30.2 C
Jakarta

INDEF: Kualitas Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja

Baca Juga:

Press Release
INDEF
“Kualitas Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja”

10 November 2017
Tujuan akhir dari pembangunan Indonesia adalah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Berbicara kesejahteraan sangat berhubungan dengan bagaimana proses pembangunan ekonomi direncanakan, dilakukan, dan dirasakan oleh seluruh elemen bangsa. Sehingga, pembangunan tersebut mampu mengurangi berbagai persoalan bangsa seperti pengangguran, dan kemiskinan serta tidak menimbulkan residu berupa pelebaran ketimpangan pendapatan. Ciri yang demikian, digambarkan pada pertumbuhan ekonomi berkualitas.

Akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum dalam 5 tahun terakhir masih belum dapat keluar dari perlambatan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih melambat sejak Triwulan (TW) III 2013. Meski sempat mengalami kenaikan 2016, namun selanjutnya pertumbuhan tumbuh stagnan. Selain itu, penanggulangan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja dari adanya aktivitas ekonomi belum membaik. Hal ini dapat dikatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia belum berkualitas.

1. Deindustrialisasi dini terus berlangsung
 Pembangunan di Indonesia mengalami proses transformasi struktur ekonomi yang terlihat dari berkurangnya pangsa sektor primer (pertanian) yang diiringi dengan meningkatnya pangsa sektor sekunder (industri) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun saat ini peningkatan pangsa sektor industri cenderung menurun dan stagnan sebelum mencapai titik optimum. Sementara pada saat yang bersamaan pangsa sektor tersier (jasa) terhadap PDB cenderung meningkat. Artinya, terjadi inkonsistensi dalam transformasi struktur ekonomi agraris ke industrialisasi atau sering disebut deindustrialisasi dini.
 Deindustrialisasi dini dapat diartikan suatu penurunan peran industri dalam perekonomian ketika belum mencapai titik optimum. Deindustrialisasi ditandai dengan penurunan absolut dalam aktivitas industri manufaktur, khususnya bila diukur dari peran output terhadap pembentukan PDB. Tahun 2016, peran industri manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya 20,51 persen. Jika merujuk pada data triwulan, pada Triwulan III-2017 porsi industri manufaktur turun menjadi 20,80 persen.
 Pertumbuhan sektor tradable sebagai gambaran dari pertanian, pertambangan dan industri pengolahan tetap berada di bawah pertumbuhan ekonomi sebaliknya dengan sektor non-tradable yang didominasi jasa yang tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi. Bahkan, pada Triwulan III-2017, sektor non-tradable tumbuh lebih cepat sebesar 6.14 persen dibandingkan tradable yang hanya 3.65 persen. Ini menjadi gejala pertumbuhan tidak ditopang oleh sektor yang produktif dengan jumlah penyerapan tenaga kerja yang tinggi.
 Dari sisi Prompt Manufacture Index (PMI) yang menjadi indikator mengukur perkembangan sektor industri dari sisi pembelian, pada Triwulan III-2017 mengalami penurunan menjadi 50.51 dan diprediksi pada Triwulan IV akan turun menjadi 49.93. Hal ini menjadi indikasi bahwa industri mengalami penurunan kapasitas produksi, volume produksi dan kontraksi tenaga kerja.

2. Anomali Konsumsi dan Daya Beli Masyarakat
 Pertumbuhan konsumsi masyarakat terus menurun semenjak Triwulan III tahun 2016. Pada rilis BPS bulan November, pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat dari 4,95 (TW II 2017) persen menjadi 4,93 persen (TW III 2017). Kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi juga menurun pada rentang yang sama. Penurunan konsumsi masyarakat yang menurun juga terlihar dari nilai Indeks Penjualan Riil (IPR) yang menurun terutama di Sektor Makanan, Minuman, dan Tembakau, serta Sandang.
 Indeks Indeks Keyakinan Konsumen mengalami stagnasi pada TW III 2017 dengan berada pada level 121-123 pada Juli, Agustus, dan September 2017. Bahkan jika dibandingkan dengan Mei, Indeks Keyakinan Konsumen saat ini mengalami pelemahan. Begitu juga dengan Indeks Tendensi Bisnis yang mengalami pelemahan dari TW II 2017. Indeks Tendensi Bisnis TW III 2017 berada pada angka 103,29, menurun jika dibandingkan dengan TW II 2017 yang berada di angka 115,92.
 Menurunnya konsumsi masyarakat pada TW III ini banyak dipengaruhi oleh kelompok masyarakat berpenghasilan Rp.1 Juta hingga Rp.2 Juta yang diindikasikan dengan pelemahan Indeks Keyakinan Konsumsi yang terus menurun pada Juli hingga September 2017. Indikator lainnya dapat dilihat dari melemahnya pertumbuhan penjualan motor pada bulan Agustus dan September 2017 dibandingkan dengan bulan Juli 2017. Pelemahan penjualan kendaraan bermotor roda ini melanjutkan tren negatif pada kurun waktu 2013 hingga 2016. Selain itu, indikator lainnya yang menunjukkan pelemahan
pada masyarakat kelas menengah ke bawah adalah (i) nilai riil upah buruh tani yang tidak lebih baik dari tahun lalu yang menyebabkan NTP juga belum membaik, (ii) meskipun inflasi rendah, namun kenaikan TDL dan biaya administrasi pengurusan surat kendaraan bermotor menjadi sumber pelemahan, (iii) pergeresan pola konsumsi.
 Pergeseran pola konsumsi dapat dilihat dari indikasi yaitu : (i) konsumi untuk hiburan menjadi meningkat yang ditunjukkan dengan melambatkan konsumsi untuk makanan dan semakin kencangnya laju pertumbuahn konsumsi untuk hiburan. Selain itu, konsumsi hiburan semakin menjadi penopang pertumbuhan konsumsi masyarakat. (ii) pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) secara year on year meningkat pada dua triwulan terakhir jika dibandingkan dengan tahun 2016. Bahkan pertumbuhan DPK hampir selalu mencapai 2 digit pada periode April hingga September 2017. (iii) penetrasi pasar online yang walaupun masi relatif kecil, namun terus tumbuh. Bahkan di penelitian GRDI (2017), semakin banyak orang Indonesia membeli smartphone maka akan semakin tinggi pula kecenderungan untuk mengkonsumsi lewat online.
 Program Keluarga Harapan (PKH) dan Dana Desa memang dapat meningkatkan daya beli masyarakat menengah ke bawah. PKH yang rencananya akan ditingkatkan penerimanya menjadi sekitar 10 juta dari 6 juta keluarga, sangat rentan berkaitan tahun politik yang sudah terjadi pada tahun depan. Sudah menjadi kegiatan setiap saat ada pemilu pasti program populis seperti ini terjadi.

