31.6 C
Jakarta

Jelang 2 Dekade UU PKDRT, Ketum Kowani Sebut Kasus KDRT di Indonesia Masih Tinggi

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sudah diundangkan sejak 19 tahun yang lalu. Namun angka KDRT di Indonesia masih tinggi setiap tahunnya. Selain itu, banyak kasus KDRT yang tidak dilaporkan dan diselesaikan sesuai aturan hukum perundang-undangan.

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesoa (Kowani) Dr Ir Giwo Rubianto, M.Pd mengatakan meski UU PKDRT sudah diluncurkan 19 tahun, nyatanya masih banyak kasus-kasus KDRT yang tidak tertangani. “Kasus yang menimpa sebagian masyarakat adalah kasus yang terekspos ke publik, sementara kasus yang terjadi di rumah tangga masyarakat ibarat seperti gunung es yang hanya terlihat puncaknya,” tutur Giwo pada kegiatan Kampanye Jelang 2 Dekade UU PKDRT bertema “Gema Kolaboratif Multistakeholders Menghapuskan KDRT di Ruang Publik” di area car free day Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (15/10/2023).

Menurut Giwo, ada beberapa hal yang disinyalir menjadi pemicu mengapa kasus-kasus KDRT ini tidak terlaporkan meski produk hukumnya sudah ada. Pertama, masih adanya anggapan bahwa KDRT adalah aib keluarga. Akibatnya korban maupun keluarga enggan melaporkan kasus KDRT kepada aparat hukum.

“Orang malu untuk melaporkan KDRT, menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga itu aib. Kalau dilaporkan ke aparat hukum sama artinya membuka aib keluarga,” lanjut Giwo.

Kedua, proses penanganan laporan kasus KDRT yang sangat panjang dan berbelit membuat banyak kasus yang akhirnya tidak tuntas penyelesaiannya. “Mungkin lapor sudah, tetapi butuh saksi-saksi, prosesnya berbelit. Padahal meminta orang lain untuk jadi saksi KDRT juga tidak semua orang mau. Banyak yang tidak mau repot dan tidak mau melibatkan diri pada persoalan keluarga lain,” jelas Giwo.

Karena itu, menurut Giwo pemerintah harus melakukan evaluasi sekaligus mengawal implementasi UU PKDRT di lapangan. Jangan sampai payung hukum yang proses penyusunan hingga pengesahannya memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit pada akhirnya tidak bermanfaat.

Ia juga mengkritisi ketidakjelasan instansi yang bertanggungjawab penuh terhadap implementasi UU PKDRT ini. Produk sudah diluncurkan, namun instansi yang bertanggungjawab  penuh terhadap implementasi UU tidak jelas. “Jadi ketika menggoalkan UU PKDRT maupun produk undang-undang perlindungan pada Perempuan lainnya, seolah hanya mengejar yang penting UU sudah ada, sedang implementasinya bagaimana, tidak jelas,” kata Giwo.

Ia berharap menjelang dua dekade UU PKDRT, pemerintah termasuk lembaga legislative untuk mengevaluasinya kembali. “Harus jelas siapa yang mengawal UU ini di lapangan,” katanya.

Ia juga berharap menjelang dua dekade implementasi UU PKDRT, dilakukan kajian akademik terkait hal-hal teknis di lapangan. Tujuannya agar produk perlindungan hukum ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh kaum perempuan. “Sosialisasi dan edukasi juga perlu terus ditingkatkan berkolaborasi dengan pihak lain,” tegasnya.

Giwo mengaku prihatin bahwa sejauh ini, pos-pos pengaduan kasus KDRT masih sangat minim. Beberapa pos pengaduan hanya disediakan di kantor-kantor miliki pemerintah, rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan lain. Namun di ruang public, pos pengaduan KDRT nyaris tidak ada.

“Tanpa kemudahan menemukan pos pengaduan, korban pun bingung kemana harus melaporkan jika mengalami KDRT,” ujar Giwo.

Kampanye Jelang 2 Dekade UU PKDRT yang menghadirkan sejumlah organisasi perempuan tersebut dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga. Dalam sambutan singkatnya, Bintang berharap dukungan dari semua stakeholder juga organisasi perempuan untuk lebih menggaungkan UU PKDRT. “Kita tunggu aksi semua pihak untuk bersama-sama menggaungkan UU PKDRT dan mengawal setiap kasus KDRT yang ada di lapangan,” tandas Bintang.

Berbagai data menunjukkan, bahwa kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi dari tahun ke tahun. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021 menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual. 1 dari 9 (11,3%) Perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik (8,2%) dan/atau seksual (5,7%) oleh pasangan selama hidupnya.

Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami/pasangan yang terbanyak dialami adalah pembatasan perilaku (30,9% selama hidup; 22% setahun terakhir)Kondisi ini selaras dengan persepsi atau sikap Perempuan yang sebagian besar me. nyatakan setuju terhadap pernyataan bahwa “istri yang baik harus patuh pada suami meskipun bertentangan dengan keinginan istri”.

Sedangkan kekerasan yang dilakukan orang lain atau bukan pasangan adalah 20% selama hidupnya secara fisik (15,4%) dan/atau seksual (5,2%); dan 6% dalam setahun terakhir. Bentuk kekerasan seksual oleh bukan pasangan paling banyak dialami Perempuan adalah dikirimi pesan berbau seksual lewat medsos, perilaku bicara, komentar berbau seksual, diperlihatkan gambar berbau seksual, dan disentuh/diraba bagian tubuhnya.

Sedangkan berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari- Desember 2022 menurut tempat kejadian kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga (KDRT) yakni sebesar 73,1% (8.432 kasus), sementara pelakunya Sebagian besar adalah suami 56,3%. Data terbaru dari Komnas Perempuan dan layanan pengaduan terpadu mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 457.895 kasus.

Dari total jumlah tersebut, ada 61 persen kasus yang terjadi di ranah privat, dengan 91 persennya adalah kasus KDRT. Korban adalah istri dan anak dengan pelaku suami atau ayah. Banyak hal yang menyebabkan KDRT begitu marak di Indonesia misalnya ketidaksetaraan gender, ketidaksetaraan dalam hubungan rumah tangga, ada masalah ekonomi, ketidakadilan sosial, kekerasan keluarga yang merupakan budaya tersembunyi, dan kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak individu.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!