31.6 C
Jakarta

Energi Baik PGN, Membangun Transportasi yang Menyejahterakan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM– Bagaimana energi baik PGN telah memberikan efek domino bagi ekonomi masyarakat, belajarlah dari kisah Tobri, Imung, dan Samari. Sopir bajaj yang mangkal di sekitaran Thamrin, Tanah Abang, dan masjid istiqlal Jakarta Pusat tersebut setidaknya bisa mewakili belasan ribu sopir bajaj lainnya di Jakarta. Kisah sopir bajaj yang merasakan sedemikian besar pengaruh penggunaan bahan bakar gas (BBG) bagi kesejahteraan kehidupannya.

Mengenakan rompi biru tua bertuliskan Kobagas, Tobri baru saja tiba di pangkalan bajaj di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat ketika awak media Menara62.com menghampirinya. Sopir bajaj bernomor kendaraan S2874P tersebut mengaku baru saja antre untuk mendapatkan bahan bakar di Mobile Refueling Unit (MRU) Monas milik Perusahaan Gas Negara (PGN).

“Antre sedikit nggak apa-apa, yang penting bisa dapat gas. Dari pada mesti balik pakai bensin yang harganya mahal,” kata Tobri, Selasa (12/12).

Ia mengaku sudah beralih ke BBG sejak tiga tahun lalu, bersama ribuan sopir bajaj yang tergabung dalam Komunitas Bajaj Gas (Kobagas). Meski tangki bensin di bajajnya masih berfungsi, tetapi tak sekalipun pernah diisi lagi.

Sambil menunjukkan conventer kit yang berada di bawah jok sopir, Tobri bercerita bahwa sejak menggunakan gas, penghasilan yang dibawa pulang ke rumah naik dua kali lipat bahkan lebih. Dari penghasilannya tersebut, ia bisa membayar iuran BPJS Kesehatan dan membiayai 4 anaknya bersekolah, dua diantaranya sudah lulus SMK.

“Alhamdulillah, saya bisa bawa pulang uang lebih banyak. Dulu waktu pakai bensin, saya paling bisa bawa pulang duit 40 ribu rupiah hingga 50 ribu rupiah sehari,” lanjut Tobri.

Dengan BBG yang harganya jauh lebih murah kini Tobri bisa membawa pulang uang Rp100 ribu, bahkan kadang bisa Rp150 ribu. Jumlah yang lebih besar itu diperoleh dari selisih uang pembelian bahan bakar. Jika dahulu saat menggunakan bensin sehari bisa Rp80 ribu hanya untuk beli bahan bakar, saat ini cukup Rp21 ribu.

“Dapat tarikan sama, sehari antara Rp200 ribu sampai Rp250 ribu, lalu buat setoran ke pemilik bajaj, sebagian buat beli makan dan minum. Sisanya bisa dibawa pulang. Tetapi karena bahan bakarnya irit, ya jumlah yang saya bawa pulang jadi nambah banyak,” tukasnya.

Tobri, sopir bajaj yang mangkal di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Hal yang sama juga dialami Imung, sopir bajaj dari Matahari Group di kawasan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. BBG Tidak hanya menambah pundi-pundi rumah tangga. Lebih dari itu, menggunakan BBG juga membuatnya lebih sehat, tidak mudah lelah, tidak mudah sakit.

“Dulu setiap kita hidupin mesin, sudah pasti kena asap bajaj. Sekarang sudah nggak lagi. Makanya badan jadi lebih sehat,” jelas Imung.

Ia mengaku menjalani profesi sebagai sopir bajaj sudah cukup lama, sekitar 15 tahun. Selama 13 tahun, bajaj ‘orange’ nya menggunakan bahan bakar bensin. Lalu sejak 2016, si orange berubah menjadi si biru, seiring beralihnya pemakaian BBM ke BBG.

Keputusan Imung beralih menggunakan BBG tidak serta merta datangnya. Sebelum memutuskan, ia banyak belajar dari teman-teman sesama sopir bajaj di tempat mangkalnya. Dari cerita merekalah, akhirnya Imung memberanikan diri ikut beralih ke gas. Keputusan tersebut didukung oleh pemilik bajaj dimana ia menyewa.