3. Kinerja Ekspor Impor Masih Stagnan
 Pertumbuhan ekspor komoditas berbasis sumber daya alam dan nilai tambah rendah menopang pertumbuhan ekspor yang signifikan di kuartal ketiga 2017. Pertumbuhan ekspor sektor komoditas pertambangan (34.7%) lebih besar dibanding pertumbuhan ekspor industri pengolahan (14.51%) pada periode Jan-Sep 2017, dibanding periode yang sama tahun lalu. Selain itu, batu bara, palm oil,dan biji kopi. Data Ekspor (Bank Indonesia, Jan-Aug 17) menunjukkan pertumbuhan ekspor palm oil (48.3%), batu bara (46.3%),dan biji kopi (54%). Secara sektoral, komoditas tersebut memiliki share cukup besar pada masing-masing sektor : batu bara (55.6% dari total produk pertambangan); Palm oil (15% dari total produk industri pengolahan); biji kopi (21% dari produk pertanian).
 Ekspor dari industri pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi perlu ditingkatkan. Meskipun proporsi industri pengolahan dalam ekspor cukup besar, yaitu 74.7%, namun, share industri pengolahan dalam ekspor menurun dibanding periode yang sama di tahun 2016, dari 76,63%, sementara share sektor pertambangan meningkat dari 11.95% (Jan-Sep 2016) menjadi 13.72% (Jan-Sep 2017). Dukungan terhadap industri pengolahan berorientasi ekspor diperlukan agar ekspor komoditas bernilai tambah tinggi meningkat.
 Perbaikan dalam hal regulasi dan prosedur perdagangan antar negara perlu dilakukan, untuk meningkatkan arus perdagangan ekspor-impor. Publikasi World Bank menunjukkan penurunan salah satu indikator kemudahan berbisnis di Indonesia, yaitu perdagangan lintas negara, dari urutan 105 (2016), dan 108 (2017) menjadi 112 (2018), walaupun secara skor keseluruhan kemudahan berbisnis di Indonesia mengalami kenaikan dari urutan 91 di tahun 2017 menjadi 72 di tahun 2018. Hal ini mengindikasikan bahwa perlu perbaikan agar waktu dan biaya dalam melakukan ekspor-impor.
 Produksi dalam negeri masih tergantung pada Impor bahan baku/penolong dan barang modal, terlihat dari pertumbuhan selama Jan-Sep 2017 masih tinggi, yaitu 15.2% dan 9.5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kedua jenis barang impor tersebut mendominasi total impor, yaitu 75.3% dan 15.6%. Jika prosedural ekspor-impor rumit dan belum dibenahi, maka perusahaan yang melakukan aktivitas ekspor dan impor akan terbebani biaya yang besar dan waktu yang lama.

