JAKARTA, MENARA62.COM – Pinjaman online (pinjol) atau disebut fintech lending (fintech pendanaan) tidak selamanya berdampak negatif bagi masyarakat. Jika bijak memanfaatkan dan mengelolanya, pinjol justeru menjadi jembatan yang tepat untuk mengakses dan mendapatkan pembiayaan keuangan secara cepat. Bahkan pinjol bisa dijadikan alternatif investasi dengan potensi keuntungan yang cukup menggiurkan.
Itu sebab, meski usianya baru seumuran jagung, pinjol terus naik daun. Inovasi bidang keuangan tersebut menjadi salah satu produk yang mudah diterima oleh masyarakat, seiring tumbuh pesatnya transaksi digital.
“Kita tahu bahwa transaksi digital kini telah menjadi new lifestyle masyarakat, dan ini menjadi salah satu faktor pendorong menjamurnya fintech pendanaan atau pinjol,” kata Frederica Widyasari Dewi, Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen pada webinar bertajuk ”Sehat Kelola Dana dengan Fasilitas Pinjol dan Uang Digital” yang digelar secara hybrid oleh Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI), Selasa (9/8/2022). Webinar dalam rangka HUT ke-61 tersebut menghadirkan narasumber yang berkompeten yakni Ketua Klaster Pendanaan Multiguna Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Rina Apriana, Head of CRM Maucash Lalavenya Sara, Head of Partnership Astrapay Alvin Kosasih, Head of Funding Alami Group Muhammad Tiarso dan Konsultan World Bank Grace Citra Dewi.
Meskipun pinjol memiliki sederet manfaat, Kiki, panggilan akrab Frederica menyebut acapkali pinjol dikonotasikan dengan berita-berita negatif. Seperti nasabah terjebak utang pinjol, teror terhadap nasabah pinjol karena tidak mampu membayar cicilan, bunga yang mencekik, dan lainnya.
Munculnya nasabah pinjol bermasalah, diakui Kiki tidak terlepas dari rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia. Data OJK tahun 2019 mencatat, tingkat literasi keuangan masih relatif rendah pada posisi 38,03 persen, sedang tingkat inklusi keuangan Indonesia pada level 76, 9 persen. Dan indeks literasi digital masih 3,49 persen.
“Itu artinya ada gap antara inklusi dengan literasi keuangan. Masyarakat pakai produk keuangan tetapi belum sepenuhnya paham aturan mainnya,” lanjutnya.
Inilah yang kemudian memicu munculnya kasus-kasus pinjol bermasalah, yang akhirnya melahirkan cap negatif pinjol sebagai rentenir gaya baru. Padahal jika memahami aturan mainnya, pinjol kata Kiki menjadi solusi keuangan yang menawarkan berbagai keuntungan dan kemudahan yang bisa diakses oleh siapa saja tanpa prosedur berbelit. Pinjol bisa jadi solusi jitu kebutuhan keuangan baik untuk perorangan maupun lembaga bisnis.
OJK sendiri diakui Kiki terus mendorong lembaga keuangan untuk menghadirkan inovasi-inovasi layanan keuangan digital yang lebih efisien, cepat serta mengedepankan faktor keamanan dan perlindungan bagi konsumen. “Jangan sampai, fintech pendanaan atau pinjol ini merugikan masyarakat,” tegas Kiki.
Selain itu, OJK bersama kementerian dan lembaga juga terus berupaya memperkuat peran Satgas Waspada Investasi (SWI), dalam rangka memberantas pelaku-pelaku usaha keuangan yang ilegal. Hingga Juni 2022, SWI sudah menutup 1.100 penawaran investasi ilegal. Sedangkan untuk pinjol ilegal sudah ditutup lebih dari 4.000 entitas.
Potensi Fintech di Indonesia
Industri fintech di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Ada beberapa faktor yang mendorong pertumbuhan industri fintech tanah air ini. Pertama, berkaitan dengan tingkat penetrasi penduduk terhadap internet. Mengutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2021, dari 272.682.600 jiwa penduduk Indonesia, 210.026.769 orang di antaranya sudah terkoneksi dengan internet. Artinya tingkat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 77,02 persen.
“Penetrasi penduduk Indonesia terhadap internet pada 2021 tumbuh 4,5 persen dibanding tahun 2020 dari 73,7 persen menjadi 77,02 persen,” jelas Alvin Kosasih, Head of Partnership Astrapay.
Pandemi Covid-19 yang mulai melanda Indonesia sejak Februari 2020, lanjut Alvin turut berkontribusi positif pada peningkatan akses masyarakat terhadap internet. Di mana masyarakat kemudian ramai-ramai menggunakan layanan internet untuk meminimalisir penularan virus Covid-19.
