25.9 C
Jakarta

Film ‘DIRTY VOTE’, Perilaku Tercela, dan Masalah Kesehatan Rohani

Baca Juga:

 

Oleh Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan

 

 

Ketika Tuhan ingin menghukum suatu bangsa,

Dia memberi mereka pemimpin yang jahat”.

(Johan Calvin, 1509 – 1564)

 

BANTUL, MENARA62.COM – Ahmad Syafii Maarif (2022), dalam bukunya “Ranah Gurindam Dalam Sorotan” menulis, di bawah judul (buku) “Demokrasi Kita”, Bung Hatta mengatakan bahwa demokrasi bisa ditindas buat sementara karena kesalahan para pendukungnya yang tidak bertanggung jawab, tetapi ia tidak bisa dibunuh. Dalam hubungannya dengan sejarah modern Indonesia, Bung Hatta secara kategoris menegaskan bahwa lenyapnya demokrasi berarti lenyapnya Indonesia merdeka. Demikian kuatnya kepercayaan Bung Hatta terhadap sistem demokrasi sehingga tidak bisa dipisahkan dengan kelangsungan kemerdekaan bangsa. Semua orang sepakat, Hatta adalah demokrat sejati dalam teori dan praktik.

 

Hatta adalah Bapak Demokrasi Indonesia yang sangat menjunjung tinggi moralitas dalam politik. Titik kelemahan Bung Hatta terletak pada kekurangsabarannya untuk bertahan pada suatu posisi penting penyeimbang di saat kecenderungan kekuasaan ingin mengebiri demokrasi.

 

Hatta adalah juga seorang asketis saat berhadapan dengan kekuasaan. Bangsa ini beruntung karena punya pemimpin teladan yang susah dicarikan gantinya, tetapi pasti ada yang menyusul.

 

Jika kita coba berdialog secara imajiner dengan ruh Bung Hatta tentang situasi demokrasi di Era Reformasi di tangan para pengais rezeki, Bung Hatta tentu sangat kasihan menonton perilaku mereka itu. Alangkah rendahnya tingkat keadaban politik mereka. Sistem demokrasi yang secara teori adalah untuk menegakkan keadilan dan menyejahterakan rakyat secara keseluruhan, mengapa kini telah diubah menjadi sarana untuk “berebut tulang”. Keteladanan musnah, rasa tanggung jawab hilang, nurani lumpuh, akal sehat ditindas, dan yang tersisa adalah kepura-puraan yang dibungkus dengan senyum palsu dan sangat menyebalkan. Jangan dikira rakyat banyak tidak menyimak dengan seksama kemunafikan politik ini. Dalam hati mereka berkata: “Hentikan semuanya ini, jika tidak,  kami pasti akan menghukum. Demokrasi jangan dijadikan barang mainan. Taruhannya adalah bangsa dan negara yang setengah telantar ini”.

 

Ruh Hatta tentu akan mengentak: “Hai, bangsaku ! Berhentilah bertanam tebu di bibir, tidak ada gunanya, toh yang busuk pasti akan berbau, yang culas akan terbongkar, cepat atau lambat. Hanya masalah waktu”. Demokrasi bagi para pecundang ini tidak lebih dari sarana untuk memperbaiki dapur, memperbesar rumah, ganti mobil, atau menambah pasangan. Pengap sekali kelakuan mereka itu. Akan tetapi, Hatta tentu tidak menyesal telah memilih demokrasi untuk Indonesia merdeka sebab pada saatnya demokrasi yang sehat dan kuat itu pasti akan menjadi masa depan kita semua. Oleh sebab itu, para demokrat sejati jangan sampai termakan ilusi konyol bahwa sistem otoritarian lebih baik dari demokrasi. Yang perlu dikerjakan bersama secara berani sekarang dan seterusnya adalah mengusir dan menghalau virus-virus jahat yang ditempelkan pengais rezeki itu pada tubuh demokrasi yang menyebabkqan tubuh itu sakit dan merana.

