JAKARTA, MENARA62.COM– Budaya komentar di media sosial atau elektronik telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Akibatnya, media sosial setiap hari menjadi sangat riuh, tidak ada hal yang tidak relevan untuk dikomentari.
“Semua hal maunya dikomentari, apa saja. Yang penting berkomentar,” papar Dr Karlina Supelli Dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara pada Serial Fokus Group Discussion (FGD) serial-6 yang digelar PPAD, FKPPI dan YNSB bertema Strategi Kebudayaan Kontekstual Dalam Pembangunan Karakter Bangsa, kemarin.
GFD tersebut menjadi rangkaian Simposium Nasional Kebudayaan bertema Pembangunan Karakter Bangsa Untuk Melestarikan dan Mensejahterakan NKRI Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tampil sebagai pembicara lainnya adalah Dr Riant Nugroho, Ketua Pokja Polhukam dan Prof Dr Bambang Wibawarta, Guru Besar UI.
Dengan memberikan komentar, baik pendek maupun panjang di media sosial, lanjut Kalina, seseorang sudah merasa menjadi hebat. Meski komentar-komentar tersebut kadang tidak pada subtansinya.
“Ada masalah serius tetapi ditanggapi dengan komentar pendek, tidak ada kedalaman masalah. Ini kebiasaan masyarakat kita yang melakukan interaksi melalui media sosial, “ tambah Karlina.
Selain budaya komentar, budaya konsumerisme juga menjadi persoalan utama yang kini dihadapi masyarakat Indonesia. Karlina mengutip hasil penelitian LIPI terkait tingkat kepercayaan diri masyarakat Indonesia untuk berlanja. Ternyata, hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menduduki peringkat ketiga dari 106 negara didunia yang diukur.
Bandingkan dengan penduduk Skandinavia dan Swiss. Dua negara kaya tersebut ternyata menempati urutan ke 60 dan 70 dalam hal kepercayaan diri untuk berbelanja.
“Ini menimbulkan lingkaran setan, masyarakat menjadi tidak produktif dan pada akhirnya mereka cenderung menjadi konsumen. Cuaca kebudayaan ini harus kita cermati,” jelas Karlina.
Karlina juga menyoroti masalah budaya korupsi, minimnya komitmen dan tanggungjawab yang kini dihadapi Indonesia dalam membangun negara.
Untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa, menurut Karlina jalan keluarnya adalah mengubah kebiasaan sehari-hari. Diantaranya mengubah budaya baik cara berpikir, merasa dan bertindak.
Karlina mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah sekedar peristiwa politik tetapi sekaligus peristiwa budaya. Karena didalamnya terdapat penyatuan suku bangsa dan budaya, termasuk menyatukan kerajaan-kerajaan. Ini menjadi peristiwa budaya yang sangat luar buasa.
“Dalam peristiwa kemerdekaan, saya melihat kita punya cita-cita yang sangat besar, tetapi untuk membangunnya tentu dibutuhkan perubahan perilaku. Sepanjang perilaku sehari-hari yang menggelisahkan itu tadi masih tetap sama, kita seperti mau membangun istana, tetapi perilaku di dalamnya itu tidak berubah,” tegasnya.
Jadi sasaran yang kongkritnya itu mengubah kebiasaan publik, mengubah keadaban publik. Tidak sekedar abstrak tetapi menjadi nyata.
Karlina menekankan pentingnya membangun kebiasaan-kebiasaan yang bukan hanya personal, tetapi juga kebiasaan personal yang punya efek bagi kebaikan hidup bersama. Jika kebiasaan itu terpatri pada setiap orang, maka orang tidak akan memikirkan baik atau buruknya.
Sementara itu Prof Bambang Wibawarta menyoroti rendahnya Human Capital Index Indonesia di ASEAN yang mengalami penurunan menjadi 69 pada tahun 2015 dari sebelumnya ranking 53 di tahun 2013. Demikian pula dengan Global Competitiveness Index Ranking Indonesia yang melorot pada periode 2015-2016 menjadi 37 dari sebelumnya ranking 34 pada periode 2014-2015.
Fakta tersebut menurut Prof Bambang menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan daya saing dan ini akan lebih sulit menghadapi era globalisasi. Karenanya diperlukan strategi kebudayaan untuk dijadikan benteng menghadapi segala tantangan bangsa yang ada.
Strategi kebudayaan yang dimaksud kata Prof Bambang bisa memiliki dua arti, yakni strategi pengembangan dan pelestarian kebudayaan. Dan kedua adalah strategi sebagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, politik, menghadapi proxy war dan neocortical war yaitu cara perang tanpa penggunaan kekerasan.
”Dua strategi kebudayaan inilah yang sekarang harus kita susun ulang,” tutup Prof Bambang.