Alvin memaparkan ada beberapa alasan yang mendorong masyarakat menggunakan internet. Hasil survei yang dilakukan APJII, beberapa alasan orang menggunakan internet di antaranya adalah untuk mengakses media sosial, layanan publik, transaksi online, urusan pekerjaan dan sekolah, layanan keuangan dan lainnya.
Dalam survei tersebut kata Alvin, transaksi online dan layanan keuangan digital termasuk dalam 10 alasan utama orang menggunakan internet. “Akses dan kemudahan menggunakan internet ini mempengaruhi masyarakat untuk memafaatkan fintech,” tambahnya.
Faktor kedua yang mendorong fintech tumbuh pesat adalah program promosi dan kemudahan yang ditawarkan fintech bagi nasabahnya. Mulai dari kemudahan dan kecepatan prosedur pendanaan, luasnya jangkauan pendanaan hingga program promo yang digelar oleh fintech.
“Dengan berbagai keunggulan yang ditawarkan oleh transaksi online, menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mengakses layanan transaksi digital termasuk juga fintech pendanaan atau pinjol,” lanjut Alvin.
Alvin mencontohkan bagaimana layanan transaksi digital AstraPay menawarkan banyak kemudahan dan keuntungan bagi nasabahnya. Sebagai lembaga penyelenggara fintech yang telah terdaftar di OJK, AstraPay misalnya, memiliki program promo cashback 1-10 persen untuk pembayaran cicilan/tagihan. Aplikasi AstraPay dapat digunakan di Astra, Toyota, Daihatsu, hingga Honda.
“Program promo cashback yang ditawarkan lembaga layanan fintech kepada nasabah yang bayar sesuai dengan jumlah dan waktu yang tepat hanya ada pada transaksi digital. Dan ini menjadi daya tarik tersendiri,” tambah Alvin.
Faktor ketiga yang mendorong makin banyaknya orang memanfaatkan fintech adalah kecepatan mekanisme layanan pinjaman online. Rina Apriana, Ketua Klaster Pendanaan Multiguna Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) menyebut pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dapat melakukan transaksi, seperti pinjam meminjam tanpa harus bertemu langsung. Prosesnya yang mudah dan cepat, acapkali menjadi solusi keuangan bagi masyarakat terutama mereka yang unbankable.
Rina optimis bahwa ke depan, industri fintech akan terus tumbuh subur di Indonesia. Potensi tersebut sangat besar dengan melihat beberapa indikator. Pertama, terkait akses kredit baik UMKM maupun perorangan yang belum sepenuhnya terlayani lembaga keuangan bank. Hingga kini tercatat sekitar 46,6 juta UMKM di Indonesia belum memiliki akses kredit, dan terdapat 132 juta individu yang belum memiliki akses kredit. Data tahun 2018 juga menyebutkan bahwa kebutuhan pembiayaan UMKM nasional cukup besar yakni Rp2,650 triliun, dimana pembiayaan tersebut dibebankan pada industri jasa keuangan tradisional yang menopang Rp1.000 triliun per tahun.
“Jadi ada gap antara kebutuhan pembiayaan dengan beban industri jasa keuangan tradisional senilai Rp1.650 triliun. Potensi ini bisa digarap oleh industri fintech,” katanya.
Senada juga disampaikan Grace Citra Dewi, Konsultan World Bank. Merujuk riset yang ada, kata Grace, ada banyak segmen penduduk di Indonesia baik secara gender maupun education yang belum terlayani lembaga perbankan. Mereka masih meminjam secara informal.
”Jika sebelum adanya fintech pemulihan ekonomi, model-model bottom-up, pengembangan masyarakat, dilayani perbankan (rural bank, commercial bank), mengingat tingkat risiko yang variatif, keperluan financing bisa di serve fintech lending,” jelas Grace.
Lalu faktor kedua yang menjadi potensi pertumbuhan fintech adalah pertumbuhan industri keuangan syariah di Indonesia. Muhammad Tiarso, Head of Funding Alami Group mengatakan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, potensi pertumbuhan fintech syariah di Indonesia juga sangat besar. Berdasarkan data State of the Global Islamic Economy Report tahu 2021, Indonesia masuk dalam 5 besar pasar fintech syariah terbesar di dunia setelah Arab Saudi, Iran, United Arab Emirates, dan Malaysia.
“Fintech syariah di Indonesia baru ada 7 entitas. Padahal potensi pasarnya sangat luas,” jelas Tiarso.
Alami Group sebagai salah satu fintech peer to peer lending (P2P) syariah lanjut Tiarso, hadir sebagai alternatif pendanaan yang dibutuhkan masyarakat. Lembaga layanan jasa keuangan yang resmi berdiri pada 2019 tersebut membantu menghubungkan pemberi pembiayaan dengan penerima pembiayaan dalam akad pembiayaan secara langsung melalui sistem elektronik menggunakan internet berbasis syariah.
