JAKARTA, MENARA62.COM – Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebut bila negara di dunia tidak menerapkan langkah yang ambisius dalam memitigasi perubahan iklim maka kenaikan suhu bumi melebihi 1.5 derajat Celcius diprediksi akan berlangsung hanya dalam dua dekade mendatang. Pada 2080-2100, kenaikan temperatur rata-rata bumi bahkan dapat mencapai 3.3-5.7 derajat Celcius.
Dampak cuaca ekstrim yang akan lebih sering terjadi ketika temperatur rata-rata bumi naik melebihi 1.5 derajat Celcius tersebut diantaranya hujan lebat, kekeringan, dan heatwave. Beberapa perubahan tersebut tidak bisa diperbaiki (irreversible).
“Perubahan iklim berdampak bagi Indonesia, terutama dengan meningkatnya intensitas hujan. Pemerintah perlu melakukan adaptasi dan mitigasi. Tidak ada waktu untuk berleha. Tindakan mitigasi harus dilakukan dengan mereduksi jumlah emisi karbon di atmosfer,” kata Prof. Dr. Edvin Aldrian, Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC pada temu media Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 bertema Raih Dekarbonisasi Mendalam pada 2050: Tetapkan Target, Mobilisasi Aksi, dan Capai Bebas Emisi, Selasa (14/9/2021). IETD 2021 fokus membahas pentingnya upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia dengan segera bertransisi energi dari energi fosil menuju pemanfaatan 100 persen energi terbarukan pada 2050.
Menurut Prof Edvin, untuk mencegah kenaikan suhu bumi yang signifikan tersebut, Indonesia sebagai negara yang meratifikasi Persetujuan Paris terikat secara hukum untuk mengintegrasikan kebijakannya dalam meraih target netral karbon selambatnya tahun 2050. Hanya saja, secara komitmen politik dan kebijakan, Indonesia masih tidak selaras dengan Persetujuan Paris. Hal ini tercermin pada dokumen pemutakhiran komitmen nasional Indonesia atau Nationally Determined Contributions (NDC) 2021.
Selain terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa skenario mitigasi di sektor energi dalam dokumen tersebut masih sarat dengan energi fosil.
“Skenario low carbon scenario compatible with Paris Agreement target (LCCP) dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) tidak mencerminkan Indonesia mengatasi krisis iklim. Pemerintah terjebak dalam solusi palsu untuk menurunkan emisi GRK dengan berharap pada teknologi seperti CCS/CCUS yang mahal dan sejauh ini menunjukan tidak efektif dalam menurunkan emisi di PLTU. Skenario ini justru menjauhkan kita dari transformasi sistem energi berbasis pada teknologi terbaik yang lebih handal, bersih dan kompetitif,” para Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama.
Kajian IESR berjudul deep decarbonization of Indonesia’s energy system menunjukkan bahwa dengan terus menurunnya harga energi terbarukan dan teknologi penyimpanan energi serta dengan semakin besarnya penggunaan energi surya, Indonesia akan mampu mencapai nir emisi di sektor ketenagalistrikan (100% dari energi terbarukan) pada tahun 2045. Penggunaan energi terbarukan akan membuat biaya pembangkitan listrik dan kebutuhan investasi lebih rendah dibanding tetap menggunakan batubara.
Upaya dekarbonisasi sistem energi lanjut Fabby, tentu saja memerlukan kerangka kebijakan yang kuat untuk memobilisasi teknologi, dan investasi di sektor energi terbarukan agar bisa bersaing dengan energi fosil yang padat subsidi.
IESR memandang bahwa mengandalkan sepenuhnya sistem energi Indonesia pada energi terbarukan merupakan solusi yang tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), mengingat sektor energi fosil akan menjadi penyumbang emisi terbesar pada tahun 2030 yakni mencapai hingga 58% pada skenario business as usual di dokumen Nationally Determined Contributions (NDC). Langkah transformasional untuk bertransisi energi tersebut perlu dilakukan tahun ini seiring dengan semakin kritisnya kenaikan suhu bumi.
IETD 2021 yang digelar oleh IESR bekerjasama dengan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) akan membahas secara terperinci jalur yang Indonesia dapat tempuh untuk mencapai bebas emisi 2050 dengan mengundang lebih dari 60 pembicara dari Indonesia maupun internasional.
Para pembicara yang akan hadir secara daring pada IETD 2021 di antaranya, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Suharso Monoarfa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Patricia Espinosa, Executive Secretary United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Michael Bloomberg, UN Secretary- Special Envoy on Climate Ambition and Solutions, Amory Lovins, Chairman Rocky Mountain Institute (RMI), dan para duta besar dari negara Inggris, Denmark, dan Jepang.
Acara yang berlangsung selama lima hari ini, dari 20-24 September 2021, akan dibuka secara resmi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif. Info lebih lanjut dapat diakses di ietd.info.