30.3 C
Jakarta

Filosofi Harta: “Kejarlah Daku, Ku kan Lari”

Baca Juga:

Oleh : Ashari, S.IP*

SUDAH banyak pengalaman melalui beberapa kasus yang muncul di permukaan, korupsi yang merugikan orang lain (negara) justru dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi pula. Lalu apa yang sejatinya mereka cari? Mantan Ketua MK, Mahfud MD, pernah mengatakan korupsi justru banyak dilakukan oleh golongan sarjana. Artinya pendidikan tinggi, yang diraih melalui bangku kuliah, ternyata bukan jaminan untuk bisa menjalani kehidupan dalam pekerjaan lebih baik. Jika tidak ditopang oleh pemahaman yang memadahi tentang agama, maka akan timpang.

Mereka yang sudah kaya pun, tidak akan pernah berhenti untuk menambah kekayaannya dengan cara-cara yang destruktif dan abai aturan. Mungkin kita masih ingat dengan kasus tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar (AM) yang bergaji 100 juta/bulan, hanyalah sebuah representasi dari bagaimana orang kaya di atas rata-rata, masih korupsi pula. Kasus AM menyeret Gubernur Banten Ratu Atut (RA) hingga dia harus dicekal oleh KPK untuk tidak keluar negeri selama enam bulan kedepan, terkait dengan perkara Pemilukada Lebak yang ditangani oleh MK.

Pernah juga kasus Gayus, pejabat pajak, beberapa rektor juga kena, Rudi Rubiandini (Kepala SKK Migas yang mantan dosen teladan ITB), Menteri Olah Raga Andi Malarangeng, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Irjen Djoko Susilo, pengguna anggaran dalam proyek pengadaan simulator alat uji kemudi di Polri 2011. Lagi, 42 orang Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Berurusan dengan KPK. Jika dijajar, deretan ini akan masih akan panjang. KPK makin hari makin menunjukkan taji-nya sebagai lembaga independen yang bertugas mengantisipasi dan memberantas korupsi. Meski dalam pelaksanaannya terus mengalami pelemahan wewenang, namun di sisi lain mereka juga terus mendapatkan dukungan.

Pejabat public korupsi yang tadinya seolah tidak dapat disentuh oleh hukum, namun ketika KPK datang, bisa diatasi. Pendeknya KPK makin berani dan ‘nggegirisi’.`Ketika mereka harus masuk di bui, mengembalikan sebagian harta hasil korupsinya, belum lagi menjalani proses hukum yang konon melelahkan, dipecat dari pekerjaannya dengan tidak hormat dan stigma negative lainnya akan mengiringi. Meski ada guyonan dari teman yang paham hukum memang hukuman bagi para kuroptor di negeri ini relative masih ringan. Hasil korupsi masih cukup untuk mengembalikannya ditambah untuk bayar pengacara. Pendeknya koruptor masih ‘untung’.

Mengejar Harta

Apa yang dilakukan oleh para koruptor sesungguhnya adalah memperkaya diri dan keluarganya dengan cara-cara yang tidak legal formal. Hingga merugikan tempat dia bekerja, dalam skup yang lebih luas adalah negara. Mengapa justru banyak dilakukan oleh para sarjana dan mereka yang sudah kaya? Dalam pandangan agama, kuncinya cuma satu, yakni kurang bersyukur. Hanya itu? Ya. Sebab kalau orang bersyukur kepada Allah Swt, seberapa besar/kecil rejeki yang telah diberikannya harus disyukuri. Diterima dengan senang hati. Qonaah.

Tidak bersyukur atas karunia-Nya ternyata menjadi target paling bawah sekaligus sebagai pintu awal bagi syetan untuk membuka pintu-pintu durhaka lainnya. Puncaknya dari orang tidak bersyukur ini adalah menjadi tidak beriman (kafir). Ketika orang sudah bergaji dengan skala jutaan rupiah per bulan, masih kurang. Bisa jadi karena tingkat kebutuhannya yang memang besar, namun sebab utama kalau dirunut adalah karena dia atau kita tidak mampu memandang realita yang lebih rendah secara materi dari kita. Akibatnya kita akan terjebak oleh penyakit kekurangan yang berkepanjangan.

Ada sebuah analogi, yang pernah saya dengar, ketika seorang sudah mempunyai kambing 99 ekor, dia masih gelisah, risau, memikirkan 1 ekor kambing yang dimiliki oleh tetangga sebelah, kambing yang kurus. Pikirnya bagaimana agar kambing yang satu itu bisa menjadi miliknya sehingga genap menjadi 100 ekor. Dalam perspektif agama, cerita yang lebih terkenal adalah apabila seseorang sudah memiliki satu ladang emas, dia masih ingin memiliki lagi ladang emas yang lain. Lalu sampai kapan dia akan puas dan berhenti dari pengembaraannya mengejar harta yang fana ini? Jawabnya adalah ketika kita sudah berkalang dengan tanah.

Bagaimana dengan kita?

Mungkin kalau kita mendengar banyak pejabat dan orang kaya korupsi di media, hati kita akan berteriak, orang kayak kok masih korupsi, untuk apa? Mau untuk apa hartanya? Mengapa mereka sampai bisa korupsi? Dan sederet pertanyaan lainnya. Sebaiknya segera hentikan dan kembalikan dalam-dalam kepada diri kita sendiri. Maksudnya, ketika satu saat kita berada  pada posisi yang sama dengan mereka, belum tentu juga lho kita bisa menghindar dari system, menghindar dari godaan tumpukan uang yang melimpah dan menghindar untuk tidak menyalah gunakan wewenang. Apakah ada jaminan kita akan bersih? Tidak akan melakukannya? Ups, belum tentu.

Maka kalau sekarang kita tidak/belum masuk dalam system tersebut, ya bersyukurlah. Beruntung. Meski harta yang kita miliki biasa saja. Yang kita lakukan adalah berdoa. Menurut teori polisi, kejahatan bisa terjadi karena dua faktor. Pertama niat dan kedua kesempatan. Kadang kita niat tiada ada, karena memang tidak ada kesempatan. Namun bagaimana jika nanti kesempatan itu bersliweran di depan kita? Apakah kita mampu menahan ‘niat’ untuk tidak berbuat jahat itu?

Epilog

Harta selama di dunia tidak pernah akan sampai pada batas puasnya. Seberapapun besar kekayaan kita. Malahan semakin harta itu kita kejar, maka semakin lari dia. Bak pepatah : Kejarlah daku, ku kan lari. Gak akan ketangkap. Karena tidak ada titik kepuasan yang maksimal. Apalagi di masa pandemi, yang serba sulit. Jika tidak kuat hati, mudah tergoda untuk melakukan tindakan destuktif. Mencuri dan semacamnya. Kecuali rasa syukur itu. Maka tidak ada cara lain, selain membekali diri dan keluarga untuk membela kebenaran dengan kuat. Pendidikan karakter yang mulai disemai melalui bangku-bangku sekolah, diharapkan juga mampu memberikan kontribusi positip dalam konteks ini. Semoga.

*Penulis Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!