 

Akhirnya, yang perlu diwaspadai dan diprihatinkan adalah sikap pemilih pemula yang jumlahnya di atas 30% tampak lesu darah untuk turut memilih karena melihat perjalanan demokrasi yang cacat moral di tangan politisi yang tidak bertanggung jawab. Padahal, generasi muda ini sesungguhnya sangat berkepentingan bagi tegaknya sebuah bangunan demokrasi yang sehat sebab dalam tenggat waktu 15-20 tahun yang akan datang merekalah yang akan menjadi pemain utama di panggung perpolitikan nasional dan daerah. Demokrasi selalu memerlukan stamina spiritual yang prima dari para pendukungnya, tidak boleh patah harapan, sekalipun sungguh melelahkan.

 

Presiden Jokowi, Perilaku Tercela, dan Masalah Kesehatan Rohani

Sesunggunya Allah menyuruh kamu berlaku adil, dan berbuat baik dalam segala hal”. (QS An Nahl [16]: 90).

 

Lebih lanjut Buya Syafii (2022) muazin bangsa Indonesia menulis, tentang kesan beliau terhadap Bung Hatta sebagai negarawan, pemikir, patriot, nasionalis, ekonom, dan moralis sejati. Semua atribut ini menyatu secara apik dalam kepribadiannya yang kokoh, teguh, dan tahan bantingan. Dalam ungkapan lain, Bung Hatta punya integritas pribadi yang luar biasa hebatnya. Oleh sebab itu, menurut hemat Buya Syafii, jika bangsa ini masih ingin punya masa depan yang cerah, maka Hatta wajib dijadikan rujukan yang pertama dan utama.

 

Dalam sebuah pembicaraan Buya Syafii dengan Presiden Megawati pada suatu sore 5 Februari 2002, terlontar kalimat ini: “Bung Hatta itu kami pandang sebagai orang tua kami sendiri, ia korek dan lurus, tidak seperti bapak saya!”. Kalimat ini bagi Buya Syafii cukup jujur yang keluar dari mulut seorang presiden, apalagi itu sekaligus juga menyinggung ayahnya sendiri. Pada waktu itu Buya Syafii cepat menyambung bahwa kedua tokoh bangsa itu justru saling melengkapi. Bung Karno memerlukan Hatta, dan Bung Hatta memerlukan Bung Karno. Hatta adalah seorang pembicara yang datar, penuh isi, sedangkan Bung Karno adalah salah seorang orator terbesar abad ke-20. Memang kita patut menyayangkan bahwa kedua bapak bangsa itu akhirnya berpisah secara politik, sekalipun hubungan pribadi mereka tetap terpelihara dengan baik.

 

Bahwa Bung Hatta memiliki nilai-nilai agung di atas tak seorang pun yang dapat menyangkalnya, kecuali mereka yang tidak mengerti sejarah bangsanya sendiri. Pada diri Hatta, terpampang jelas “satunya kata dan perbuatan”.

 

Kesaksian Ny. Rahmi Hatta tentang betapa teguhnya pribadi Bung Hatta ini dalam menghadapi segala situasi, baik sebagai kepala keluarga maupun negarawan, kutipan berikut menjelaskan: “Suka-duka telah kami lalui bersama, dan dalam suka-duka ini saya telah memahami kemauan-kemauan Bung Hatta yang tegas. Prinsipnya teguh, tidak dapat dipatahkan oleh orang-orang terdekatnya sekalipun. Prinsipnya khas, tercermin dalam peranannya sebagai suami dan ayah, maupun dalam kehidupan bernegara, sebagai pejabat atau tokoh dalam masyarakat”.

 

Itulah Bung Hatta yang telah meninggalkan bangsa yang sangat dicintainya ini, dan kini bangsa itu sedang tercabik-cabik dan terkoyak-koyak akibat dosa dan dusta kolektif yang dilakukan sekian lama.

 

Film “Dirty Vote”, berkisah tentang desain kecurangan Pemilu 2024 dari sudut pandang para pakar Hukum Tata Negara di Indonesia, dengan produser Irvan Joni Aswira. Adapun para “aktor”nya adalah Bivitri Susanti, Zaenal Arifin Mochtar, Feri Amsari. Jika kita telah selesai menyaksikan film tersebut, yang sangat sulit sekali dibantah kebenarannya, kita sebagai rakyat telah mendapatkan penjelasan dan keterangan yang demikian terang-benderang, tentang kecurangan Pemilu 2024, yang tampak terstruktur, sistematis, dan massif yang dilakukan oleh dinasti Presiden Jokowi guna melanggengkan kekuasaanya. Ini memperkuat kata Lord Acton, bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Semakin absolut kekuasaan semakin absolut pula korupsinya.

