JAKARTA, MENARA62.COM – Jumlah remaja berusia 10 – 24 tahun di Indonesia berdasar Badan Pusat Statistik (BPS) ada sekitar 64 juta atau 28,6%. Jumlah ini mengartikan bahwa usia produktif di Indonesia sangat besar, dengan generasi yang mendominasi adalah generasi milenial, gen Z, dan ada juga gen Alpha.
Namun sayangnya, besarnya prosentase usia remaja tersebut juga dibarengi dengan tingginya kasus pernikahan dini. Saat ini Indonesia menempati peringkat ke 8 dari beberapa negara yang memiliki angka dengan jumlah pernikahan dini tinggi.
Fakta tersebut terungkap pada Webinar Kesehatan Reproduksi dan Kelahiran Usia Remaja bertema Sosialisasi Angka Kelahiran Menurut Umur (Age-Specific Fertility Rate/ASFR) 10 – 14 Tahun sebagai Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) yang digelar Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/ Bappenas) bekerja sama dengan United Nations Population Fund Indonesia, Selasa (4/11/2020).
Data menunjukkan jumlah remaja yang menikah dini di pulau Jawa ada 668.900 jiwa, sedang di luar Jawa sebanyak 415.200 jiwa. Angka ini menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah di tengah upaya Indonesia membangun SDM berkualitas.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, hubungan seksual pertama pada usia 15 – 19 tahun pada wanita sebesar 59%, sedang laki – laki sebesar 74%.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K), menjelaskan hubungan seksual pada usia ini dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan, bahkan dapat menyebabkan penyakit kanker mulut rahim.
Penyebab terjadinya pernikahan dini di antaranya adalah pendidikan rendah, seks bebas pada remaja, kebutuhan ekonomi, kultur nikah muda, pernikahan yang diatur, dan hamil diluar nikah.
“BKKBN telah memetakan program pembangunan keluarga, kependudukan dan keluarga berencana, atau dikenal bangga kencana,” jelas Hasto.
Dan yang tak kalah penting untuk ditindaklanjuti adalah Pendidikan Kesehatan Reproduksi (PIK R), kecakapan hidup (life skills) terkait kesehatan reproduksi harus sering disosialisasikan, dan memberikan informasi mengenai resiko apa yang akan dialami jika hamil di usia kurang dari 20 tahun kepada remaja.
Menurut Hasto, wanita di bawah usia 20 tahun memiliki ukuran panggul kurang dari 10 cm, sedang diameter kepala bayi sebesar 9,8cm, 9,7cm. Itu artinya jika kehamilan terjadi pada usia dini, maka sangat berisiko baik terhadap ibu maupun bayi yang dilahirkan.
“Kalau hamil diusia 15 atau 16 tahun terjadi Cephalo-Pelvic-Disproportion, atau tidak masuknya kepala bayi lewat panggul ibu,” jelasnya.
Kondisi tersebut dapat memicu terjadinya persalinan macet, pendarahan, bahkan kematian pada ibu dan anak.
“Pendarahan dapat terjadi karena robekan jalan lahir akibat persalinan pada usia terlalu muda,” tambahnya.
Hasto menjelaskan pentingnya pelajaran sex education yang komprehensif namun terkontrol sejak dini terutama pada anak menjelang remaja. Upaya ini dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada remaja terkait risiko seks dini atau perkawinan usia remaja.
Untuk menjangkau lebih banyak lagi remaja terkait sosialisasi kesehatan reproduksi, Hasto usul agar pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dimasukan ke sekolah dalam bentuk ekstrakulikuler seperti pramuka.