Hingga saat ini Alami Group telah bekerjasama dengan penyandang dana dari lembaga keuangan berupa 10 BPRS, 1 BUS & UUS BUK serta 2 multifinance. Kerjasama dengan perorangan tercatat sekitar 8000 funders aktif mendanai dari 100.000 lebih pendana yang teregister. Dan kerjasama dengan non FI (corporate) sebanyak 16 funders.
“Kami telah menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp3,2 triliun kepada lebih dari 2.500 aplikasi pembiayaan di mana lebih dari 10.000 merupakan proyek UMKM yang tersebar di 482 kota,” jelas Tiarso.
Kontribusi Fintech pada UMKM dan Perekonomian
UMKM menjadi salah satu sektor yang banyak memanfaatkan fintech pendanaan ini. Data AFPI dalam setahun terakhir, rata-rata pendanaan untuk UMKM sebesar 54 persen dari total pendanaan per Juni 2022.
Berdasarkan survei yang dilakukan terkait dampak fintech pendanaan bersama pada UMKM menunjukkan bahwa pembiayaan yang diberikan oleh fintech pendanaan bersama mendukung pelaku UMKM dalam mengelola aliran kasnya terutama untuk pembelian bahan baku dan masalah pembiayaan.
Selain itu dalam survei yang dilakukan Modalku terkait manfaat pinjaman yang diterima UMKM terhadap tujuan bisnis, menunjukkan bahwa 42,6 persen pembiayaan oleh fintech pendanaan bersama memberikan pengaruh positif dalam peningkatan alur produksi UMKM. Kemudian sekitar 30, 6 persen responden berpendapat bantuan fintech pendanaan bersama mampu memberikan opsi strategis dalam mengembangkan usahanya.
Sedang bagi perekonomian nasional, fintech pendanaan telah menjadi solusi pendanaan bagi masyarakat luas. Merujuk data AFPI hingga September 2020, fintech pendanaan bersama telah melakukan penyaluran dana sebesar Rp110 triliun. “Angka ini menjadi bukti bahwa fintech pendanaan bersama telah menjadi solusi pendanaan bagi masyarakat,” papar Rina Apriana.
Data lain juga menunjukan bahwa fintech mampu meningkatkan faktor produksi sebesar 1,57 persen atau meningkat sebesar Rp81 miliar, mengurangi angka kemiskinan sebanyak 0,7 persen atau 177 ribu orang dan menurunkan rasio gini 0,02 persen dari 0,382 ke 0,380. Pendapatan institusi ekonomi secara keseluruhan meningkat 1,45 persen atau penambahan pendapatan lebih dari Rp101,7 miliar dan menyerap tenaga kerja pada 2019 sebanyak 362 ribu tenaga kerja.
Lebih dari itu, lanjut Rina Apriana, fintech pendanaan bersama dalam inklusi keuangan telah memberikan kemudahan mengakses berbagai jenis layanan keuangan bagi masyarakat, menjangkau UMKM di seluruh Indonesia melalui microfinance dan pendanaan bersama, membuka akses pembiayaan usaha yang lebih mudah dan cepat serta berkontribusi besar pada pemberdayaan UMKM dan ekonomi lokal.
“Fintech pendanaan juga berperan pada inklusi finasial yakni memberikan akses dan layanan keuangan terhadap individu yang unbanked terutama yang berada di pelosok Indonesia,” tegas Rina.
Pada era pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19, kata Ria, fintech telah mendorong pemulihan ekonomi dengan peran yang cukup signifikan. Data Bank Indonesia tahun 2021 menunjukkan nilai transaksi elektronik meningkat 43,6 persen YoY menjadi Rp 24,8 triliun. Nilai transaksi perbankan digital meningkat 39,39 persen YoY menjadi Rp17,910 triliun.
“OJK mencatat outstanding pinjaman fintech lending hingga Juni 2022 sebesar Rp44,34 triliun. Dan industri fintech lending mencatat TKB90 atau tingkat keberhasilan bayar pada hari ke-90 berada di level 97,47 persen,” papar Rina.
Data OJK hingga Mei 2022, dari total 102 platform pinjol legal sudah memberikan dukungan akumulasi pinjaman mencapai Rp380,19 triliun dengan total aset sebanyak Rp4,52 triliun. Jumlah peminjam di angka 83,15 juta dan tercatat 15,24 juta yang aktif. Kemudian jumlah pemberi pinjaman sebanyak 888.210 dan yang aktif sebanyak 147.000 lender. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat.
Adapun lanskap fintech pendanaan bersama per Juni 2022 tercatat ada 902 ribu lender (entitas dan individu), 85,19 juta borrower (entitas dan individu), Rp400,2 triliun jumlah pinjaman yang telah didistribusikan ke pengguna, dan 102 perusahaan yang terdaftar dan diawasi OJK, terdiri atas 51 fintech multiguna, 44 fintech bidang pendanaan produktif dan 7 fintech syariah.
