JAKARTA, MENARA62.COM – Kementerian Kesehatan sebenarnya telah menerbitkan regulasi terkait pencegahan kecurangan (fraud) dalam system Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Regulasi tersebut telah diterapkan secara turunannya kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dan dinas kesehatan di kabupaten-kota.
Namun hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyebutkan terdapat kendala dalam pengimplementasiannya di lapangan sehingga tidak optimal. Akibatnya meski ada regulasi tetapi potensi fraud masih terus ada.
“Ada banyak kendala sehingga pengimplementasian regulasi tersebut di lapangan menjadi tidak optimal,” kata Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Zainal Abidin di sela workshop bertema Mengisi Kekosongan Regulasi Pencegahan, Pendeteksian, dan Penindakan Kesalahan dan Kecurangan (P3K2) dalam Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional, Rabu (24/7/2019).
Kendala tersebut mulai dari yang belum membentuk tim pencegahan kecurangan, sudah ada tim tapi tidak memiliki pedoman kebijakan, atau yang sudah punya pedoman dan kebijakan namun tidak bisa diimplementasikan. Sepanjang persoalan tersebut belum teratasi maka potensi fraud akan terus ada.
Zainal menilai, selain regulasi, penting disusun standar tentang fraud itu sendiri. Apa dan bagaimana klasifikasi tentang fraud JKN.
“Dari catatan saya, kalau standarnya belum ada juga walaupun pedoman itu ada, sulit diimplementasikan,” kata Zainal.
Senada juga dikemukakan Subiyanto, anggota DJSN dari unsur pekerja. Menurutnya potensi kecurangan itu bisa datang dari BPJS Kesehatan selaku penyelenggara JKN, bisa dari provider seperti rumah sakit, bisa pula dari peserta JKN bahkan bisa juga dari regulasi yang ada.
“Jadi kecurangan dan kesalahan itu terjadi sangat massif karena banyak faktor yang mempengaruhi,” jelasnya.
Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan DJSN misalnya ditemukan adanya kasus kecelakaan lalu lintas yang menimpa peserta JKN. Dalam praktiknya, banyak kasus kecelakaan yang akhirnya dibebankan kepada pembiayaan JKN.
Dalam diskusi antara DJSN dengan pemangku kepentingan untuk menghimpun masukan dari pemangku kepentingan disepakati bahwa kesalahan dan kecurangan dapat terjadi dalam berbagai proses bisnis penyelenggaraan JKN. Yaitu mulai dari penyusunan regulasi pendataan orang miskin dan tidak mampu yang dijadikan dasar pemberian bantuan iuran pendaftaran peserta, pembayaran iuran, pelayanan kesehatan, serta pembiayaan.
“Hal menarik adalah rekomendasi agar fungsi DJSN dioptimalkan sesuai undang-undang yang ada. Sebab lembaga ini dibentuk dan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga kalau ada apa-apa dengan program jaminan social, presiden harusnya meminta pertanggungjawaban DJSN,” tutup Subiyanto.