 

“Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata pepatah. Sayangnya, bahasa Indonesia kita miskin, hanya mengenal dua kosa kata yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu sehat jasmani dan sehat rohani. Padahal, sesungguhnya kesehatan itu meliputi empat hal, yaitu sehat jasmani (fisik), sehat nafsani (jiwa atau mental), sehat rohani (spiritual atau maknawi), dan sehat mujtama’i (sosial).

 

Adapun gangguan jiwa atau mental atau nafsani, sering dianggap dan dikatakan masyarakat sebagai sakit rohani ! Akibatnya, para pasien gangguan nafsani mendapat stigma (cap buruk), dicemooh, direndahkan, dilecehkan, tidak segera diobatkan, bahkan dibuang. Padahal sesungguhnya, gangguan jiwa atau gangguan nafsani itu identik dengan penderitaan manusia (human suffering), demikian pendapat Kusumanto Setyonegoro, Guru Besar Psikiatri FK-UI.

 

Gangguan jiwa berat atau psikosis (bahasa awam gila) merupakan puncak penderitaan manusia, mereka tidak bisa membela diri dan tidak dapat memperjuangkan nasibnya. Oleh karena itu, mereka para pasien ganguan nafsani, rawan mendapatkan pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia), yaitu hak untuk hidup sehat, dalam hal ini sehat nafsani. Mereka mengalami disintegrasi (pecah atau retak) kepribadiannya yang berakibat tilikan diri (insight) dan daya nilai realitas demikian terganggu. Oleh karena itu, kadang pasien merasa dirinya baik-baik saja, bisa jadi menganggap orang yang ada di sekitarnya justru yang sakit, seperti dokter atau perawatnya.

 

Berbeda dengan gangguan atau sakit rohani. Ini berkaitan dengan etik, moral, akhlak. Maka, Tuhan mengutus para nabi dalam bahasa kesehatan sebagai “dokter rohani”, untuk mengajak dan mengajarkan agar umatnya senantiasa menjaga dan memelihara kesehatan rohaninya, karena dampak atau akibat sakit rohani itu luar biasa, contohnya VOC, kongsi dagang bangsa Belanda terbesar di dunia pada zamannya, hancur karena korupsi !

 

Lalu, apa beda pencuri dengan koruptor. Pencuri karena ada niat dan kesempatan. Sedangkan koruptor karena ada niat, kesempatan, dan kekuasaan. Oleh karena itu, perilaku tercela para koruptor dampaknya luar biasa, hak rakyat untuk hidup sejahtera dirampas, hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan dirampas. Rakyat jadi lapar dan bodoh. Oleh karena itu, para nabi adalah contoh manusia yang tidak hanya sehat rohani, mereka telah mencapai taraf bugar rohani atau moral fitness ! Perilaku para nabi adalah contoh perilaku manusia yang manusiawi, bukan manusia yang berperilaku hewani. Bukan manusia yang berperilaku homo homini lupus, manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya, seperti kata Thomas Hobbes.

 

Maka, jika seorang manusia menjadi penguasa agar mau belajar pada kisah Nabi Sulaiman, penguasa yang paling powerful di muka bumi, agar hidupnya rahmatan lil ‘alamin. Bukan rahmatan lil kantonge dewe, keluarga dan para kroni. Tidak berperilaku “ing ngarso mumpung kuwasa, ing madya numpuk banda, tut wuri hanggemboli” duwit !

 

Bung Karno mengatakan, bahwa tantangan yang dihadapi oleh generasi beliau saat itu, lebih mudah dihadapi karena musuhnya sangat jelas, yaitu bangsa Belanda. Berbeda dengan generasi sesudah beliau, tantangannya lebih sulit untuk dihadapi, karena musuhnya bangsa sendiri, yang melakukan korupsi. Bung Hatta mengatakan, kurang pandai dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat diperbaiki dengan latihan. Tapi, kurang jujur susah diperbaiki !

