YOGYAKARTA, MENARA62.COM–Belum lama ini, dua tragedi yang menyebabkan nyawa melayang telah merenggut berbagai duka di negeri ini. Tragedi seperti ini sudah kerap menimpa atau sering terjadi di berbagai tempat dengan berbagai sebab. Yang terbaru adalah dua tragedi yang sangat membendung duka; tabrakan beruntun di Jalan Raya Puncak, tepatnya di tanjakan Selarong, Kecamatan Megamendung, Bogor, pada 22 April 2007. Tabrakan beruntun tersebut diakibatkan oleh salah satu bus pariwisata yang menyeruduk belasan kendaraan di depannya dengan alasan rem blong. Tak terkira, korban jiwa dan luka berjatuhan saat itu.
Tragedi kedua adalah peristiwa yang sama membendung duka, yaitu Bus Kitrans mengalami rem blong sehingga menggasak dan menyeret beberapa motor dan mobil hingga masuk jurang. Kejadian ini terjadi pada 30 April 2017 di Jalan Raya Puncak, Desa Ciloto, Cipanas, Cianjur. Korban pun tak dapat dibendung dalam tragedi yang penuh duka ini. Belasan korban jiwa meninggal dunia dan puluhan orang luka ringan dan berat akibat tragedi ini.
Kedua tragedi di atas terjadi di tempat yang tidak jauh dan pada selang waktu yang tidak berjarak lama. Tragedi seperti di atas tidak terjadi di tempat atau di daerah Puncak saja, tetapi bisa saja di tempat lain seperti, di dataran rendah atau di medan dan kondisi yang tidak jauh beda atau sama sekali tidak sama dengan daerah yang terdapat di kawasan Puncak, Jawa Barat ini.
Terbersit sebuah tanya dalam relung sanubari kita, mengapa kejadian seperti itu sering terjadi, apakah faktor utama dari kecalakaan itu, kelalaian, ketoledoran, atau bahkan takdir yang sama sekali tidak pernah diharapkan. Berikut sebuah renungan yang disampaikan oleh Dr. H. Robby H. Abror, M.Hum., Ketua Prodi. Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY.
Introspeksi
Kematian Ayrton Senna, pembalap F1 pada 1 Mei 1994 disebabkan kecelakaan di Sirkuit San Marino, masih menjadi bayang-bayang Adrian Newey, mantan teknisi tim balap mobil F1. Sebelum menyebut sebagai takdir, kecelakaan itu dibaca secara profesional dengan kehati-hatian, mulai dari tuas stir, modifikasinya, soal keamanan sirkuit hingga alasan terjebak dalam kemudi yang tidak berfungsi baik.
Barangkali terlalu jauh menghubungkan kecelakaan maut di puncak dengan kematian pembalap F1 tersebut, tetapi setidaknya dalam upaya membangun kesadaran dan sikap kehati-hatian dapat terbangun langkah yang lebih bertanggung jawab dan tidak sembrono. Sehingga tidak setiap kecelakaan dapat dengan mudah disebut takdir, tetapi terlebih dulu dicari berbagai penyebabnya, kenapa bisa terjadi berulang kali dalam waktu dan jarak yang tidak terlalu lama.
Pertama, bagaimana supir memperlakukan transportasi umum seperti bus wisata atau kendaraan umum, sudahkah rasa tanggung jawab benar-benar telah dilaksanakan seperti merasa sebagai pemilik kendaraan itu sendiri. Artinya, lebih berhati-hati dan tidak abai. Kendaraan mesti dibersihkan, dirawat dengan baik dan dicek berkala tiap 5.000-10.000 km: ban, rem piston, minyak rem dan mesinnya. Kedua, menyetir dengan hati-hati, tidak mengantuk, tidak mabuk dan tidak ugal-ugalan. Ketiga, perlu memahami faktor psikologis jalan raya dan penggunanya yang dapat berubah setiap saat.
Ini sebuah momentum untuk introspeksi. Mulai dari hal sepele, seperti kewajiban memakai helm bagi pengguna motor. Bagaimana tafsir pihak kepolisian terhadap pengguna helm dan sebagian pengendara yang kerap tak mau berhelm untuk alasan tertentu seringkali malah dibiarkan. Masyarakat pasti bisa kasih bukti dengan fasih.
