu kita,” kata Faisal.
Pembicara selanjutnya, CEO PolMark, Eep Saefulloh Fatah menekankan bahwa Pilpres 2024 tidak akan berlangsung dalam satu putaran, mengingat masih banyaknya pemilih yang belum menentukan pilihan. Dari hasil riset lembaganya, ada sekitar 42 persen suara yang masih diperebutkan, ia membantah angka-angka survei yang menyatakan Prabowo-Gibran akan menang satu putaran.
“Tidak benar pada waktu itu survei banyak katakan (suara Prabowo-Gibran) 45 persen, 47 persen, bahkan mendekati 50 persen. Tidak benar menurut survei kami. Kalau ada yang mengatakan demikian itu bukan dari Lembaga riset tapi mungkin juru kampanye,” jelas Eep.
Eep menjelaskan hal ini terjadi karena masih banyaknya pemilih yang cair alias belum menentukan suaranya. Per November 2023, ada 14 sekian persen yang belum diketahui pilihannya atau masih merahasiakan, bahkan banyak responden yang baru menentukan pilihannya jelang hari pencoblosan.
Di lain sisi, kata Eep suara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menggerus suara Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Sedangkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar naik perlahan.
Eep menyebut data tersebut terekam dalam survei terakhir mereka di 32 provinsi pada November 2023. Ia menyebut per provinsi ada 1.200 responden.
“Ada kecenderungan suara Ganjar-Mahfud mengalami penurunan karena dijadikan sasaran hantaman elektoral 02. Sementara Anis-Muhaimin naik perlahan,” imbuh Eep
Adapun aktivis HAM Haris Azhar menambahkan pentingnya memperhatikan janji keadilan yang belum terpenuhi oleh pemerintahan Jokowi, serta menyoroti praktek-praktek politik dan industri yang merugikan.
“Kita tidak boleh meninggalkan mereka yang dijanjikan keadilan oleh Jokowi waktu terpilih sebagai presiden tapi tidak dipenuhi bahkan menambah masalah baru. Ada banyak praktek politik dan prakter industrial yang terus mengandalkan kebijakan negara,”katanya.
”Ärtinya praktek-prakter buruk negara yang berlindung dari regulasi akan terus dilakukan dan energi masyarakat untuk melawan atau terhindari dari dampak buruk untuk terhindari dari prakter regulasi itu juga rendah. Penting bagi kita semua bagaimana 1 dan 3 ini signifikan dan advokasinya dengan perbaikan situasi (HAM), ” pungkasnya.