31.9 C
Jakarta

Hukuman Kebiri dalam Perspektif dan Argumentasi Islam

Baca Juga:

Mohamad Fadhilah Zein
Mohamad Fadhilah Zeinhttp://menara62.com/
Jurnalis, Produser, Ghost Writer, Youtuber, Kolumnis. For further communication contact fadil_zein@yahoo.com

Efek jera atau yang dikenal dalam Islam sebagai zawajir merupakan alasan yang sering dikedepankan jika berbicara tentang pemberatan hukuman. Secara filosofis, Islam memiliki perspektif dan argumentasi kuat tentang hukum yang sifatnya qadim, artinya telah ada sebelum manusia ada. Landasan hukum dalam Islam adalah firman Allah yang nafsi azali, tidak berhuruf dan tidak bersuara.

Hukum ini dijadikan Allah sebagai bentuk pengaturan kehidupan manusia.  Karena nafsi azali tersebut, Allah kemudian menurunkan sesuatu kepada manusia yang berfungsi untuk mengetahui hukumNya, yang dalam ushul fiqh dikenal dengan istilah dalil. Dalil hukum ini ada yang bersifat qath’i dan ada yang zhanni.

Dalil qath’i merupakan hukum Islam yang ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Allah SWT. Hukum semacam ini jumlahnya tidak banyak, dan hukum itulah yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah syariat. Sementara, yang kedua merupakan hukum yang ditetapkan pokok-pokoknya saja yang ditetapkan oleh dalil zhanni. Hukum jenis ini jumlahnya sangat banyak, dan membutuhkan ijtihad ulama untuk mengembangkannya. Hasil pengembangan ulama tersebut kemudian dikenal dengan istilah fiqh.

Zawajir menjadi bagian pembahasan dalam fiqh Islam kontemporer. Istilah ini tidak lepas dari perspektif bahwa  hukuman pidana (jinayat) bertujuan memberikan rasa ngeri bagi orang lain agar tidak berani melakukan tindak pidana yang sama. Teori ini berangkat dari cara pandang bahwa lebih penting menegakan hukum untuk mencegah (to preven) daripada sebagai alasan penebusan dosa (to cleanse the sins). Teori zawajir ini masuk dalam pembahasan kontemporer karena pendahulunya adalah teori jawabir. Teori jawabir berangkat dari cara pandang bahwa penegakan hukum ditujukan untuk menebus kesalahan atau dosa yang telah diperbuat.

Adanya teori zawajir menjadi landasan kuat dalam literatur Islam bahwa upaya mencegah kejahatan mendapat tempat dalam hukum Islam. Ini menjadi bentuk bahwa hukum zhanni membutuhkan ijtihad kuat para ulama dan aparat penegak hukum untuk menjawab kebutuhan kondisi kekinian.

Adanya pemberatan hukuman mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Zawajir atau efek jera tidak lepas dari tujuan hukum Islam itu sendiri, yakni jalbu al masalih wa daf’u al mafasid.

Beberapa tahun lalu, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini lebih populer dengan sebutan Perppu Kebiri karena di dalamnya dimuat tentang hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dengan cara disuntik hormon sehingga yang bersangkutan kehilangan gairah seksual. Perppu ini kemudian disahkan DPR menjadi UU Perlindungan Anak yang berisi tambahan sejumlah pasal. Ada tiga landasan yang digunakan, yakni filosofis, sosiologis dan yuridis. Secara filosofis, Perppu ini diterbitkan sesuai dengan semangat melindungi hak asasi manusia, khususnya anak, yang memiliki keterikatan dengan UUD 1945 Pasal 28 J ayat 2.

Di dalam ayat itu disebutkan, HAM dalam konstitusi Indonesia adalah HAM yang dibatasi oleh hak asasi orang lain. HAM dalam konstitusi Indonesia berbeda dengan HAM Barat yang terlalu mendewakan nilai-nilai individualistik.

Anak memiliki hak untuk dilindungi dari ancaman dan bahaya yang akan merusak kehidupannya di masa depan. Hak ini tertuang dalam UU Perlindungan Anak No 35 tahun 2014. Alasan perlindungan ini juga tidak lepas dari semangat optimalisasi perlindungan anak yang kini menjadi concern Pemerintah.

Berangkat dari filosofi ini, kemudian Pemerintah merasa perlu mengeluarkan Perppu Kebiri yang nilainya setara dengan UU. Begitu pula dari aspek sosiologis, di mana pada saat ini maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak sudah sangat mengancam dan membahayakan jiwa dan tumbuh kembang mereka.

Ditinjau dari aspek yuridis pun demikian. Hukuman yang ada dalam UU Perlindungan Anak dianggap masih terlalu rendah, jika dibandingkan dengan akibat dari kejahatan seksual anak. Kita bisa melihat hukuman dalam UU Perlindungan Anak, penjara maksimal 15 tahun dengan denda mencapai 5 miliar rupiah. Dalam praktiknya, sangat jarang majelis hakim memvonis pelaku kejahatan kekerasan seksual anak dengan masa tahanan 15 tahun dan denda sedemikan banyak. Ini tentu membuat miris kita semua, sekaligus menjadi bukti betapa negara membutuhkan payung hukum untuk menunjukkan powernya terhadap para predator anak.

Jika dikaitkan dengan apa yang sudah diutarakan di atas, hukuman kebiri ini memiliki semangat untuk memberi kengerian agar orang lain berpikir seribu kali sebelum melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Sudah tentu, hukuman kebiri ini ditujukan kepada pelaku dewasa. Bagaimana jika pelakunya anak-anak? Sudah tentu, yang harus dikedepankan adalah penegakan hukum berdasarkan keadilan restoratif.

Teori zawajir ini sangat tepat jika dikaitkan dengan kasus kekerasan seksual anak di tanah air. Pelaku tidak cukup hanya dihukum berlandaskan penebusan dosa, namun dia harus menjadi contoh dari penegakan bentuk hukum yang menimbulkan kengerian dari akibat yang telah dilakukan. Tujuannya adalah agar tidak ada masyarakat yang berani melakukannya di kemudian hari.

Jika ditinjau dalam kajian keislaman klasik, hukuman kebiri ini bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk fungsi kontrol sosial masyarakat. Dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak yang sudah masuk kategori extraordinary crime, hukuman kebiri bisa menjadi shock therapy. Secara psikologis, hukuman “sadis” bisa dibenarkan, berdasarkan hukum Islam, dengan syarat bertujuan mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama.

Dalam hal ini mengingat tujuan utama penegakkan hukum dalam perspektif dan argumentasi Islam adalah mendatangkan, menciptakan dan memelihara kemaslahatan bagi umat manusia. Perlu dikemukakan pula bahwa kemaslahatan individu dan masyarakat harus berimbang. Menghukum dengan tegas satu individu pada hakikatnya adalah untuk melindungi hak asasi manusia yang lebih besar, yakni masyarakat itu sendiri. (*)

Mohamad Fadhilah Zein

 

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!