31.7 C
Jakarta

Ijtihad Muktamar Berkemajuan

Baca Juga:

Di tengah gegap gempita Muktamar Muhammadiyah, kita lupa bertanya: berapa banyak energi, dana, dan waktu yang terserap hanya untuk berpesta?

Saatnya menimbang ulang: benarkah semua ini masih berkemajuan?

Setiap kali Muktamar Muhammadiyah digelar, semaraknya selalu luar biasa. Stadion dipenuhi lautan manusia, panggung besar dibangun megah, dan bendera persyarikatan berkibar di setiap sudut kota. Ribuan penggembira datang dengan semangat membuncah, seolah ini bukan sekadar forum permusyawaratan, melainkan festival kebesaran organisasi.

Namun di tengah gegap gempita itu, ada pertanyaan yang jarang terdengar: benarkah semua ini mencerminkan wajah Muktamar Berkemajuan seperti yang diidealkan Muhammadiyah?

Boros dan Nyaris Tanpa Audit

Muktamar memang momentum penting—arah gerak ditetapkan, kepemimpinan diperbarui, gagasan besar dirumuskan. Tetapi pola pelaksanaannya kini tampak semakin boros dan simbolik.

Dalam hitungan hari, dana dalam jumlah besar mengalir. Sebagian bersumber dari APBN dan APBD, sebagian dari kas organisasi, bahkan tak sedikit dari kantong pribadi warga persyarikatan yang rela menyumbang demi “kemeriahan dakwah.”

Sayangnya, transparansi penggunaan dana itu nyaris tak terdengar. Tak ada laporan audit terbuka, padahal sebagian anggaran bersumber dari dana publik. Ironis, bila gerakan yang dikenal menjunjung tinggi akuntabilitas justru kabur dalam peristiwa sebesar Muktamar.

Keteladanan yang Hilang

Dari sisi lingkungan, Muktamar juga menyisakan persoalan. Ribuan atribut dicetak—spanduk, baliho, kaos, pamflet, suvenir—yang dalam waktu singkat menjadi limbah.

Di tengah krisis iklim global, Muhammadiyah semestinya menjadi teladan dalam kegiatan yang ramah lingkungan. Mengampanyekan green dakwah sambil meninggalkan jejak ekologis yang besar adalah paradoks yang menampar kesadaran kita sendiri.

“Kemajuan sejati tidak selalu tampak dalam kemegahan, melainkan dalam kesederhanaan yang membawa manfaat bagi banyak orang.”

Ketika Tajdid Tak Menyentuh Teknologi

Kemajuan teknologi informasi telah membuka ruang tajdid baru. Pemilihan pimpinan bisa dilakukan lewat e-voting yang aman, terverifikasi, dan transparan. Musyawarah bisa digelar secara daring tanpa harus memobilisasi ribuan orang ke satu kota.

Banyak lembaga besar—bahkan negara—telah melakukannya. Lalu mengapa Muhammadiyah, pelopor modernisme Islam di Indonesia, belum memulainya? Bukankah tajdid seharusnya menjadi napas gerakan?

Muktamar daring bukan hanya efisien, tetapi sejalan dengan semangat berkemajuan: hemat energi, ramah lingkungan, dan inklusif bagi kader di seluruh dunia.

Bayangkan, berapa miliar rupiah bisa dihemat bila Muktamar dilakukan secara daring. Dana itu bisa dialihkan untuk memperkuat dakwah al-Ma’un: memperbaiki sarana pendidikan, memperluas layanan kesehatan, dan meningkatkan kesejahteraan guru Muhammadiyah.

Hingga kini, banyak guru swasta di bawah persyarikatan masih hidup dari honor tiga atau empat ratus ribu rupiah per bulan. Kementerian Pendidikan, dengan program Makan Bergizi Gratis dan keterbatasan anggaran, belum mampu menaikkan kesejahteraan mereka secara layak.

Dalam situasi semacam ini, semestinya Muhammadiyah menunjukkan keberpihakan nyata. Gerakan al-Ma’un bukan slogan, melainkan panggilan moral untuk mendahulukan kaum lemah dan memperjuangkan hak-hak dasar manusia.

Ijtihad Sosial Menekan Kemubaziran

Majelis Tarjih dan Tajdid perlu melakukan ijtihad sosial baru: merumuskan fatwa tentang Muktamar Daring Berkemajuan.

Ini bukan sekadar efisiensi teknis, melainkan etika kemajuan. Dalam Islam, pemborosan dikecam bukan hanya karena membuang harta, tetapi karena mengabaikan prioritas kemanusiaan.

Muktamar semestinya menjadi simbol kedewasaan gerakan, bukan pesta kebesaran organisasi.

Hening yang Mencerahkan

Kemajuan sejati tidak diukur dari kemegahan acara, jumlah penggembira, atau gemerlap panggung pembukaan. Kemajuan diukur dari keberanian moral untuk menata ulang orientasi dan memperbaiki cara kerja.

Jika umat masih banyak yang belum terpenuhi hak-haknya, jika guru masih menunggu belas kasihan, maka setiap bentuk kemewahan yang berlebihan seharusnya mengguncang nurani kita.

Muktamar Berkemajuan adalah muktamar yang sederhana tapi substansial, hening tapi mencerahkan, hemat tapi berdampak.

Menahan Diri, Meneguhkan Nilai

Kadang, langkah paling berani bukan membangun panggung besar, tetapi menahan diri untuk tidak berpesta atas nama dakwah.

Muhammadiyah telah berkali-kali memelopori perubahan sosial. Kini tantangannya bukan lagi membangun sekolah atau rumah sakit, melainkan menata ulang cara berpikir agar tetap sejalan dengan ruh kemajuan yang melahirkan gerakan ini.

Penulis: Qosdus Sabil, Anggota Bidang Layanan dan Advokasi MLH PP Muhammadiyah, 2022–2027

Ciputat: Sabtu 17 Jumadil Awal 1447/8 November 2025

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!