MENARA62.COM, MAKASSAR – Haedar Nashir, Sosiolog terkemuka dan Ketua Umum Muhammadiyah, mencetuskan gagasan Moderasi Keindonesiaan, tafsir moderasi beragama yang bernas. Gagasan ini terdiri dari empat pilar utama: moderasi Pancasila, moderasi ketimpangan sosial-ekonomi, moderasi pembangunan, dan moderasi nasionalisme.
Moderasi Pancasila menempatkan Pancasila sebagai ideologi moderat, bukan utopia melampaui agama atau aturan praktis. Moderasi ketimpangan sosial-ekonomi menyikapi kesenjangan dengan tegas dan komitmen negara pada Pancasila.
Moderasi pembangunan melihat Indonesia secara holistik, jasmani dan rohani, untuk mencapai keutuhan dan kesatuan. Moderasi nasionalisme menjaga koridor keindonesiaan di tengah, menghindari ultra-nasionalisme. Konsep ini mencerminkan sikap moderat dan progresif, membuka alternatif jalan moderasi beragama di Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel, Hadisaputra, saat memberikan sambutan pengantar dalam Diskusi Buku “Jalan Baru Moderasi Beragama (Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir).
Diskusi yang diinisiasi MPI PWM Sulsel tersebut, digelar di Red Corner Café, Jl Yusuf Dg Ngawing, Makassar, Sabtu malam, 6 April 2024.
Dalam acara itu, tampil tiga pembicara, Prof Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Dr dr Andi Afdal Abdullah (Kontributor Buku, Direktur BPJS Kesehatan), dan Abdul Azis PhD (Kontributor Buku, Dosen IAIN Bone). Diskusi dipandu Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sulsel Andi Muhammad Ilham.
Diskursus Radikalisme dan Moderasi Beragama
Abd Azis dalam paparannya, mengulas sejarah lahirnya gagasan ‘moderasi beragama’ yang diperkenalkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Ia menyebut, moderasi beragama lahir sebagai respon atas aksi 212, aksi demonstrasi besar-besaran atas dugaan penistaaan agama yang dilakukan BTP.
“Pak Haedar mengkritik konsep moderasi beragama yang dianggap bias, karena hanya menargetkan umat Islam saja. Padahal jika pun ada radikalisme, ada faktor lain yang menyertainya. Ada faktor ekonomi, ada faktor politik,” ungkap Dosen IAIN Bone itu.
Azis mencontohkan, adanya 10 persen orang yang menguasai 90 persen kekayaan ekonomi sebagai salah satu penyebab munculnya gerakan radikal, karena merasa tersisihkan secara ekonomi.
Oleh karena itu, kata Azis, Haedar menawarkan konsep baru dalam moderasi beragama. “Konsepnya adalah moderasi beragama, yang dibangun di atas Pancasila, sebagai ideologi bersama, tidak ada yang dominan. Semuanya digandeng dan dilibatkan, tidak ada yang disisihkan dalam berbagai aspek Pembangunan, baik ekonomi, pendidikan, maupun agama,” ungkap Alumni Program Doktor Universitas Utrecht Belanda itu.
Moderasi Beragama di Sektor Kesehatan
Pembicara kedua, Dr dr Andi Afdal Abdullah, yang merupakan Direktur BPJS Kesehatan, banyak menguraikan sisi pemikiran Haedar Nashir yang selama ini belum banyak ditulis. Ia mencoba mengurai gagasan moderasi beragama Haedar dalam bidang kesehatan.
“Saya sering menulis, tapi jujur saya akui ini, menulis tema ini, merupakan tantangan terberat, dan paling lama saya tulis,” ungkap mantan Aktivis IMM itu.
Afdal memulai pemaparannya dengan mengajukan pertanyaan retoris, “Adakah radikalisme di bidang Kesehatan?”. Ia menjawab, kecenderungan berlebihan untuk mencari keuntungan besar di sektor tersebut, juga dapat disebut sebagai radikalisme.
“Saat ini peredaran ekonomi beredar di sektor kesehatan sangat besar, saking besarnya, ada yang meplesetkan menjadi Kementerian Industri Kesehatan,” ujar alumni Fakultas Kedokteran Unhas itu.
Menurutnya, Muhammadiyah adalah jaringan sektor kesehatan terbesar di luar negara. “Jika mau, Muhammadiyah bisa meraup keuntungan besar di sektor ini. Tapi Pak Haedar berpesan di Rakernas MPKU, ‘jangan jadi bandar’. Pesan singkat tapi sangat mendalam,” ungkap Afdal.
Bagi Haedar, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah tidak boleh menggunakan perspektif untung-rugi, harus menjiwai spirit ‘Penolong Kesengsaraan Umum’. Itulah tugas utama PKU Muhammadiyah. “Namun, Rumah Sakit PKU harus tetap berkelanjutan, tidak boleh mati. Inilah salah satu makna moderasi beragama di sektor Kesehatan,” lanjutnya.
