SOLO, MENARA62.COM — Menanggapi kondisi demokrasi menuju Pemilihan umum (Pemilu) 2024, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof., Dr., Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum., mengungkapkan keresahan sivitas akademika melalui Maklumat Kebangsaan.
Maklumat Kebangsaan yang diserukan oleh Sivitas Akademika UMS, pada mulanya berangkat dari keprihatinan dan keresahan sivitas akademika terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Sehingga maklumat ini murni merupakan aktualisasi dari nilai-nilai akademis intelektual warga Muhammadiyah, yang sehari-hari bergelut dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
“Menyangkut aspek akademis di dalamnya, nilai moral lebih utama daripada kepentingan politis, sehingga tidak ada kepentingan elektoral tertentu. Jadi kita menghimbau atau seruan moral kami semata-mata ditujukan kehidupan demokrasi yang kami rasakan semakin merosot,” tegasnya Senin (5/2).
Aidul Fitriciada Azhari menyampaikan respon dari beberapa kalangan pihak Istana, sebagai orkestrasi politik. Padahal ini merupakan orkestrasi kewarasan, nurani, dan moral. Dia juga menegaskan bahwa gerakan Guru Besar dan gerakan akademisi tidak terkoneksi dengan misalnya koalisi masyarakat sipil tertentu, sehingga seruan dari akademisi murni pertimbangan dan diskusi internal kampus.
Keadaan ini dirasakan semakin buruk, tambahnya, panggilan moral ini lebih kuat untuk tampil menyerukan keprihatinan terhadap perkembangan demokrasi.
“Biasanya Guru Besar tidak terlalu banyak merespon, sibuk riset, laporan dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan jangankan berpikir politis, untuk menghadapi kehidupan sehari-hari sebenarnya sudah cukup banyak menyita waktu,” ungkapnya.
Menurutnya, persoalan apakah itu diterima atau direspon dengan buruk tinggal dikembalikan pada nurani pemerintah dan pejabat di Istana.
“Salah satu yang kita kritisi sebenarnya adalah nepotisme. Dan nepotisme ini adalah suatu hal yang diperjuangkan di awal Reformasi. Jangan lupa pergerakan dulu salah satunya dari UMS, bahkan sebut lah salah satunya peristiwa 98, berawal dari jembatan Kampus 1,” tambahnya.
Jadi kita sadar betul bahwa sedari awal UMS memiliki upaya untuk menghapuskan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Namun, kondisi saat ini seperti dikembalikan, sehingga ini pengkhianatan terhadap reformasi, penghianatan terhadap perjuangan mahasiswa, dan dunia kampus.
“Di sini kami kembali menyerukan untuk mengembalikan demokrasi ke jalan yang benar. Demos dan Kratos, jalan bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan memiliki hak yang sama. Negara bukan hanya urusan keluarga, tetapi urusan bersama. Ini tidak lain adalah mengembalikan cita-cita awal reformasi, pada dasarnya bersumber cita-cita republik. Republik artinya adalah ‘re-publik’ maka kembalilah kepada publik,” tegasnya.
Guru Besar Ilmu Hukum UMS itu berharap para pejabat Istana, menandai seruan Maklumat Kebangsaan serta seruan dari sivitas akademika lainnya sebagai respon moral, bukan sebagai respon politik.
“Yang kita khawatirkan kalau katup-katup ini tertutup, bukan tidak mungkin hal yang tidak diinginkan terjadi, karena karakter masyarakat Indonesia ini agak lain. Tidak ekspresif menyampaikan secara langsung, tetapi cenderung menunda,” pungkasnya. (*)