JAKARTA, MENARA62.COM– Kemajuan menuju kesetaraan gender secara global mulai melambat. Dalam laporan UNDP 2020 Human Development Perspectives, dengan laju yang ada sekarang, dunia membutuhkan 257 tahun untuk mengatasi kesenjangan gender.
Global Gender Gap Report 2020 dari World Economic Forum menempatkan Indonesia pada posisi ke 85 dari 153 negara dalam hal kesetaraan gender. Ketimpangan gender tersebut disusun atas dasar keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam setiap aspek pembangunan.
“Pengarusutamaan gender bukanlah upaya untuk memberi keadilan pada satu gender atau kelompok tertentu saja, melainkan untuk semua,” kata Diah Saminarsih, Senior Advisor on Gender and Youth to the WHO Director General di sela diskusi bertajuk Ruang Temu Edisi Tematik Hari Perempuan Internasional dalam siaran persnya, Kamis (12/3/2020).
Dalam pembangunan kesehatan, lanjut Diah, kesetaraan gender memiliki daya ungkit mewujudkan target-target kesehatan (health outcomes) karena kelompok perempuan, kelompok rentan, dan minoritas kerap menghadapi kendala dalam mengakses pelayanan kesehatan dasar akibat norma sosial dan budaya. Pendekatan transformatif gender (gender transformative approach) adalah sebuah cara membangun norma-norma baru untuk memenuhi hak setiap orang dalam mengakses pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan perempuan dan pelibatan kelompok pria dalam diskusi.
Menurutnya pembangunan kesehatan harus mengutamakan isu gender karena gender merupakan determinan kesehatan yang berinteraksi dengan faktor lainnya dalam kesehatan, seperti kelas sosial, ras, dan etnis. Pendekatan gender dalam kesehatan mempertimbangkan faktor sosial, budaya, dan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki yang berperan penting dalam menentukan status kesehatan dan kesejahteraan individu.
“Sebagai contoh, kematian ibu di Indonesia masih di angka 305/100.000 kelahiran hidup, pun kematian pria akibat tuberkulosis, kecelakaan, dan alkohol jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan,” jelas Diah.
Lensa gender menjadi sudut pandang yang signifikan dalam intervensi kesehatan mengingat saat ini 70 persen tenaga kesehatan di seluruh dunia adalah perempuan (WHO, 2019). WHO sendiri telah mengintegrasikan posisi gender, keadilan, dan hak asasi manusia dalam satu kesatuan sebagai cara untuk mencapai kesehatan bagi semua.
Oleh sebab itu, berbagai upaya implementasi pengarusutamaan gender melalui proses integrasi, intervensi, dan dialog harus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah namun berbagai pihak untuk mencapai kesetaraan gender.
Sementara itu, Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI menjelaskan pada perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini, CISDI sebagai think tank yang berfokus pada pembangunan kesehatan, menyadari betapa isu gender seringkali menjadi hambatan dalam penyelesaian masalah kesehatan. Untuk itu, CISDI berkomitmen untuk terus mendorong pengarusutamaan gender dalam berbagai lini pembangunan serta keterlibatan berbagai pihak untuk menciptakan kesempatan yang sama untuk semua gender, tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga laki-laki dan kelompok gender minoritas lainnya.
Olivia menambahkan bahwa perempuan bukan satu-satunya yang diuntungkan dari kesetaraan gender. Laki-laki juga bisa terlibat dalam upaya memutus rantai perkawinan anak, angka putus sekolah, kekerasan berbasis gender, dan segala bentuk ketidakadilan yang berimplikasi serius terhadap permasalahan kesehatan serta memiliki konsekuensi pada kondisi ekonomi dan kesejahteraan.
Menurutnya situasi kesetaraan gender yang masih rendah di Indonesia perlu mendapatkan perhatian lebih oleh semua pihak, baik oleh pemerintah maupun elemen lainnya seperti media, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Laki-laki pun bisa berperan menjadi sekutu untuk memutus segala bentuk ketidakadilan gender. Untuk itu, pelibatan laki-laki dalam diskursus gender sangat diperlukan.
Laporan WHO terbaru di 41 negara menunjukkan, pada kelompok masyarakat yang lebih setara secara gender, laki-laki memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami depresi. Pertumbuhan ekonomi dan sosial negara pun memiliki dampak positif dengan adanya kontribusi dari kelompok perempuan.
Untuk itu, CISDI menganggap kebijakan seperti RUU Ketahanan Keluarga yang dibangun tanpa menggunakan lensa gender justru akan berdampak buruk pada pembangunan secara luas. Ditambah dengan tidak segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, situasi ini berpotensi membiarkan terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi akses kesehatan pada kelompok perempuan, dan merebaknya stigma pada orang dengan kondisi kesehatan tertentu seperti tuberkulosis, HIV/AIDS, dan depresi.
“Penting untuk diketahui bahwa kesetaraan gender diperlukan untuk memastikan terwujudnya agenda pembangunan nasional dan global tanpa meninggalkan satu orang pun untuk mencapai kesehatan bagi semua,” tutup Olivia.