SOLO,MENARA62.COM – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di Indonesia yang diterapkan mulai 1 Januari 2025 telah menuai berbagai penolakan terutama dari masyarakat kelas menengah. Pengenaan barang terkena PPN 12% juga dinilai masih rancu.
Pajak merupakan penerimaan negara di samping sumber daya alam, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pajak digunakan untuk pemerataan dan kesejahteraan karena memang pembiayaan untuk semua layanan publik itu dibiayai oleh pajak seperti beasiswa, transportasi umum, jalan raya, subsidi di beberapa komoditas, dll.
Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, S.E., M.Si., memberikan simulasi penghitungan PPN.
PPN = Harga Jual Barang/Jasa x Tarif PPN
Harga Total = Harga Jual + PPN
Contoh:
PPN barang X = 1.000.000 x 12%
PPN barang X = 120.000
Harga total barang X = 1.000.000 + 120.000
Harga total barang X = 1.120.000
Anton mengatakan, apabila dilihat dari perkiraan kondisi ekonomi baik dunia atau Indonesia, kenaikan PPN 12% kurang tepat momentumnya meskipun dengan alasan bahwa rasio penerimaan pemerintah yang menurun dari 2014, yang pada tahun tersebut sekitar 13% sedangkan saat ini sebesar 10%.
“Penerimaan pajak kita memang mengalami penurunan, cuma apakah harus dengan yang dinaikkan pajak PPN nya atau yang lain,” tanyanya, Selasa (31/12/2024).
Dia menilai, penerapan kenaikan PPN 12% belum tepat meskipun situasi ekonomi global yang sudah membaik akan tetapi masih di tahap awal sedangkan ekonomi Indonesia itu stagnan. Menurutnya perkiraan untuk ekonomi Indonesia tumbuh di tahun 2025 seperti target pemerintah menjadi 8% dalam waktu setahun, itu nyaris tidak mungkin, karena masalahnya berat terkait dengan masalah struktural.
Selain itu, sejak pertengahan 2024 juga terjadi deflasi (penurunan harga). Penurunan harga ini bukan hal yang positif karena harga turun disebabkan oleh penurunan permintaan yang bermula karena daya beli masyarakat berkurang. Daya beli masyarakat berkurang karena masyarakat banyak yang kehilangan pendapatan. Sebuah masalah berantai karena industri Indonesia terutama manufaktur banyak yang bermasalah atau tutup.
“Nampaknya saya setuju untuk pemerintah menunda dulu kenaikan tarif PPN ini, bukan masalah besarannya tapi masalahnya nanti resistensi (penolakan) dari masyarakat itu tidak produktif,” ungkap Dekan FEB UMS itu.
Dia menyatakan, saran penundaan ini bukan bukan karena kebijakannya salah tetapi karena komunikasi yang kurang bagus. Namun dia menekankan, untuk diterapkannya harus menunggu kondisi ekonomi Indonesia lebih baik, karena saat ini stagnan dan kurang produktif.
Salah satu hal penting yang perlu dilakukan setelah membayar pajak adalah mengawasi pengelolaannya. Orang menjadi resisten (menolak) karena wajib pajak sudah membayar pajak namun kemudian ada korupsi.
Anton merasa bahwa hal ini kontradiktif dengan pernyataan bahwa pajak digunakan untuk pemerataan meskipun secara konsep benar akan tetapi berdasarkan pengelolaannya masih perlu dipertanyakan terbukti dengan ada banyaknya kebocoran. Data 2023-2024 menunjukkan terdapat 65T dana yang dikorupsi meskipun ini bisa ditangani KPK dan Kejaksaan.
“Ini kan PR besar ya ketika pemerintah ngejar-ngejar masyarakat untuk bayar pajak, tapi pengelolaan pajak mereka juga tidak profesional. Kebocorannya tinggi dan sampai sekarang tidak ada solusi yang jelas,” tuturnya.
Fungsi pajak jika dikatakan untuk keadilan dan kesejahteraan memang betul tetapi dalam hal ini, di Indonesia belum terwujud terutama untuk keadilan.
