JAKARTA, MENARA62.COM — Industri Sawit Hadapi Kendala, pemerintah diminta ambil langkah strategis. Produksi sawit yang meningkat di saat “peak season kebun sawit” di penghujung tahun 2018 ini, menyebabkan tangki-tangki timbun penuh. Pada saat yang sama, pengeluaran berupa ekspor dan pemakaian dalam negeri yang diharapkan dengan B-20 berjalan lancar dan segera dapat menyerap CPO, terlihat belum sanggup menyerapnya. Akibat kejadian ini, ada beberapa pabrik kelapa sawit (PKS) tidak mampu mengolah TBS terutama yang berasal dari petani/pekebun.
Program Biodiesel B-20 yang mulai berlaku 1 September 2018 yang diharapkan industri FAME (biodiesel) mampu menyerap produksi CPO tersebut, dengan sendirinya dapat menurunkan stok. Ini secara tidak langsung akan dapat menstabilkan harga sawit dan pasokan biodiesel ke Pertamina. Sayangnya, kondisi ini masih mengalami beberapa kendala kecil dilapangan.
Demikian siaran pers yang diterima Menara62.com di Jakarta, Kamis (27/9/2018). Pada saat yang sama, volume ekspor masih bertahan di level 3,2 juta ton per bulan dalam 2 bulan terakhir ini. Kondisi ini memang menunjukkan ada kenaikan volume ekspor dibanding dengan bulan Mei-Juni lalu. Namun, jika kondisi ini berlanjut, situasi ini dapat menjadi masalah besar bagi industri sawit.
Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia mengatakan, ekspor ke beberapa negara tujuan belum dapat ditingkatkan karena tarif bea impor yang dikenakan masih tinggi. Selain itu, pasar di Afrika Timur masih belum dapat menerima minyak sawit dalam bentuk “bulk”, karena kurangnya fasilitas tangki-tangki timbun di beberapa negara tersebut.
Menurutnya, upaya-upaya pihak industri dan asosiasi berupa promosi dagang ke berbagai negara disamping kampanye-kampanye positif, belum mampu menunjukkan peningkatan ekspor yang berarti.
Derom mengungkapkan, informasi dari beberapa negara pengimpor menyatakan, ekspor ke negara-negara tersebut dapat ditingkatkan jika produk sawit Indonesia bisa kompetitif dengan produk hilir Malaysia.
Usulan penurunan pungutan ekspor tersebut, telah disampaikan pihak industri melalui DMSI kepada pemerintah. Namun, pembahasan atas usulan ini masih membutuhkan koordinasi dan waktu yang lama.
Untuk situasi yang mendesak ini,menurut Derom, yang dapat menurunkan stok sawit Indonesia dapat diambil sejumlah langkah penting. Yaitu, pertama, mempercepat pelaksanaan dan distribusi serta siapnya logistik dalam pelaksanaan B-20 di Indonesia, sehingga Industri biodiesel bisa segera beroperasi dengan full-speed.
Kedua, meningkatkan daya saing dengan produk sejenis dari Malaysia, dengan menurunkan pungutan ekspor untuk RBD Olein dari USD 30 menjadi USD 20/ton untuk jenis , dan menurunkan dana pungutan minyak goreng (Olein) dalam kemasan < 25kg diturunkan dari USD 20 menjadi USD 5/ton. Pada saat yang bersamaan, bea pungutan CPO dapat diturunkan dari USD 50/ton.
Ketiga, sementara harga solar dipasar global meningkat di sekitar 1.2 USD/liter dan jauh diatas harga biodiesel Indonesia yang berada dikisaran 65-70 cent USD/liter, maka potensi biodiesel diekspor ke berbagai negara akan memungkinkan.
Sejalan dengan ini, Derom mengatakan, DMSI juga mengusulkan agar Dana Pungutan ekspor biodiesel juga dapat diturunkan dari USD 20/ton menjadi USD 5/ton. Oleh karena itu, DMSI mengharapkan pemerintah dapatmelakukan tindakan cepat agar produksi CPO yang mulai melimpah ini dapat segera diserap industri dalam negeri dan ekspor ke berbagai negara tujuan dapat segera meningkat.