Selain itu, gagasan moderasi beragama lainnya dari Haedar, yakni mendorong peguatan sektor Kesehatan Masyarakat.
Dalam pandangan Haedar, kata Afdal, 90 persen aspek Kesehatan ditentukan oleh gaya hidup sehat, bagaimana mendorong agar masyarakat tidak jatuh sakit. Disitulah pentingnya aspek preventif dan promotif.
Afdal melanjutkan, gagasan moderasi Haedar Nashir di sektor Kesehatan, yakni dengan mendorong ‘kesehatan holistik’. Kesehatan jangan hanya dilihat secara fisik, melainkan juga secara metafisik, dan psikologis, serta produktif. “Fakultas kedokteran Muhammadiyah harus mencetak dokter holistik seperti ini,” harap alumni Program Doktor FKM Universitas Indonesia itu.
Moderasi Beragama: Rahmatan Lil Alamin
Irwan Akib menyebut dua kata kunci untuk menyimpulkan sosok Haedar Nashir, yakni Ideolog dan Sosiolog. Menurut Irwan, Haedar dapat disebut sebagai Ideolog Muhammadiyah, sebab ia merupakan tokoh yang merumuskan sistematisasi ideologi Muhammadiyah. Hal itu tidak lepas dari riwayat kekaderan Haedar, yang menjadi aktivis IPM sejak SMP di Bandung, hingga hijrahke Yogyakarta menjadi Ketua I Pimpinan Pusat IPM yang membidangi perkaderan.
“Selanjutnya beliau di Badan Pembinaan Kader mendampingi Pak Busyro Muqoddas. Beliau juga pernah menjadi Sekretaris Umum PP Muhammadiyah di era kepemimpinan Buya Syafii Maarif. Beliau yang paling memahami cara berpikir Buya. Lalu sejak 2015, menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah,” urai Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Pendidikan, Kebudayaan dan Olahraga itu
Sebagai Sosiolog, kata Irwan, Haedar Nashir memahami betul karakter dan struktur Masyarakat Indonesia. Menurutnya, masyarakat Indoensia berwatak moderat, siap berbeda, dan mampu memahami perbedaan, yang diwujudkan dalam Pancasila. Muhammadiyah menyadari itu, dan merumuskannya dalam konsep ‘Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah’.
“Pak Haedar sebenarnya bukan hanya Sosiolog, beliau paham antropologi dan sejarah. Beliah sangat memahami perbedaan budaya dalam masyarakat, serta menguasai lekuk Sejarah Indonesia, bukan hanya mengingat tanggal dan jam, melainkan juga memberi makna dari setiap peristiwa Sejarah,” ungkap Guru Besar Pendidikan Matematika Unismuh Makassar itu.
Dengan latar belakang tersebut, menurut Irwan, sangat wajar jika Haedar mampu menawarkan konsep moderasi yang sejalan dengan karakter sosiologis masyarakat Indonesia.
“Moderasi beragama, oleh beberapa kalangan ditafsirkan dengan caara berbeda. Menurut saya, moderasi beragama intinya satu, bagaimana Islam menjadi rahmatan lil alamin. Persoalannya, bagaiamana menjadikan Islam menjadi rahmatan lil alamin? Itulah tugas kita semua,” tutup Irwan Akib.
Salah satu pembicara yang dijadwalkan, yakni Dr Ashabul Kahfi, yang merupakan Ketua Komisi VIII DPR RI, batal menjadi pembicara dalam diskusi ini. Kahfi baru saja mendarat di Jakarta, Sabtu sore, usai lawatan ke Sudan, mengantarkan bantuan kemanusiaaan Indonesia untuk negara itu.
Namun melalui pesan singkat, Ashabul Kahfi memberikan apresiasi atas gagasan moderasi keindonesiaan yang ditawarkan Haedar Nashir.
“Pak Haedar Nashir menawarkan Jalan Baru Moderasi Beragama yang tidak hanya berfokus pada moderasi beragama tetapi juga mengintegrasikan konsep tersebut dalam prinsip-prinsip kebangsaan dan keindonesiaan. Beliau menekankan pentingnya Pancasila sebagai dasar moderasi sosial-politik dan ekonomi, serta memajukan ide moderasi dalam konteks pembangunan nasional yang lebih luas. Hal itu dapat menjadi kunci untuk memperkuat kesatuan dan kemajuan Indonesia,” ungkap Kahfi, melalui aplikasi Whats App.
Diskusi yang disiarkan langsung TVMu ini berakhir pukul 22.30 WITA. Acara ini diikuti ratusan peserta, yang sebagaian besar merupakan aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah. Tampak hadir pula, Wakil Ketua PWM Sulsel Dr Panca Nurwahidin, dan Ketua Majelis Dikdasmen PWM Sulsel Erwin Akib PhD.