JAKARTA, MENARA62.COM– Cabai menjadi komoditas pertanian yang unik. Meski tingkat konsumsinya tergolong kecil (mikro) tetapi pergolakan harga cabai mampu mempengaruhi angka inflasi dalam negeri.
Bank Indonesia pada 2016 misalnya, melansir harga cabai telah berkontribusi 16,1 persen dari komponen inflasi.
Bustanul Arifin, Pengamat Ekonomi Pertanian menyebutkan sebenarnya pasokan cabai dalam negeri boleh dikatakan berlebih. Dengan jumlah produk nasional mencapai 1,8 juta ton per tahun, ternyata kebutuhan cabai total hanya 1,3 juta ton.
“Artinya semua kebutuhan cabai dalam negeri sebenarnya bisa dipenuhi,” kata Bustanul Arifin, di sela Simposium Nasional 2017 dan Bedah Buku Cabai: Potensi Pengembangan Agrobisnis dan Agroindustri Cabai yang digelar PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Rabu (18/10/2017).
Persoalannya jelas Bustanul terletak pada kontinuitas pasokan. Cabai tergolong komoditas pertanian yang mudah busuk dan memiliki umur pendek. Selain itu cabai juga sebagian besar dihasilkan di Pulau Jawa.
“Karena mudah busuk dan banyak ditemukan di Jawa, pasokan cabai menjadi sulit dijaga, yang berakibat pada saat-saat tertentu harganya melonjak mahal,” lanjutnya.
Senada juga dikemukakan Prof Dr FG Winarno, Ketua Pakar Indofood Riset Nugraha (IRN). Menurutnya, pasokan cabai segar sering tidak sesuai dengan permintaan masyarakat, sehingga fluktuasi harga tak bisa dihindari.
Fluktuasi suplai cabai itu sendiri dipengaruhi beberapa faktor diantaranya musim hujan dan juga masalah penyakit tanaman. Pada saat pasokan cabai berkurang, maka dengan sendirinya harga akan naik. Dan sebaliknya pada saat pasokan melimpah, harga cabai turun dan itu tidak menguntungkan bagi petani.
Menurut Winarno dengan sifatnya yang mudah busuk dan rusak, sesungguhnya dibutuhkan penanganan cabai pasca panen yang lebih tepat. Inovasi untuk membuat pasokan cabai bisa terjaga dalam bentuk cabai olahan, bisa menjadi solusi selama Indonesia belum memiliki kebun cabai berskala besar yang mampu menjamin stok cabai nasional.
Sementara itu Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang mengatakan cabai olahan sebenarnya bisa menjadi solusi untuk menjaga pasokan cabai nasional tetap aman. Sayangnya cabai yang sudah melalui proses penerapan teknologi pascapanen terkena kewajiban pajak pertambahan nilai (PPN).
“Kalau mengolah cabai menggunakan mesin kemudian dikenakan PPN, siapa mau. Padahal maksud mengolah cabai pakai mesin bukan untuk meningkatkan nilai tambah cabai, tetapi memberikan solusi untuk mengawetkan produk cabai, dalam arti memperpanjang usia penggunaan cabai. Tetapi mengapa harus kena pajak,” kata Franciscus.
Sepanjang pemerintah masih mengkategorikan cabai olahan sebagai produk yang harus dikenakan PPn, tentu tidak ada industri yang mau direpotkan dengan persoalan cabai. Industri pada akhirnya akan membiarkan masalah cabai kembali ditangani secara konvensional.
Tjahya Widayanti, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan mengatakan saat ini beberapa komoditas pangan sudah tidak dikenakan PPN, seperti gula dan beras. Karena itu kebijakan mengenakan PPN pada cabai olahan, harus dikaji ulang. Ini mengingat cabai telah menjadi komoditas penting yang mampu mempengaruhi angka inflasi dalam negeri.
“Mungkin perlu dikaji lebih lanjut,” ujarnya.
Sebenarnya, pengenaan pajak pada teknologi pascapanen sebesar 10 persen sudah pasti dan sejak lama dilakukan, mengingat ada proses produksi pada tahap tersebut. Contohnya, cabai yang kemudian diolah menjadi saus.
“Itu artinya ada proses produksi yang menjadikannya layak dikenakan PPN,” tutupnya.
Tetapi ia berjanji akan mengkaji ulang kebijakan pengenaan PPN pada komoditas pangan yang sifatnya vital.