Dia juga menyebut kelas menengah sedang mengalami turun kelas karena penghasilannya menurun, padahal kelas menengah merupakan penyumbang terbesar dalam memutar roda ekonomi karena sifat mereka yang konsumtif.
Selain itu, pengelompokan atas barang mewah atau premium yang dikenakan PPN 12% itu masih belum jelas. Anton mencontohkan dengan berlangganan Netflix, sebuah platform untuk menonton video. Pemerintah menilai Netflix sebagai barang mewah sedangkan oleh masyarakat kelas menengah Netflix bukan merupakan barang mewah, terlebih Netflix sudah menjadi hiburan kelas menengah Indonesia.
Kemudian kenaikan PPN terhadap barang jadi atau setengah jadi juga masih kekurangan informasi. Menurutnya yang diberatkan adalah sektor industri karena mungkin ada beberapa bahan baku yang tergolong mewah sehingga terkena kenaikan PPN.
“Misalnya mungkin impor untuk produk fesyen yang kelasnya agak menengah yang barangnya bagus atau misalnya mobil yang akan assembling di Indonesia. Nanti kan efek berantai, misal PPN mobil naik 1% kemudian harga mobil naik, terus masyarakat kelas menengah yang kemarin merencanakan mau beli mobil dia kan akan menunda pembeliannya,” terangnya.
Hal ini pada akhirnya akan berpengaruh pada penjualan yang menurun. Sehingga menunda pembelian juga akan berpengaruh pada penjualan industri yang akan memaksa industri untuk melakukan penyesuaian seperti dengan mengurangi karyawan mereka, yang akhirnya berdampak ada yang kehilangan pekerjaan.
Alternatif yang bisa dijalankan oleh pemerintah Indonesia selain menaikkan pajak PPN adalah Pajak Kekayaan (Wealth Tax) karena saat ini kesenjangan kesejahteraannya sangat lebar.
Dia menyebut Indeks koefisien Gini Indonesia adalah 0.4. Artinya kelompok kecil dari masyarakat Indonesia, aset yang mereka miliki mencapai 70% atau 80% dari total aset, yang 80% itu hanya memegang 30-40%. Anton juga menyebut dari data tabungan di perbankan, ada sekitar 30% rekening yang saldonya itu bisa mencapai puluhan bahkan hingga ratusan milyar. Akan tetapi sebagian besar rekening itu di bawah dua miliyar.
“Itu sudah menjadi pertanda, berarti kesenjangan kita itu memang luar biasa. Berarti orang kaya itu tidak membayar pajak banyak karena bisa ngumpulin sampai fantastis begitu. Jadi kalau mau fair, harusnya seperti yang saya sampaikan tadi, model Eropa tadi. Orang kaya bayar pajak penghasilan yang lebih gede dari penghasilan pribadi,” jelasnya.
Dia menyampaikan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) di Eropa tinggi yaitu mencapai 40% PPh. Dari perhitungannya, PPh yang naik akan menjadikan orang kaya akan mendapatkan pajak yang lebih tinggi.
Hanya saja untuk melakukan hal tersebut pemerintah harus bekerja keras untuk mengidentifikasi wajib pajak dan ini gagal dilakukan ketika di pemerintahan Jokowi dengan melakukan tax amnesty. Karena pada pemerintahan Jokowi, ternyata orang kaya tidak mau menarik uang mereka yang ditabung luar negeri, dan akhirnya orang kelas menengah yang disasar untuk tax amnesty.
Untuk mengantisipasi kenaikan PPN 12%, dia menyarankan kepada masyarakat untuk dapat memprioritaskan dari sekarang atau dengan menunda pembelian apabila tidak ada kenaikan penghasilan.
Dia merangkum beberapa alternatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah yaitu pajak kekayaan, PPh naik, mengoptimalkan pemasukan dari sumber daya alam, dan pengelolaan BUMN yang lebih baik. (*).