JAKARTA, MENARA62.COM — Setelah mengundang banyak kritikan dari berbagai pihak dan pakar, kini giliran Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan sementara program Kartu Prakerja hingga dilakukan evaluasi ulang yang prosesnya dilaksanakan dengan lebih transparan serta tidak terburu-buru. Karena banyak yang menilai, salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo saat pilpres lalu ini dinilai terlalu dipaksakan untuk dapat terlaksana.
Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI mengatakan bahwa sejak awal Kartu Prakerja dirancang untuk dilakukan pada situasi normal, bukan untuk situasi krisis. Dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mendekati nol persen atau bahkan negatif imbas wabah Covid-19 yang melanda Indonesia, membuat ribuan perusahaan terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Tahun 2020 ini adalah tahun krisis bagi semua orang, lapangan pekerjaan pun berkurang. Sangat disayangkan Pemerintah terlalu memaksakan untuk meluncurkan program Kartu Prakerja di situasi seperti ini. Alhasil yang terjadi adalah kurang adanya transparansi imbas keterburu-buruan tersebut. Hal ini memunculkan asumsi pada masyarakat akan adanya potensi maladministrasi yang dapat terjadi,” ujar Anggawira pada keterangannya di Jakarta (8/5/2020).
Mekanisme pelatihan daring/ online dalam program Kartu Prakerja sendiri menjadi sebuah pertanyaan besar. Sebab tidak adanya keterbukaan perihal bagaimana proses pelibatan Skills Academy (Ruang Guru), Tokopedia, Bukalapak, Sekolahmu, Pintaria, Pijar Mahir, Sisnaker, dan Maubelajarapa sehingga dapat menjadi platform digital yang terpilih sebagai mitra Pemerintah.
“Ada ruang gelap dalam pengelolaan dana APBN untuk pelatihan daring/ online sebesar 5,6 tiliun rupiah. Sampai saat ini belum ada transparansi bagaimana alokasi dana dana berapa yang dibayarkan kepada 8 lembaga mitra Pemerintah tersebut. Telah banyak keluhan karena video pelatihan daring tersebut berisi materi yang cukup menggelikan seperti cara memasak dan memancing, apalagi ini program pemerintah dengan anggaran triliunan,” tambahnya.
Kontrol pemilihan dan kualitas materi yang disampaikan menjadi faktor kunci dalam sebuah pelatihan baik daring maupun tatap muka. Anggawira menegaskan bahwa materi pelatihan harus memenuhi standar Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Jika tidak, kecil kemungkinan perusahaan akan menerima pelamar dengan sertifikat yang dikeluarkan 8 platform digital mitra Pemerintah tersebut.
“Misal ada pelamar di sebuah perusahaan bidang hukum dengan bermodalkan CV dan sertifikat pelatihan dari platform mitra Pemerintah. Tanpa adanya sertifikasi profesi advokat dari BNSP, tentu akan sulit. Ini berguna untuk menunjang kompetensi pelamar dan berlaku hampir untuk semua profesi strategis seperti kehumasan, akuntan, IT, human resource, insinyur, dan lain-lain,” lanjutnya.
Anggawira menilai, seharusnya yang terlibat dalam mempersiapkan pelatihan tenaga kerja Indonesia adalah Balai Latihan Kerja (BLK), Perguruan Tinggi, dan dari dunia usaha itu sendiri. Menurutnya ketiga entitas tersebut dinilai lebih tepat untuk mempersiapkan materi Serta keterampilan apa saja yang dibutuhkan dan harus dikuasai untuk bersaing di dunia kerja.
“Untuk meminimalisir anggaran, pemerintah dapat memanfaatkan BLK sebagai sarana pelatihan masyarakat. Selain itu sinergitas dengan perguruan tinggi merupakan sebuah keharusan untuk menyediakan materi pelatihan yang berkualitas. Lalu kenapa dunia usaha harus dilibatkan? karena tidak dapat dipungkiri bahwa pengusaha yang paling tau apa yang dibutuhkan industri. (*)