“Ya awalnya takut, karena katanya kalau pakai gas gampang meledak, gampang terbakar. Tetapi setelah saya belajar dari teman sesama sopir bajaj, tukar cerita, ikut kumpul-kumpul, ternyata tidak terbukti. Makanya saya memutuskan ikut pakai BBG,” sambung Imung.

Tobri dan Imung tidak sendiri. Ada sekitar 15 ribu sopir bajaj di DKI Jakarta yang kini beralih dari BBM ke BBG. Umumnya keputusan beralih ke gas awalnya karena mengikuti kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang ingin menekan tingkat polusi udara Jakarta. Hanya saja, seiring waktu, ribuan sopir bajaj tersebut mendapatkan manfaat jauh lebih besar dari sekedar persoalan polusi udara.

“Banyak teman-teman yang tangki bensinnya nggak dimatiin. Masih bisa berfungsi. Jadi kapan mau bisa saja beralih kembali ke BBM. Cuma karena memang perbandingan harganya cukup jauh, ya kawan-kawan tetap konsisten pakai gas,” kata Samari, sopir bajaj yang biasa mangkal di Kawasan Sarinah Thamrin.

Konsistensi sopir bajaj tersebut juga bisa dilihat saat mereka harus antre untuk mendapatkan BBG. Mereka rela menghabiskan waktu sekitar 1 jam hanya untuk mengisi tangki BBG.

“Awal-awal pakai BBG nggak antre panjang, sekarang saya bisa 1 jam antre BBG di MRU Monas. Tetapi nggak masalah jika kita bisa hemat biaya bahan bakar,” lanjut Samari.

Ketua Umum Kobagas Agus Supriyono, mengakui sopir bajaj yang umumnya pernah menggunakan bajaj orange berbahan bakar bensin, dapat merasakan perubahan saat beralih ke BBG. Dari segi operasional, bajaj BBG  lebih hemat sehingga penghasilan yang dibawa pulang lebih banyak dibandingkan saat menggunakan bajaj model lama. Selain itu, bajaj BBG juga lebih ramah lingkungan.

“Harga bahan bakarnya jelas jauh lebih murah. Compress Natural Gas atau CNG yang setara dengan satu liter bensin premium hanya dijual 3.100 rupiah per liter. Sedang bensin jenis premium saja sekarang sudah 6.500 rupiah per liter. Pengeluaran kalau pakai gas hanya habis sekitar 21 ribuan, tetapi kalau pakai bensin bisa antara 70 ribuan sampai 80 ribuan,” jelas Agus.

Mobile Refueling Unit milik PGN di kawasan Monas.

Perkuat infrastruktur

Sejatinya konversi BBM ke BBG dalam bidang transportasi yang dilakukan pemerintah telah membuahkan hasil yang cukup bagus. Setidaknya kesadaran sopir bajaj untuk menggunakan BBG semakin meningkat. Salah satu indikatornya adalah semakin banyaknya kebutuhan gas di stasiun BBG yang sudah ada. Pun antrean bajaj semakin hari semakin panjang.

Di MRU Monas sendiri, pembelian BBG dilayani sejak pukul 06:00 hingga 22:00 WIB. Rata-rata dalam sehari menghabiskan BBG setara dengan 2.500 liter premium. Jumlah kendaraan yang bisa dilayani baik taxi maupun bajaj lebih dari 100 unit per hari.

“Untuk mengisi satu bajaj paling hanya 2 menit. Kalau taksi antara 5 menit sampai 7 menit, tergantung kosong banget atau nggak tangki BBG-nya,” kata Ervin, petugas MRU Monas.

Untuk melayani sopir bajaj, PGN MRU Monas menerjunkan 16 karyawan yang terbagi dalam 2 shift. Mereka melayani penjualan BBG dengan dua selang yang digunakan bergantian antara taxi dengan bajaj.

Data menunjukkan dari total pengguna BBG di DKI Jakarta, sekitar 40 persen adalah bajaj, disusul TransJakarta 35 persen lalu taxi dan kendaraan jenis lainnya.

Bangun infrastruktur gas

Sementara itu, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendorong pemerintah terutama DKI Jakarta agar memperkuat kebijakan konversi BBM ke BBG. Mengingat saat ini DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki perangkat memadai yang dapat digunakan untuk merealisasikan mandatori penggunaan BBG.

“Sudah saatnya DKI Jakarta harus memelopori penggunaan BBG secara massal untuk semua angkutan umum dan operasionalnya,” tutur Tulus.