 

Jadi, layakkah Presiden Jokowi merasa dan mengaku sehat rohani? Jika Presiden Jokowi merasa baik-baik saja, bukankah ini merupakan indikator masalah kesehatan rohani Presiden Jokowi telah mencapai taraf berat. Dengan demikian, bagaimana terapinya? DPR menggunakan hak angket untuk melakukan penyelidikan “cawe-cawe” Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024, lalu lakukan pemakzulan ! Hal ini dilakukan sebagai kurasi sekaligus prevensi agar tidak ditiru oleh para presiden RI berikutnya. Alangkah malangnya kita bangsa Indonesia, sejak presiden pertama hingga ketujuh, rasanya kita sebagai rakyat belum pernah mendapatkan presiden yang turun tahta tanpa “skandal”. Pemilu menjadi sekedar Pegel mikirin lu !

 

Presiden Jokowi, Stres, dan Masa Persiapan Pensiun (MPP)

Kita korbankan kesehatan untuk mendapatkan kekayaan. Kita berencana, bekerja, dan menumpuk simpanan. Kemudian kita korbankan kekayaan untuk memperoleh kembali kesehatan. Dan yang sering kita dapatkan hanyalah kuburan. Kita hidup dan bangga atas harta simpanan. Kita mati, dan hanya mendapatkan batu nisan”. (HE Kirschner).

 

Sebagaimana kita ketahui bersama, bulan Oktober 2024 mendatang, Presiden Jokowi akan berakhir masa jabatannya sebagai Presiden RI. Berarti, saat-saat ini pasca-Pemilu, Presiden Jokowi telah memasuki Masa Persiapan Pensiun (MPP) sebagai Presiden RI. Orang Indonesia pintar membuat plesetan, bahwa MPP berarti Masa Permulaan Penderitaan. Atau, MPP berarti Mati Pelan-Pelan. Dengan demikian, masa-masa seperti ini dapat meningkatkan risiko timbulnya gangguan kesehatan jiwa, siapapun dia orangnya. Bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Tidak ada yang kebal. Stress dapat menimpa dari presiden sampai rakyat jelata maupun rakyat jelalatan.

 

Adapun ciri sehat jiwa: 1) Menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya; 2) Mampu menghadapi stress kehidupan yang wajar; 3) Mampu bekerja secara produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya; 4) Dapat berperan serta dalam lingkungan hidupnya; 5) Menerima baik dengan apa yang ada pada dirinya; dan 6) Merasa nyaman bersama orang lain.

 

Stress dalam kehidupan tidak dapat dihindarkan. Siapakah manusia yang pertama kali stress? Kakek-nenek manusia yaitu Adam dan Hawa. Mereka merasa cemas, khawatir karena sadar hidup di dunia ini penuh dengan ujian, tantangan, dan kesulitan. Jadi, rasa cemas dialami semua orang dan hal ini berkaitan dengan masa depan. Jika kecemasan itu berlebihan sehingga menurunkan kualitas hidupnya dan produktivitasnya, maka disebut anxietas.

 

Demikian pula rasa sedih, nelangsa, manusia yang pertama kali merasa sedih adalah kakek-nenek manusia Adam dan Hawa. Mengapa mereka merasa sedih? Karena mereka teringat masa lalu, betapa sejahtera, nyaman, dan indah ketika hidup di surga. Jadi, sedih berkaitan dengan masa lalu. Jika rasa sedih berlebihan sehingga menurunkan kualitas hidup dan produktivitasnya, hal ini disebut dengan depresi.

 

Adapun stress di bidang pekerjaan, seperti: mulai kerja, pindah kerja, menjelang pensiun, berhenti kerja, atau naik pangkat. Menurut Dadang Hawari, Guru Besar Psikiatri FK-UI, stress yang dialami oleh seseorang itu bertingkat-tingkat. Stress tingkat satu, merupakan stress yang paling ringan, tampak yang bersangkutan bersemangat besar. Dirasakan penglihatan lebih tajam dari biasanya. Tampak energik dan gugup berlebihan, kesannya kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya. Ini merupakan tahap yang menyenangkan, yang bersangkutan tambah semangat, tanpa menyadari cadangan energi sedang menipis.

 

Stress tingkat dua, dirasakan dampak “menyenangkan” mulai hilang, cadangan energi tidak cukup. Muncul keluhan: letih waktu bangun pagi, terasa lelah sesudah makan siang, atau lelah menjelang sore hari. Kemudian pencernaan terganggu atau jantung berdebar-debar. Dirasakan tegang pada otot punggung dan tengkuk serta tidak dapat santai.

