32.5 C
Jakarta

Jawaban KH Dahlan saat Ditegur karena Undang Tokoh Komunis

Baca Juga:

SURABAYA, MENARA62.COM — Keterbukaan KH Ahmad Dahlan pada pemikiran yang beragam, bukan sekedar diucapkan tetapi dilakukan. Ia pernah kerap mengundang tokoh Partai Komunis Indonesia untuk mengisi kegiatan di Muhammadiyah.

“Ketika ditegur oleh kawan seperjuangannya, beliau hanya bilang: ambillah yang baik darinya,” ungkap Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Nadjib Hamid pada Diskusi Publik dalam rangkaian acara Musyawarah Pimpinan Wilayah (Musypimwil) Aisyiyah Jawa Timur pekan lalu seperti dilansir situs PWMU.CO.

Dalam sejarah Muhammadiyah, KH Dahlan memang beberapa kali mengundang atau mempersilahkan para tokoh Komunis untuk berpidato dalam acara Muhammadiyah maupun organisasi otonomnya.

Seusai membentuk Aisyiyah, KH Dahlan menurut Nadjib Hamid,  pernah mengundang tokoh komunis dari Kepanjen, Malang, Woro Sastroatmojo.

Dengan bersemangat, Woro dan satu rekannnya secara fasih menguraikan tentang gerakan Sarekat Islam “Merah” dengan tegas dan lancar. “Bukan intisari pidatonya si pembicara, melainkan tegak-tegap sigap cakap-cukupnya wanita pembicara dan semangatnya,” tulis Kiai Syuja’, yang murid langsung Kiai Dahlan, tentang maksud mengundang tokoh komunis itu, kisah Nadjib

Tak lama berselang, Kiai Dahlan juga menerima permintaan dua tokoh ISDV (PKI tempo dulu), Semaun dan Darsono, untuk berpidato di rapat terbuka Muhammadiyah. Berbeda dengan rapat Muhammadiyah yang biasanya diawali doa, kali ini langsung dengan ketukan palu sebagai tanda acara telah dibuka. “Semaun dalam pidatonya menerangkan disekitar sama rata sama rasa, yang di atas diturunkan, yang di bawah dijunjung,” cerita Syuja’.

Acara kemudian ditutup setelah 1 jam 45 menit, dua tokoh komunis itu berpidato. “….ideologi ISDV remeh, yang kotor saja dapat laku dijual kepada manusia…. Apalagi agama Islam yang datang dari Allah dengan wahyu yang amat suci…” demikian ringkas Syuja’ tentang “mengambil” sisi positif dari pergaulan dengan tokoh PKI.

Nadjib menegaskan, hakikat politik adalah lobi dan komunikasi. Oleh karena itu dalam implementasinya harus cair, tidak perlu dibatasi oleh sekat partai atau golongan apa pun.

“Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan telah memberikan contoh nyata tentang hal tersebut,” tuturnya.

Dicontohkan, ketika KH Dahlan awal mendirikan Muhammadiyah, ia juga bergabung dengan Boedi Oetomo untuk belajar keorganisasian. Sehingga dr Soetomo selaku pendiri Boedi Oetomo pun bersedia bergabung dengan Ormas Islam bersimbol matahari ini. Soetomo bahkan memimpin amal usaha kesehatan (klinik) Muhammadiyah di Surabaya, yang kini berkembang menjadi RS Muhammaidyah Mas Mansyur Surabaya.

Berdasarkan sejarah itu, Nadjib mengimbau agar Aisyiyah rileks dalam menanggapi isu-isu politik, tidak tegang menanggapi perbedaan pandangan dan pilihan politik. Apalagi menganggap politik sebagai aqidah yang tidak bisa berubah. Mengingat, dalam praktiknya politik itu cair. Ditegaskan pula, politik tidak identik dengan partai politik.

Terkait lobi politik, dia memberikan kiat-kiat khusus agar aspirasi Aisyiyah bisa ditampung dalam kebijakan pemerintah daerah. Misalnya dengan mengawal, mulai dari pelaksana di tingkat paling bawah hingga pengambil kebijakan di atas.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah misalnya, Muhammadiyah dan Aisyiyah tidak perlu melakukan politik praktis dengan memberikan dukungan tertulis kepada salah satu pasangan calon (paslon). “Komunikasilah dengan semua paslon dengan cara yang makruf,” ujarnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!