JAKARTA, MENARA62.COM – Kepala BKKBN Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp. OG (K) menyebutkan di tengah tantangan kesehatan global yang saat ini terjadi, isu pemenuhan malnutrisi masih menjadi ancaman kesehatan jangka panjang bagi masyarakat Indonesia. Masalah gizi, baik gizi kurang atau gizi lebih, dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit lain, khususnya risiko terjadinya penyakit tidak menular.
“Pada kasus balita dan anak, ADB (Anemia Defisiensi Besi) bermula dari kurangnya zat gizi mikro pada 1000 HPK. Dampaknya berpengaruh pada tumbuh kembang anak yang terganggu, penurunan aktivitas fisik maupun kreativitas, serta menurunnya daya tahan tubuh sehingga meningkatkan risiko infeksi. Sedangkan pada kasus remaja, ADB dapat menurunkan produktivitas dan kemampuan akademis. Kondisi ADB pada kehamilan usia remaja juga rentan terhadap keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi. Oleh karena itu, urgensi perbaikan gizi masyarakat difokuskan pada 1000 HPK dan usia remaja,” ujar Kepala BKKBN, Hasto pada saat acara Penandatangan Naskah Kesepahaman Bersama BKKBN dan Forum Rektor Indonesia secara virtual, Jumat (16/7).
Berdasarkan data Riskesdas 2018, angka stunting kita mencapai 30,8% dan telah mencapai peringkat 4 dunia. Sedangkan 48,9% ibu hamil, 32% remaja 15-24, dan 38,5% balita mengalami anemia. Secara global, sekitar 50-60% angka anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi atau biasa disebut Anemia Defisiensi Besi (ADB).
“Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman Bersama adalah bentuk komitmen antara BKKBN dan Forum Rektor Indonesia dalam mensinergikan Program Pembangunan Keluarga dan, Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Bangga Kencana) melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi guna mendorong percepatan penurunan stunting di Indonesia. Mengingat kerjasama ini sangat penting dalam mengembangkan SDM unggul dan berkualitas, kami sangat berharap dukungan penuh dari para pihak guna mewujudkan pilar pembangunan manusia dalam visi Indonesia 2045,” tambah Hasto.
Hal ini sejalan dengan visi misi Forum Rektor Indonesia yang merupakan lembaga normatif dan wadah komunikasi serta pertukaran ide, gagasan, dan strategi antar pimpinan perguruan tinggi seluruh Indonesia sehingga mampu memberikan alternatif solusi dan saran strategis kepada pemerintah dan masyarakat terkait dengan perkembangan, regulasi, dan peningkatan pendidikan tinggi di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama Ketua Forum Rektor Prof. Dr. Arif Satria, SP, M.Si menambahkan dalam jangka menengah dan jangka panjang program-program yang sangat strategis seperti gerakan anti stunting, gerakan peningkatan family resilience atau gerakan ketahanan keluarga merupakan hal yang sifatnya lebih sistemik.
“Ini adalah bentuk komitmen kami di Perguruan Tinggi untuk terus memberikan inovasi-inovasi SDM di Perguruan Tinggi bisa benar-benar memiliki daya manfaat untuk kemajuan bangsa,” ujar Arif.
Dalam menangani stunting tidak bisa dilakukan sendiri sendiri tapi membutuhkan kerjasama lintas sektor, diantaranya adalah Forum Rektor Indonesia untuk mencegah terjadinya peningkatan prevalensi penurunan stunting dapat dilakukan pada siklus daur hidup di tahap remaja.
Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengatakan, penurunan stunting juga harus melibatkan stakeholder lainnya mulai dari dunia usaha, universitas dan organisasi profesi, organisasi masyarakati madani, mitra pembangunan, dan media. Adanya 1000 perguruan tinggi berpotensi untuk mendukung penurunan stunting di 514 kabupaten/kota.
“Perguruan tinggi berperan menjaga sustainibilitas program penurunan stunting, memberikan bukti ilmiah pada pelaksana program, memperkuat kapasitas pemerintah kabupaten/kota, dan memberikan pendampingan dalam pengembangan model intervensi yang efektif, sekaligus sebagai bahan pembelajaran praktik baik. Hasil dari penelitian menunjukkan apabila stunting tidak diatasi, akan turun menurun sampai ke generasi-generasi selanjutnya. Untuk itu, BKKBN mengajak rekan-rekan dari Forum Rektor Indonesia untuk memberikan perhatian yang besar pada penurunan stunting'” tutup Hasto.