Kemudian, lampu kendaraan yang diubah dan dimodifikasi, plat nomor kendaraan yang dibuat atraktif dan kreatif. Plat merah kendaraan kantor yang ditutup plastik gelap dengan alasan keamanan dan kenyamanan. Belum lagi beberapa kendaraan yang mendapat keistimewaan untuk “melanggar” lampu lalu lintas. Memang ada yang dibolehkan sesuai prosedur, tetapi kadang ada yang melanggar karena sudah menjadi raja jalanan. Masalah terlanjur rumit, jalan jadi jenuh.
Jalan Jenuh
Mengurai masalah jalan raya seperti menegakkan benang basah dan kusut. Kecelakaan jadi identik dengan jalan raya. Murahnya nyawa di negeri horor. Lihatlah anak-anak sekolah pergi dan pulang melintasi jalan raya yang dilewati oleh kendaraan-kendaraan besar, bus, truk, mobil pribadi, dan angkutan umum. Belum lagi aturan yang tidak tegas terhadap pengendara motor yang tidak menyalakan lampu terutama pada malam hari, geng motor, para pengguna jalan raya yang belum saatnya dibolehkan berkendara, para pelanggar rambu-rambu yang mentradisikan pelanggarannya dengan gagah dan tidak tahu malu.
Karena sering terjadi, jika lebih dari sekali kejadian dan bahkan telah merenggut nyawa orang-orang tidak berdosa, maka kita tidak bisa main-main dengan jamak takdir. Semuanya dimaklumi sebagai sudah takdirnya. Bagi Louis Dupre dalam karyanya Religious Mystery and Rational Reflection (1998), ini seperti misteri ilahi dalam teodisi yang dapat diperdebatkan. Setiap kejadian dapat dikategorikan sebagai takdir, karena Tuhan terlibat dalam setiap peristiwa. Untuk konteks kecelakaan maut tersebut, seharusnya takdir dipuncaki pascainvestigasi dan introspeksi total.
Mari membaca jalan raya. Kendaraan setiap hari, minggu, dan bulan selalu bertambah. Setiap produsen kendaraan menampilkan dengan bangga angka penjualan yang terus meroket, pendapatan meningkat dan mendorong antusiasme pasar makin positif menunggu model teranyar beberapa tahun berikutnya. Banjir jempol dan like dari para pengguna, peminat dan pihak-pihak yang berkepentingan berkebutan dengan target penjualan.
Jalan menjadi jenuh membiarkan anak-anak bangsa ini sepertinya bebas menggunakan kendaraan mereka ke mana saja mereka mau. Padahal jalan jenuh tidak lagi ramah lingkungan, tidak ramah anak, tidak ramah lagi bagi pejalan kaki dan pengguna jalan itu sendiri. Bagaimana cara mengurai jalan jenuh dan manusia-manusia yang telah kehilangan kesadaran historisnya. Setiap pengendara berpotensi cepat naik darah, mudah marah, melotot di jalanan. Serangan klakson dan ngegas yang memekakkan telinga. Salah paham sedikit karena salah mengambil keputusan di jalan jadi masalah besar.
Selain itu, sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui BBM jelas akan terus berkurang, sedangkan jumlah kendaran makin bertambah. Jika volume kendaraan bertambah secara signifikan, maka mau dibuat berlipat lajur dan bertingkat fly over tidak akan menyelesaikan dan mengurai kemacetan sampai kapan pun. Karena laju produksi akan berjalan lebih cepat daripada rekayasa lalu lintas dan pengembangan jalan raya.
Masyarakat berlomba-lomba membeli kendaraan untuk berbagai alasan kenyamanan, kebutuhan bahkan gengsi. Jika negara tidak melakukan pembatasan produksi kendaraan dan memodernisasi transportasi umum lebih layak, maka jalan praktis jenuh. Kecelakaan tak terhindarkan. Polisi makin sibuk merekayasa lalu lintas.
Lalu lintas jalan raya sesungguhnya melahirkan ketegangan psikologis, emosional, dan stress bercampur aduk secara spontan dan kadang di luar kesadaran dihimpit suasana terik, bising dan kemacetan. Lambat laun, para pengguna jalan sebagai representasi anak-anak bangsa ini merenggangkan keramahannya karena beban berat jalan jenuh. Sadar berbenah demi masa depan bangsa yang lebih baik sebelum dipuncaki takdir.