32.7 C
Jakarta

Jati

Baca Juga:

Saya tertidur. Selepas keluar dari Delanggu. Saya sudah tidak ingat lagi. Ketika terbangun, sang waktu telah berjalan sepuluh menit, lewat jam 10.00. Saya bersama team MPM PP. Menuju Demak, Jawa Tengah. Ahad wage, 16 September 2018.

Rasanya saya belum pernah lewat daerah ini. Segera saya lacak via google map. Rupanya Pertigaan Kartasuro sudah lewat. Jauh di belakang. Sudah masuk Daerah Boyolali kearah Grobogan.

Memasuki areal perbukitan sedang. Saya menyapu pandang ke kaca mobil sebelah kanan dan kiri.

Sejauh mata memandang, vegetasi tanaman didominasi satu pohon. Hampir tidak ada yang lain. Homogen, yakni Pohon Jati, dalam nama ilmiahnya disebut : Tectona grandis.

Namun, yang membedakan hanya, disebagian tempat ada yang sudah cukup tua, dengan pokok yang kokoh tinggi menjulang. Disebagian lagi, pokok jati masih berukuran sedang dan kecil.

Selebihnya sama. Ribuan hektar hamparan pokok jati, luruh menggugurkan daunnya. Menyisakan hanya beberapa helai daun saja. Yang masih menempel pada ujung sebagian rantingnya.

Ribuan pokok jati yang meranggas itu menyisakan tumpukan dedaunan kering di bawahnya. Di beberapa tempat, masih nampak, abu dan sisa kebakaran di bawah pokok-pokok jati itu. Bahkan di beberapa titik yang lain, terlihat asap mengepul tipis. Tanda masih ada kebakaran.

Dalam satu bingkai waktu, saya sekaligus menemui dua pemandangan.

Pertama, meranggasnya jati. Pemandangan alam yang lumrah dan alami. Berputarnya sebuah proses alam. Siklus kehidupan. Sebuah sunatullah. Ketika puncak kemarau tiba.

Kedua, fenomena kebakaran lahan. Hal yang sebetulnya bisa dikendalikan atau bahkan bisa dicegah. Namun setiap kali pula masih terjadi. Juga ketika puncak kemarau tiba.

Kedua-duanya terjadi. Seperti itu dan selalu seperti itu. Begitu dan selalu begitu.

Diam – diam saya merenung.

Apakah hanya seperti itu ?
Apakah hanya selalu begitu ?
Tidakkah ada “sesuatu” di balik itu ?

Allah SWT berfirman : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal (yaitu), orang-orang yang “mengingat Allah” sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka “memikirkan” tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka (QS. Ali ‘Imran : 190-191).

Pada ayat tersebut, ada 2 (dua) hal, yang Allah perintahkan kepada kita.

Yang pertama kita disuruh mengingat Allah SWT di manapun tempat dan dalam kondisi yang bagaimanapun (berdiri, duduk dan bahkan berbaring). Selanjutnya, kita pun diperintah untuk memikirkan ciptaan-Nya (bumi, langit dan semua fenomenanya).

Setelah kita “mengingat” (dzikir) kepada- Nya, kemudian kita disuruh “memikirkan” ciptaan-Nya.

Pikiran saya langsung melayang kepada sosok pohon satu itu, jati. Mengapa jati dikatakan pohon berkualitas nomer wahid ?

Tentu saja, bukan karena daun dan buahnya. Melainkan karena kualitas kayunya, yang tidak ada satupun pohon lain yang bisa menyaingi.

Jenis kayu satu ini memang memiliki tekstur dan serat yang indah. Sehingga jati menjadi pilihan utama bagi pengrajin terutama di Jawa Tengah.

Keindahan hasil pengrajin kayu jati memang sudah sangat terkenal sampai pelosok dunia. Bukan hanya indah, kayu jati juga mengandung minyak alami yang menjadikannya tahan air, tidak disukai rayap dan serangga lain. Sehingga kayu ini banyak dipilih produsen untuk menghasilkan produk berkualitas prima, tahan lama dan kuat.

Yang menarik perhatian saya, justru bagaimana hebatnya mekanisme pertumbuhan dan perkembangan sang jati.

Jati yang berkualitas tinggi itu, justru dihasilkan dari lahan yang “marginal”, kering dan berkapur. Tectona grandis mampu tumbuh pada tanah yang tak subur dan gersang.

Dia punya mekanisme adaptasi yang luar biasa. Ketika kemarau datang, jati akan meluruhkan daunnya. Meranggas. Sebagai respon untuk mengurangi penguapan air dari tubuhnya.

Seluruh organ-organ tubuhnya stagnan. Tapi bukan mati. Dia mengalami “dormansi”. Akar, batang, cabang, dahan, ranting tumbuh melambat. Dia harus menahan diri. Untuk tidak tumbuh memanjang atau membesar. Atau bahkan, sama sekali mandeg. Untuk sementara waktu.

Dia fokuskan semua kekuatan yang ada untuk mengeraskan dan membentuk isi tubuh batangnya. Untuk pada saat yang tepat, barulah dia memulai lagi pertumbuhannya. Memanjang, melebar, menumbuhkan tunas, akar, batang, daun, dlsb.

Yakni ketika air langit mulai turun, tanda bumi memulai musim penghujan.

Sekali lagi, Allah memberi kita pelajaran. Melalui alam. Sebagaimana jati. Yang merupakan pohon pilihan. Bukankah kita juga manusia pilihan (khoiru ummah).

Namun seringkali kita tidak bisa bertindak sebagaimana jati. Manusia seringkali tidak bisa menahan diri. Kita tidak bisa dan tidak mau “berdormansi”.

Terlalu bangga dengan jumlahnya yang dominan. Mayoritas. Tak mau ambil resiko. Lebih memilih hidup di “lahan sawah” daripada “lahan marginal yang kering berkapur”.

Jadi, tirulah jati. Yang mampu menggunakan potensi dan kelemahannya untuk tumbuh dan berkembang mengikuti sunatullah. Tanpa membantah. Sami’ na wa atho’na.

Sehingga kita bisa menjadi manusia sejati. (se-jati = seperti jati). Sama seperti jati. Manusia yang punya keunggulan di antara manusia yang lain.

Keunggulan bukan karena jumlahnya. Melainkan karena keunggulan dari dalam pribadinya. Yang tercermin dalam akhlaqnya. Setiap hari.

Penulis: Dwi Sumartono

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!