Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Entah apa yang berkecamuk dalam benak HI (17), sehingga siswa Kelas XII SMAN 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur, itu tega menganiaya gurunya, Ahmad Budi Cahyono (26), Kamis (1/2/2018), yang berakibat pada tewasnya sang guru. Guruku sayang, guruku malang.
Alkisah, guru Budi sedang mengajar bidang studi kesenian, namun HI tertidur di kelas. Melihat siswanya tertidur, Budi menghampirinya lalu mencoret pipinya dengan tinta sebagai teguran. HI langsung berdiri, lalu memukul Budi dan mengenai pelipis. Mengingat HI sebagai muridnya, Budi pun tak melawan. Tak puas sampai di situ, HI kemudian mencegat sang guru di jalan sepulang sekolah dan kembali melakukan pemukulan.
Sesampainya di rumah, Guru Tidak Tetap (GTT) dengan honor Rp400.000 per bulan yang dikenal pendiam dan penyabar itu langsung pingsan, sehingga dirujuk ke RS Dr. Soetomo, Surabaya. Namun, nyawa sang guru tak tertolong. Diagnosis dokter, korban mengalami mati batang otak (MBO), dan semua organ dalam tubuhnya sudah tak berfungsi. Guru malang itu meninggalkan seorang istri, Sianit Shinta (22), yang sedang hamil lima bulan. Kepada siapa Shinta dan jabang bayinya kelak harus bersandar?
Polres Sampang menetapkan HI sebagai tersangka dan menahannya. Murid durhaka itu dijerat dengan Pasal 351 ayat(3) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara.
Guru Budi bukan yang pertama menjadi korban murid durhaka. Dasrul (54), guru SMKN 2 Makassar, Sulawesi Selatan, juga menjadi korban penganiayaan siswanya, MAS (16), tahun 2016 lalu.
Peristiwa bermula saat Dasrul menegur MAS karena tak mengerjakan tugas pekerjaan rumah. Namun, MAS justru melawan, sehingga Dasrul pun memukul pundak MAS. Tak terima dengan perlakuan gurunya, MAS lantas menelepon bapaknya, M Adnan Achmad. Selang beberapa menit Adnan datang ke sekolah bertemu putranya. Selanjutnya keduanya berpapasan dengan Dasrul. Adnan pun menghentikan langkah Dasrul dan menanyakan alasan mengapa memukul MAS. Dasrul lalu menjawab bahwa putra Adnan nakal. Tak terima dengan jawaban Dasrul, Adnan lalu memukul wajah Dasrul sehingga hidung dan pelipis Dasrul terluka dan mengeluarkan darah.
MAS dan Adnan sempat menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Makassar. MAS dikenakan Pasal 170 KUHP, sementara bapaknya, Adnan, dijerat Pasal 351 KUHP juncto Pasal 170 KUHP. Namun, karena Dasrul memaafkan MAS dan bapaknya, terjadilah perdamaian di luar pengadilan. Pernyataan damai itu kemudian disampaikan kepada majelis hakim tunggal Teguh Sri Raharjo yang mengadili perkara tersebut pada persidangan yang digelar Selasa, 6 September 2016. MAS dan Adnan akhirnya bebas.
Selang beberapa waktu kemudian, Dasrul meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di Jl Sultan Hasanuddin, Kabupaten Gowa, Jumat (20/10/2017).
Sebaliknya, aksi penganiayaan guru terhadap murid juga pernah terjadi, seperti dilakukan oknum guru bernama Ma’in di salah satu SMPN di Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung, kepada siswa berinisial RHP pada 11 Oktober 2017. Kasus ini berakhir damai setelah dimediasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
“Penganiayaan” guru terhadap murid, meski tak bisa dibenarkan dari aspek hukum, agama, hak asasi manusia (HAM) atau apa pun juga, mungkin bisa “dimaklumi” sepanjang “penganiayaan” itu sekadar mencubit pipi atau lengan, atau sekadar menjenggung kepala. Guru punya alasan, yakni untuk mendidik.
Kalau penganiayaan murid terhadap guru, lalu apa alasannya? Apakah karena ketidaktahuan norma, mengingat murid masih “ABG”, ataukah murid sadar akan HAM-nya? Pemenuhan HAM, di mana pun di dunia ini, harus didahului dengan pemenuhan kewajiban. Sudahkah murid memenuhi kewajibannya untuk hormat kepada guru, sehingga ia berhak untuk diperlakukan dengan penuh kasih sayang? Ada adagium, kasih sayang yang tak terbatas justru tidak mendidik, bahkan menjerumuskan.
Di sisi lain, guru juga manusia biasa. Sesabar-sabarnya guru, kesabaran itu ada batasnya. Adilkah kita menuntut guru untuk senantiasa bersabar, di tengah tumpukan tugas untuk memenuhi persyaratan sertifikasi bagi guru PNS, atau di tengah honor yang sangat tidak manusiawi bagi GTT semacam Budi?
Dalam kasus di Sampang, polisi dan aparat penegak hukum lain hendaknya tetap melanjutkan kasus penganiayaan guru Budi, yang berakhir dengan kematian, hingga ke meja hijau, bahkan sampai vonis yang berkekuatan hukum tetap (inkrah). Apalagi HI, tersangka pelaku, sudah berusia 17 tahun alias sudah dewasa.
Bila nanti keluarga tersangka minta maaf, keluarga korban silakan memaafkan, tapi proses hukum harus tetap berjalan. Selain untuk menciptakan detterent effect (efek jera) bagi pelaku, juga sebagai shock therapy (terapi kejut) bagi calon pelaku lain.
Cukuplah murid durhaka hanya berhenti pada HI dan MAS, jutaan murid lainnya jangan sampai meniru mereka. Semoga!
Karyudi Sutajah Putra. Sarjana Pendidikan, pegiat media, tinggal di Jakarta.