 

Selain melayani bajaj, MRU PGN Monas juga melayani taxi

Penguatan kebijakan konversi BBG tersebut diantaranya adalah penyediaan infrastruktur yang memadai, seperti memperbanyak stasiun pengisian BBG. Tujuannya untuk memudahkan sopir angkutan umum mendapatkan pasokan BBG setiap hari sekaligus menjamin keamanan pasokan BBG.

“Stasiun pengisian BBG di Jakarta masih terbatas, tidak sepadan dengan jumlah kendaraan yang telah mengkonversi sistem penggunaan BBM-nya ke BBG,” jelasnya.

PGN sendiri hingga 2018, telah memiliki 16 stasiun pengisian BBG yang tersebar di sejumlah wilayah. Dari jumlah tersebut enam diantaranya berada di wilayah Jakarta antara lain di kawasan Ancol, kawasan Klender, Jalan Ketapang dan MRU Monas.

Penggunaan BBG dalam hitungan Asosiasi Logistik dan Fowarder (ALFI) mampu menekan biaya transportasi dan distribusi barang yang cukup siginfikan. Dimana data 2017 menunjukkan komponen bahan bakar menyumbang 29 persen dari total pembiayaan transportasi dan distribusi. Dengan pemanfaatan BBG yang jauh lebih murah, maka kenaikan biaya logistik bisa dihindari dan pada ujungnya dapat menekan laju inflasi.

Dukung industri nasional

Selain menggarap sektor transportasi, PGN diakui Head of Marketing and Product Development Division PGN, Adi Munandir juga menggarap sektor rumah tangga, usaha kecil dan menengah (UKM), sektor industri, sektor kelistrikan dan sektor komersiil seperti hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan.

PGN Berkomitmen mengamankan pasokan gas nasional. (istimewa/PGN solution)

Melalui sejumlah anak usahanya, PGN terus berupaya mengelola ketersediaan gas bagi penduduk Indonesia mulai dari hulu hingga ke hilir dengan strategi PGN 360 Degree Integrated Solution. Strategi ini merupakan kolaborasi kerja antara PT PGN Saka Energy yang menyediakan gas bumi di sektor hulu, PT PGN LNG Indonesia yang mengembangkan produk gas bumi yakni Liquefied Natural Gas (LNG), dan  PT Gagas Energi Indonesia yang melakukan penyaluran CNG.

PGN juga menyediakan pasokan gas bumi, listrik, pasokan bahan bakar gas untuk transportasi hingga jasa Engineering, Procurement and Construction (EPC) hingga IT dan telekomunikasi bagi para pengguna gas atau pelanggan PGN.

Saat ini PGN telah memasok lebih dari 1.658 industri besar dan pembangkit listrik, lebih dari 1.930 pelanggan komersial, dan 204.000 pelanggan rumah tangga. Konsumen PGN tersebut tersebar di 19 kabupaten/kota di 12 provinsi, di antaranya Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara, dan Sorong Papua.

PGN juga akan tetap agresif membangun infrastruktur gas bumi nasional untuk meningkatkan pemanfaatan produksi gas nasional. Hingga akhir 2018,  infrastruktur pipa gas yang dibangun dan dioperasikan PGN mencapai lebih dari 7.337 km atau setara dengan 80% pipa gas bumi hilir nasional.

Dengan berbagai strategi bisnis yang dilakukan tersebut, diharapkan konsumsi gas nasional akan terus meningkat. Data Kementerian ESDM tahun 2017 menunjukkan penggunaan gas dalam energi nasional baru mencapai 16,92%. Energi terbesar masih pada minyak bumi, yaitu sebesar 30,52% disusul batu bara mencapai 26,64%.

Masih kecilnya pasokan gas dalam keseluruhan pasokan energi nasional menunjukkan adanya persoalan dalam dukungan pasokan gas nasional. Persoalan tersebut adalah keterbatasan jaringan pipa gas yang menyalurkan gas ke seluruh konsumen.

Kedepan, pembangunan jaringan pipa gas ke seluruh wilayah Tanah Air harus ditingkatkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan gas. Sebab kebijakan energi pemerintah yang terbaru adalah mengurangi ekspor gas alam secara bertahap seiring dengan meningkatnya penggunaan gas di dalam negeri. (m. kurniawati)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!