 

Stress tingkat tiga, keluhan letih makin tampak. Lalu timbul gejala seperti: gangguan saluran pencernaan, otot lebh tegang, perasaan tegang meningkat-ningkat, muncul gangguan tidur, merasa lesu rasanya mau pingsan. Disarankan agar konsultasi ke dokter. Kecuali: beban stress dikurangi, melakukan istirahat atau relaksasi supaya supply energi pulih kembali.

 

Stress tingkat empat, keadaan lebih buruk sehingga dirasakan sulit untuk bertahan sepanjang hari. Kegiatan yang semula menyenangkan jadi terasa sulit. Lalu, kemampuan menanggapi situasi, pergaulan sosial, kegiatan rutin terasa berat atau kemampuan melakukan kegiatan rutin menjadi hilang. Sulit tidur, mimpi menegangkan, sering terbangun dini hari. Muncul juga perasaan negativistik. Kemampuan konsentrasi turun. Terjadi perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, atau tidak mengerti mengapa menjadi takut.

 

Stress tingkat lima, kondisinya lebih dalam daripada stress tingkat empat. Terjadi keletihan mendalam (physical and psychological exhaution). Melakukan pekerjaan yang sederhana saja dirasakan kurang mampu. Gangguan pencernaan lebih sering dan perasaan takut makin menjadi, mirip panik.

 

Stress tingkat enam, ini merupakan tahapan puncak stress sehingga sering dikirim ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit, karena dikira seperti orang kena serangan jantung, debaran jantung amat keras, napas dirasakan sesak, tampak terengah-engah, badannya tampak gemetar, terasa dingin, keringat bercucuran. Tidak ada tenaga untuk hal yang ringan sekalipun. Bahkan bisa pingsan atau collaps.

 

Apakah Presiden Jokowi tidak sedang mengalami stress? Jika kita menyimak perilaku Presiden Jokowi yang kesannya tampak “aneh-aneh”, seperti memberikan selamat kepada Paslon 02, meskipun secara resmi belum diumumkan oleh KPU, pengganti Menkopolhukam, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang dari latar belakang kalangan militer, terkesan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, pegang AHY sekaligus SBY, APBN untuk mendukung program makan siang dan susu gratis Paslon 02. Terkesan cemas, khawatir, cari aman.

 

  1. Setyo Wibowo, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, dalam Kata Pengantar bukunya Henry Manampiring, “Filosofi Teras” (2023), menulis, film berjudul “Gladiator” yang disutradarai Ridley Scoot, tahun 2000, pada 15 menit pertamanya menggambarkan Kaisar Romawi (yang diperankan oleh Richard Harris). Kaisar pemimpin pertempuran di Germania ini adalah seorang filsuf. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh pengusung Filsafat Stoa (yang diterjemahkan sebagai Filosofi Teras). Bukannya berhura-hura menikmati kemenangan, Marcus Aurelius malah melakukan permenungan diri: apakah tindakanku tepat, apakah peperangan dengan korban demikian banyak memang perlu dilakukan? Di film ini digambarkan bahwa pada malam hari, kaisar yang bijak ini tekun mencatatkan permenungan-permenungan pribadinya di tenda peperangan.

 

Marcus Aurelius adalah filsuf, dan ia menulis buku yang sampai sekarang ini – 1.800 tahun setelah kematiannya – masih dibaca dan direnungkan banyak orang. Judul bukunya, setidaknya demikian yang selama ini dipercaya orang, adalah Eis Heauton, For Himself, kadang diterjemahkan sebagai Meditations.

 

Pada saat fajar merekah, dengan lega ia menyaksikan keberhasilan jenderalnya, Maximus (diperankan oleh Russel Crowe), mengalahkan kaum Barbar di Germania. Namun, bukannya senang, ia malah bertanya kepada Maximus tentang perlu-tidaknya peperangan tadi dilakukan: “Saat orang merasa bahwa akhir hidupnya sudah dekat, ia mulai bertanya-tanya apakah hidupnya memiliki tujuan ….. Apakah aku akan dikenang sebagai filsuf, prajurit, atau tiran?”

 

Akhirnya, “Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama” (Pepatah).

 

 

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter, mantan aktifis 1998

 

 

 

 

 

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!