Pandangan serupa juga disampaikan Grace Citra Dewi. Dalam paparannya Grace mengatakan praktik baik fintech pendanaan yang dilakukan oleh Brazil dengan Prosummer dan China dengan Taobao Village, terbukti mampu menciptakan lapangan kerja lokal, menstimulasi bisnis UMKM lokal, meningkatkan iklim bisnis lokal, membangun aset lokal, empasis pada pelibatan dan pemberdayaan masyarakat lokal terutama kaum termarjinalkan, dengan harapan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tinggi.
“Kita bisa belajar dari dua negara tersebut bagaimana pendanaan berbasis komunitas mampu mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat,” tukasnya.
Untuk mengoptimalkan layanan fintech lending bagi UMKM salah satu kuncinya adalah memperbaiki ekosistem digital dan infrastruktur teknologi bagi UMKM. Mengutip data CNBC Indonesia saat ini hanya sekitar 13 persen UMKM yang terhubung dengan online marketplace dan pasar digital. Masih banyak pelaku usaha yang belum berhasil melakukan digitalisasi pada bisnis mereka sehingga menyulitkan fintech untuk melakukan dukungan pendanaan.
Cerdas Memilih Fintech
Meskipun fintech memberikan banyak manfaat untuk mendukung kebutuhan pendanaan masyarakat, tak jarang orang yang berhubungan dengan fintceh tersandung masalah. Tidak sedikit mereka yang kemudian terlilit utang dalam jumlah sangat besar, ada juga yang mengalami depresi hingga muncul kasus bunuh ini.
“Mengutip tulisan di Bisnis.com, berdasarkan data OJK kurun 2019-2021 terdapat 19.711 kasus pinjol bermasalah,” kata Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S Depari dalam sambutan pengantarnya.
Untuk meminimalisir kasus-kasus pinjol di tengah masyarakat, Atal berpendapat pentingnya melakukan edukasi secara masif kepada masyarakat terkait pinjol atau fintech ini. Edukasi harus dilakukan oleh lembaga keuangan, pemerintah bekerjasama dengan instansi lain termask IKWI-PWI.
Senada juga disampaikan Lalavenya Sara, Head of Customer Relationship Management (CRM) Maucash. Menurutnya, jika nasabah paham akan aturan main pinjol, sebenarnya masalah-masalah terkait pinjol bisa dihindari. Karena itu, sebelum berhubungan dengan fintech pendanaan, Lalavenya menyarankan nasabah harus memperhatikan legalitas fintech dan aturan mainnya. “Pastikan bahwa fintech tersebut legal. Kita bisa cek di website OJK,” jelas Lalavenya.
Adapun perbedaan pinjaman online atau fintech lending legal dan ilegal, lanjut Lalavenya, fintech lending legal terdaftar dan diawasi OJK, identitas pengurus dan alamat kantor jelas, informasi dana pinjaman dan denda sifatnya transparan, total biaya pinjaman 0,05 persen sampai dengan 0,8 persen per hari, maksimum pengambilan termasuk denda, sebesar 100 persen dari pinjaman pokok, penagihan maksimum 90 hari.
Lalu akses hanya camera, microphone, dan location, risiko peminjaman bagi yang tidak melunasi adalah 80 hari (setelah melewati batas waktu 90 hari, akan masuk ke daftar hitam Pusdafil) dan menyediakan layanan pengaduan konsumen.
Sedang fintech lending ilegal memiliki ciri-ciri antara lain tidak mengantongi izin resmi, tidak ada dentitas pengurus dan alamat kantor jelas, pemberian pinjaman sangat mudah, informasi dana pinjaman dan denda tidak jelas, total pengembalian termasuk dana tidak terbatas, penagihan tidak memiliki batas waktu, dapat mengakses seluruh data yang ada di ponsel dan adanya ancaman teror, kekerasan, hingga menyebarkan foto/video pribadi.
Lalavenya juga menyarankan agar kemudahan meminjam pada fintech tidak disalahgunakan. Ada lima tips aman meminjam di fintech pendanaan. Yakni pastikan meminjam di perusahaan terdaftar/berizin OJK, pinjamlah sesuai kebutuhan dan maksimal 30 persen dari penghasilan, lunasi cicilan tepat waktu, jangan melakukan gali lubang dan tutup lubang serta ketahui bunga dan denda pinjaman sebelum meminjam.
“Ingat, pinjam uang itu gampang, spending juga gampang. Tapi pikirkan cara membayarnya, jangan sampai dibuat pusing karena utang,” tutup Lalavenya. (inung m kurniawati)