4. Harapan Baru Investasi
 Investasi menjadi penopang pertumbuhan terbesar kedua, setelah ekspor, di saat konsumsi rumah tangga cenderung melemah.Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh 7.1% (y.o.y), dengan share terhadap struktur PDB yaitu 31.9% pada kuartal ketiga 2017. Kontribusi PMTDB terhadap pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1.53% (kuartal 1) menjadi 2.25% (kuartal 3 tahun 2017).
 Publikasi Ease of Doing Business (EODB) 2018 oleh World Bank membawa angin segar kepada investasi ke depan. Kenaikan peringkat dari posisi 91 (2017) menjadi 72 dari 190 negara (2018). Namun, masih di bawah posisi Singapura (2), Malaysia (24), Thailand (26) dan Vietnam (68). Dapat dijadikan momentum untuk menarik investasi dari luar negeri, karena kepercayaan terhadap kondisi iklim bisnis di Indonesia. Iklim bisnis perlu dijaga
dan juga perlu membenahi komponen indikator yang masih perlu ditingkatkan, seperti deregulasi ijin usaha dan prosedur ekspor-impor, pendaftaran properti, perpajakan dan proteksi investor.
 Salah satu yang mempengaruhi kinerja investasi adalah nilai dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Dimana angka ICOR menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan investasi yang masuk dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dari data yang diolah oleh INDEF, nilai ICOR Indonesia untuk tahun 2015 dan 2016 masih berada di angka lebih dari 6. Sangat jauh dari nilai ICOR tahun 2008 yang berada di angka 3,7. Semakin kecil investasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu persen pertumbuhan ekonomi maka dapat dikatakan penggunaan investasi efisien.
 Investasi bukan hanya memanfaatkan pasar yang besar di Indonesia, mengingat populasi Indonesia yang besar, namun investasi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi berorientasi ekspor. Berdasarkan investasi sektoral, investasi pada industri pengolahan terutama yang berorientasi ekspor perlu ditingkatkan. Selain itu, investasi yang bermitra dengan industri kecil dan menengah juga diprioritaskan, untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, serta meningkatkan keahlian tenaga kerja industri kecil dan menengah melalui transfer ofknowledge. Pemerintah diharapkan menarik investasi yang memberikan penyerapan tenaga kerja (Reforming to create jobs). Terkait dengan pengangguran meningkat di kuartal ini serta pelemahan daya beli karena penurunan pendapatan.
 Investasi di luar pulau Jawa perlu ditingkatkan untuk pemerataan. Selama ini, lokasi investasi di pulai Jawa, yaitu 52,5% (2015) dan 51% (2016). Sementara itu, sampai dengan Q2 2017, share investasi di pulau jawa yaitu sebesar 48%, terjadi kenaikan pertumbuhan investasi di Sumatra sebesar 70% (q.o.q) dan Sulawesi sebesar 37% (q.o.q.). Oleh karena itu, sangat diperlukan Infrastruktur yang memadai dan juga reformasi regulasi, menyamakan persepsi pemerintah pusat dan daerah dalam hal kemudahan bisnis dan investasi.

5. Penyerapan tenaga kerja (Teh Riza)
 Indikator makro ekonomi triwulan II menunjukkan perbaikan pada sisi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, kurang dalam penyerapan tenaga kerja. Jumlah pengangguran meningkat dari 7.03 juta orang ke 7.04 juta orang. Peningkatan jumlah angkatan kerja tidak dapat diakomodasi oleh ketersediaan lapangan kerja, meski terjadi
terjadi peningkatan jumlah penduduk bekerja. Tingkat Pengangguran Terbuka juga meningkat dari 5,33 (Februari 2017) menjadi 5,50 (Agustus 2017).
 Peningkatan pertumbuhan ekonomi belum mampu menciptakan peningkatan kesempatan kerja. Tren elastisitas penyerapan kerja terus menurun sejak 2010. Terakhir, penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan oleh 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya dapat menyerap 110.000 tenaga kerja. Jauh dibandingkan dengan tahun 2011 yang mempu menyerap hingga 225.000 tenaga kerja. Hal ini berkaitan dengan belum membaiknya pertumbuhan sektor tradable dibandingkan dengan sektor non-tradable. Padahal sektor tradable ini yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.
 Tingkat Pengangguran Terbuka menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan masih banyak di dominasi oleh lulusan SMK. Ini menunjukkan adanya ketidakcocokan antara penawaran tenaga kerja SMK dengan kebutuhan industri. Kebutuhan industri tidak diikuti oleh lulusan SMK atau Diploma yang memadai. Akibatnya industri juga masih mengambil dari lulusan lainnya baik Sarjana, maupun di bawah SMK.
 Meningkatnya jumlah pengangguran banyak disumbang oleh sektor pertanian. Jumlah pekerja sektor pertanian menurun 4,87 persen (y-o-y) pada Agustus 2017. Menurunnya jumlah pekerja di sektor pertanian dikarenakan penurunan upah riil buruh tani. Penurunan upah riil buruh tani menjadikan bekerja di sektor pertanian menjadi tidak menarik lagi. Penurunan upah riil ini terjadi karena terjadinya peningkatan administered price seperti kenaikan BBM di awal tahun 2017 dan peningkatan TDL secara berkala sejak awal 2017 hingga Juli 2017.
 Persentase tenaga kerja penuh menurun dari 72.78 persen di Agustus 2016 ke 72.05 persen di Agustus 2017. Sementara itu pekerja tidak penuh meningkat dari 27.22% ke 27.95%, peningkatan ini disumbang dari meningkatnya pekerja paruh waktu dari 19.64% ke 20.40%. Jumlah pekerja sektor informal juga masih mendominasi dari 68.20 juta orang ke 69.02 juta orang. Menunjukkan masih lemahnya tingkat ekonomi penduduk yang bekerja.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!