YOGYAKARTA, MENARA62.COM — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Pembinaan Ideologi bagi pengelola media Muhammadiyah di Yogyakarta, Rabu (14/6/2017) petang mengatakan, pengelola media Muhammadiyah menjadi harapan baru bagi Muhammadiyah. Nasib wajah Muhammadiyah di publik di tangan para pengelola media Muhammadiyah.
“Kita harus bersaing, saling membangun informasi yang bermanfaat. Muhammadiyah akan kewalahan jika tidak bisa hadir dalam pengelolaan media ini dengan lebih baik,” ujarnya.
Apalagi, Haedar mengungkapkan, saat ini banyak yang mendekonstruksi paham dan sejarah Muhammadiyah serta apa yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, termasuk ritual keagamaan yang dilakukannya.
“Dalam berbagai macam tafsir Islam dan perkembangan penafsiran saat ini, kalu kita tidak kuat pada manhaj, bisa membuat kita kehilangan arah,” ujarnya.
Haedar mencontohkan, pasca peristiwa 212, banyak tradisi yang membuat kita kaget dengan kebiasaan baru. “Bukan saya tidak suka, namun membuat saya sendiri kaget. Tetapi kita tetap harus melihat kembali manhaj Muhammadiyah. Selain itu banyak yang salah dalam menilai tentang Muhammadiyah,” ujarnya.
Saat ini, menurut Haedar, bisa jadi sedang berlangsung bangkitnya neorevitalisasi Islam, gerakan pemurnian Islam secara lebih keras lagi, sehingga di masyarakat seperti muncul pemahaman keberagamaan yang sangat beragam.
Menurut Haedar, Muhammadiyah sering dikatakan salafiah, dari hal akidah dan ibadah. Maksudnya, bukan sebagai golongan, tetapi dalam hal akidah itu lurus, tidak terlibat pada syirik (menyekutukan Allah) dan sebagaiknya.
“Dalam hal ibadah, juga ibadah yang ma’tsuroh, sesuai dengan sunah rasul, tidak ditambah dan tidak dikurang. Muhammadiyah juga anti bid’ah, mengada-adakan apa yang tidak dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Namun Muhammadiyah tidak pernah menyalahkan ataupun menyerang tradisi orang,” ujarnya.
Apalagi, menurut Haedar, perhatian awal KH Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah terfokus pada kegiatan sosial, dan saat itu urusan ibadah belum menjadi perhatian. “Batu pada tahun 1927, lahirlah Majelis Tarjih yang memilah dan mengambil dalil yang terkuat,” ujarnya.
Haedar pun mengungkapkan, Muhammadiyah tidak berpolitik praktis seperti yang dijalankan parpol. Karena Muhammadiyah organisasi keagamaan. “Tapi kita bergaul dengan semua kalangan. Muhammadiyah tidak anti partai, tetapi dorong Parpol mencapaikan misinya yang baik. Siapapun yang menjadi pemerintah akan didukung, kecuali ada hal yang tidak benar,” ujarnya.