31.7 C
Jakarta

Gizi Buruk Pada Anak Tidak Selamanya Karena Faktor Kemiskinan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM– Gizi buruk masih menjadi ancaman nyata bagi anak-anak Indonesia. Ini merupakan pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah menuju era Indonesia Emas 2045.

Menurut Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes Dr Eni Gustina MPH, gizi buruk tidak selamanya karena asupan makanan yang tidak memadai.

“Gizi buruk masih diidentikkan dengan kemiskinan yang menyebabkan asupan gizi pada anak tidak memadai,” kata Dr Eni, di sela diskusi publik bertema Pemenuhan Hak Kesehatan Anak untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 yang diselenggarakan dalam rangka hari anak nasional 2017, kemarin.

Padahal lanjut Eni, gizi buruk muncul juga akibat rendahnya pemahaman orang tua dalam memberikan asupan yang baik bagi balitanya. Hal ini diperparah dengan derasnya gempuran informasi komersial yang menyesatkan tentang makanan.

Karena itu Eni melihat perlunya pengawasan lebih ketat dari pemerintah terkait promosi produk pangan yang dapat membahayakan tumbuh kembang anak.

Menurut Eni, banyak iklan produk makanan dan minuman yang menyesatkan konsumen.  Salah satunya adalah susu kental manis, yang semestinya bukan untuk dijadikan minuman, namun ditampilkan sebagai susu untuk minuman keluarga.

Eni menghimbau agar masyarakat peduli dengan tayangan-tayangan iklan yang tidak sesuai. Masyarakat dapat melaporkan jika ada tayangan iklan produk pangan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

“Misalnya iklan susu kental manis. Susu kental manis itu isinya gula sama lemak. Tapi diiklan ditampilkan sebagai susu,” papar Eni.

Visual iklan yang tidak tepat serta frekuensi tayang yang tinggi inilah yang mengakibatkan masyarakat beranggapan susu kental manis adalah susu untuk diminum anak-anak. Bila hal ini terus berlanjut, dalam 20 tahun kedepan kesehatan anak-anak Indonesia jelas terancam. Asupan gula yang tinggi sejak dini beresiko obesitas dan diabetes dan berpotensi menurunkan produktivitas generasi masa mendatang.

Lebih lanjut, Eni meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk  lebih proaktif mengawasi iklan pangan yang dapat membahayakan kesehatan anak yang tidak sesuai peruntukan produknya. KPI dapat berpegang pada regulasi tentang penyiaran yang sudah ada. KPI seharusnya juga memiliki regulasi dimana masyarakat dapat melaporkan tayangan dan iklan-iklan yang berpotensi menyesatkan.

“Setahu saya, KPI memiliki regulasi soal tayangan iklan yang menyesatkan, dan ada sanksi pidana serta denda 200 juta bagi yang melanggar,” jelas Eni.

Sementara, Dewi Setyarini, Komisioner KPI Pusat menjelaskan langkah yang perlu dilakukan adalah menyatukan persepsi tentan tayangan ramah anak. Apapun yang muncul ditelevisi harus dibuat dengan perspektif anak, termasuk iklan susu kental manis yang substansi sebenarnya bukanlah susu, namun disebut sebagau susu.

“Untuk mewujudkan iklan ramah anak ini,  diperlukan keterlibatan seluruh pihak. Untuk  mengidentifikasi apakah  konten sudah ramah anak, KPI tidak bisa melakukannya sendirian, melainkan butuh dukungan lembaga dan institusi terkait serta juga peran serta masyarakat,” ujar Dewi.

Susu kental manis pertama kali di produksi di Amerika pada abad ke-18, dengan cara menguapkan sebagian air dari susu segar (50%) kemudian ditambahkan gula 45%-50%. Karena sifatnya yang tahan lama pada saat itu banyak dipakai sebagai bekal tentara Amerika yang sedang terlibat perang saudara.

Dilihat dari komposisinya, susu kental manis mengandung 50% gula, 7,5% rotein, 8,5% lemak serta 34% air dna bahan tambahan lainnya. Dalam setiap takaran saji (1 gelas = 150 ml air dan 4 sendok SKM), mengandung 20 gr gula atau setara dengan 2 sendok makan. Jumlah tersebut terbilang tinggi mengingat anjuran asupan gula harian tidak melebihi 25 gr.  Jika asupan gula berlebihan, dapat meningkatkan resiko obesitas dan diabetes.

Anggota Satgas Perlindungan Anak dan UKK Tumbuh Kembang IDAI, DR. dr.TB Rachmat Sentika, S.pA,. MARS dalam kesempatan yang sama juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap gencarnya promosi makanan dan minuman dengan kandungan gula, garam, lemak yang tinggi yang berdampak pada pola pikir masyarakat.

“Anak yang seharusnya diberi ASI, akhirnya sudah dikasih makanan macam-macam yang mengandung gula. Anak yang seharusnya diberi susu pertumbuhan, akhirnya diberi minuman susu kental manis dengan alasan praktis dan ekonomis. Disinilah peran rekan-rekan profesi kedokteran untuk terus mengedukasi masyarakat tentang asupan gizi yang perlu dan tidak baik untuk anak,” jelas dokter spesialis anak ini.

Kedepannya, dr. Rachmat berharap ada kerjasama yang baik dari seluruh pihak untuk mewujudkan generasi emas Indonesia, seperti yang ditargetkan tercapai di tahun 2045. Sosialisasi, edukasi dan penegakan regulasi akan pangan yang aman untuk anak memang menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, produsen produk makanan dan minuman diharapkan juga mulai melakukan promosi yang bertanggung jawab dan memberikan edukasi kepada konsumen, menganai kandungan produk, cara penggunaan dan takaran penyajian. Jika konsumen teredukasi sejak dini, generasi penerus bangsa terhindar dari asupan makanan yang beresiko bagi kesehatan mereka dimasa mendatang.

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!