JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), M Din Syamsuddin, merasa bersedih dan mendoakan untuk kesembuhan Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto dari luka akibat serangan senjata tajam. Namun, mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini juga sekaligus menyesalkan cara penyikapan aparat terhadap kasus semacam itu.
“Apa yang selalu dilakukan pihak berwajib selama ini dengan secara cepat menyimpulkan pelakunya terpapar ekstrimisme atau terkait dengan kelompok radikal (jika terjadi atas pejabat) atau orang gila (jika terjadi atas ulama/tokoh agama). Ini tidak menyelesaikan dan tidak akan menuntaskan akar masalah,” kata Din Syamsuddin.
Sebagai masyarakat cinta damai, lanjut Din, kita patut mengecam berbagai bentuk tindak kekerasan oleh siapapun, atas nama apapun, dan yang menimpa siapa pun. Baik yang menimpa para pejabat negara maupun tokoh agama seperti yang pernah terjadi sebelum kasus Wiranto.
Sebaiknya, kejadian demi kejadian seperti itu dapat diselesaikan secara tuntas dengan menyingkap pelakunya dan kemungkinan ada aktor intelektualis di baliknya. “Adanya penyebutan keterlibatan Kelompok ISIS, pada hemat saya, ini merupakan simplifikasi masalah yang tidak akan mengakhiri masalah serta merupakan generalisasi yang berbahaya,” tegasnya.
Sebagian warga masyarakat khususnya umat Islam, menurut Din, banyak yang sudah merasa bosan dengan pendekatan seperti itu. “Akhirnya, hilang kepercayaan (terhadap aparat) dan kemudian bersikap abai,” katanya.
Lebih jauh Din mengulas pemberitaan peristiwa yang menimpa Wiranto dalam kunjungan kerja di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019). Ia menggarisbawahi pengakuan Badan Intelijen Negara (BIN) yag sudah sejak tiga bulan sebelumnya memantau pelaku penusukan.
“Pikiran awam saya bertanya, mengapa justeru bisa kebobolan? Rakyat kecil akan merasa lebih terancam keamanannya karena pejabat tinggi, termasuk Menko Urusan Keamanan pun, tidak terjamin keamanannya,” Din.
Suasana tersebut, dalam pandangan Din, tidak positif karena menunjukkan bahwa negara sesungguhnya tidak aman. Negara pun dianggap gagal mengemban amanat konstitusi, yakni melindungi rakyat warga negara.
Maka, Din meminta, ‘Kasus Pandeglang 10 Oktober 2019’ sebaiknya diselesaikan secara jernih. Lakukan proses penegakan hukum yang transparan, imparsial, dan berkeadilan.
“Jika tidak, maka masing-masing pihak akan mengemukakan versi dan interpretasinya dengan ‘bukti-bukti’ sebagai disinformasia (‘penyesatan informasi’) terhadap pihak lain. Suasana demikian akan menimbulkan sikap saling tidak percaya satu sama lain,” tutur Din.
Ia juga mengingatkan, janganlah “Kasus Pandeglang” memalingkan perhatian bangsa terhadap persoalan-persoalan kebangsaan yg mendasar. Yaitu, menjaga persatuan hakiki, merawat kemajemukan sejati, dan membangun infrastruktur negeri jasmani serta rohani.
Wiranto kini dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Ia dikabarkan mengalami luka sobekan pada bagian perut, namun kondisinya sudah stabil dan dalam proses pemulihan.
Ucapan prihatin dan kunjungan terus mengalir dari sejumlah elite politik dan kelompok kekuasaan. Tapi, muncul juga pandangan kritis bahkan hingga menganggap kasus Wiranto hanya sebagai dagelan. Namun, satu per satu, mereka yang tidak sejalan dengan aparat dalam kasus ini, mulai ditindak atau dilaporkan ke polisi.