31.6 C
Jakarta

ICJR : Krisis Kepadatan Ancam Rutan dan Lapas

Baca Juga:

JAKARTA,MENARA62.COM—Institute Criminal Justice Reform (ICJR) prihatin atas terjadinya kasus narapidana  yang kabur dari Rumah Tahanan (Rutan) ataupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).  Peristiwa yang terjadi pada Jumat 5 Mei 2017, dilaporkan lebih dari 200 orang penghuni Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau melarikan diri. Sebelum kabur, para penghuni Rutan tersebut sempat rusuh dan menjebol pintu keluar rutan.

Provinsi Riau memang menjadi salah satu sorotan dalam kelebihan kapasitas, total dengan 14 Rutan dan Lapas, kelebihan penghuni yang terjadi total mencapai 200%. Provinsi Riau juga memiliki salah satu rutan dengan kelebihan beban terburuk, yaitu Rutan Bagan Siapi-api yang kelebihan bebannya mencapai 700% dari kapasitas hunian. Untuk Rutan Pekanbaru sendiri, dari data Dirjen PAS, kelebihan beban mencapai 233% dari total hunian.

ICJR melihat bahwa masalah di Lapas dan Rutan di seluruh Indonesia, sudah dalam situasi yang mengkhawatirkan. Masalah utama terkait kelebihan penghuni yang dialami sebagian besar Lapas Indonesia sudah dalam kondisi akut. Ini akan menimbulkan krisis akibat kepadatan atau dikenal sebagai overcrowding.

Sampai dengan saat ini tidak ada solusi pemerintah yang jitu dan komprehensif atas hal tersebut karena selama ini pembenahan atas kondisi ini masih tambal sulam.

ICJR melihat walaupun beberapa kebijakan kriminal telah berupaya mengurangi jumlah asupan narapidana ke penjara, seperti dalam kebijakan Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung(PERMA) Nomor 2/2012 yang menaikkan batas minimal tindak pidana ringan dari Rp250,- menjadi Rp2.500.000,-, dengan tujuan utama dari PERMA ini adalah untuk mengurangi jumlah tahanan yang dirasakan berlebih. Maupun kebijakan rehabilitasi dalam korban pengguna narkotika. Namun, kebijakan ini belum memberikan kontribusi bagi masalah Lapas.

Masalah terbesar tetap berada pada tujuan pemidanaan di Indonesia yang masih kental dengan penjeraan dengan menggunakan pidana penjara. Misalnya, melihat Rancangan KUHP yang sering disebut-sebut oleh Pemerintah, meskipun ada ketentuan kerja sosial  sebagai hukuman alternatif lain di luar pidana penjara, dalam hal jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan.

Yang menjadi soal adalah karena ancaman pidana penjara dalam RKUHP tergolong tinggi dan ketentuan ini sangat bergantung pada keputusan hakim untuk menjatuhkan pidana dibawah 6 bulan, yang juga bergantung pada tuntutan dari Jaksa. Secara teknis dan praktik, hakim akan susah menjatuhkan pidana rendah (di bawah 6 bulan), apabila Jaksa menuntut pidana penjara tinggi, yang juga bergantung pada ancaman pidana dalam Undang-undang.

Berdasarkan temuan ICJR, hanya ada 59 tindak pidana yang dapat secara otomatis dapat dijatuhi pidana kerja sosial. Sedangkan 1.154 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara, lebih lanjut, ada 249 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana minimum dari 1 tahun sampai 4 tahun penjara. Temuan ini belum termasuk ancaman pidana dalam Undang-Undang sektoral lainnya seperti UU ITE, UU Narkotika dan lain sebagainya.

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, mendorong pemerintah melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan pemidanaan di Indonesia khususnya mengantisipasi overkapasitas untuk meminimalisir overcrowding dalam Lapas.

Tindakan untuk situasi yang cepat juga dibutuhkan untuk memprioritas penanganan pada sejumlah lapas-lapas besar  yang mengalami kelebihan penghuni. Terhadap Lapas-lapas tersebut kebijakan transisi untuk mengurangi dampak kerusuhan dan problem keamanan seharusnya bisa dicegah dan diantisipasi. Rekomendasi yang sudah ratusan kali didorong oleh ICJR dan Masyarakat  Sipil pada isu peradilan pidana dan reformasi tempat-tempat penahanan.

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!