Kambing hitam ini tidak enak untuk dijadikan kambing guling. Ketika Presiden Joko Widodo memberi sambutan dalam acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-16 Partai Hanura di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (21/12/2022), ia menyampaikan kegundahannya karena sering jadikan “kambing hitam”.
Ia mengeluhkan soal banyaknya peristiwa politik di Republik ini selalu dikaitkan dengan Istana, sebagai “kambing hitam”. Mungkin Presiden lupa peribahasa kalau pohon yang tinggi, anginnya juga kencang.
Tidak heran kalau Presiden juga mengungkapkan gerundelannya tentang banyaknya tudingan kepada pihak Istana di balik kegagalan sejumlah pihak yang tidak bisa mendapatkan keinginannya.
Simak beberapa keluhannya, karena gagal maju sebagai calon presiden atau capres di Pilpres 2024 (padahal belum ada penetapan capres oleh KPU), Istana maupun pemerintah, selalu menjadi sasaran empuk menjadi kambing hitam. Ia pun merasa heran kalau dirinya diikutkan atau jadi sasaran kemarahan pihak lain. Lalu, Presiden mengaku tidak memiliki urusan untuk itu, meski tentu saja, baik langsung maupun tidak ia punya kaitan politik. Tidak lupa, Presiden pun mengajak seluruh pihak berakal sehat dalam menjalani dunia perpolitik.
Sebuah pesan yang sering disampaikan Rocky Gerung, dosen UI yang kerap kritis atas berbagai hal yang tidak masuk akal, atau nalar sehat.
SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun juga sering katakan sebagai Presiden yang suka mengeluh. Lihat saja jejak di media seperti Tempo.co, Jawapos.com, cnnindonesia.com, Youtube, dan di media sosial. Padahal, SBY juga mengingatkan seluruh anak negeri ini jangan menjadi bangsa yang suka mengeluh dan menyalahkan orang lain.
SBY pernah mengeluh tentang keselamatannya, apa dia lupa dan tidak percaya pada kedigdayaan Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres). Paspampres terdiri dari anak negeri terbaik dan mendapatkan pelatihan terbaik untuk mengawal orang terpenting di negeri ini.
Megawati
Presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri pun, pernah mengeluh. Tempo.co pernah melaporkan, Megawati mengeluh tentang ekonomi Indonesia yang ibarat kapal hampir tenggelam. Padahal saat itu Megawati menjadi orang paling bertanggungjawab soal ekonomi Indonesia.
Ayah Megawati, Presiden pertama Indonesia Soekarno pun pernah mengeluhkan tentang kekuasaannya yang dipertanyakan publik. Pada amanat Presiden Soekarno di depan 1500 Pemuda Marhaenis di Istana Negara tanggal 20 Desember 1966, Soekarno pernah mengeluhkan kalau dirinya belakangan ini sering mendapat hantaman.
Berikut sekelumit pidato Soekarno. ….Saudara-saudara, waktu belakangan ini saya, waduh, bukan main, dihantam dari kiri, dihantam dari kanan. Kiri bukan dalam arti politik. Dihantam wah tiap hari, ada saja hantaman kepada saya.
Saudara-saudara, sebagai kukatakan tempo hari waktu aku memberi amanat kepada, — kepada apa, Isnaeni? — Musyawarah MPP, PNI Marhaenis, sya berkata bahwa hantaman-hantaman itu sebenarnya adalah saya anggap sebagai historische nogwendigkeit, keharusan sejarah. Keharusan sejarah dalam revolusi. Tidak ada satu revolusi yang berjalan licin. Tidak ada satu revolusi tanpa garis revolusi itu dihantam, dicerca, dimaki oleh golongan-golongan yang merasakan dirinya dirugikan oleh revolusi. Karena itu manakala sya sudah habis-habisa dicerca, dimaki, dicerca, dimaki, bahkan difitnah, tadinya saya diam-diam saja, malahan sebagai kukatakan tadi sebagai satu historische nogwendigkeit dalam revolusi. Bahwa tiap-tiap revolusi tentu mendapat tantangan. Tidak ada satu revolusi tidak mendapat tantangan.
Selanjutanya, silahkan saja simak teks pidato Presiden Soekarno yang sudah dibukukan dalam buku Revolusi Belum Selesai. Buku yang diterbitkan oleh Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah tahun 2003.
Sebagai catatan, menariknya Soekarno mengeluh sambil terus memberikan semangat revolusi. Ia mengeluh tentang masyarakat Indonesia yang nggak mudeng-mudeng dengan logika berpikir revolusi yang ia harapkan. Ia mengeluhkan rekan seperjuangannya yang satu persatu meninggalkan dan berpikiran berseberangan. Tapi ia lupa, pada semangat yang ia katakan sendiri bahwa itu semua historische nogwendigkeit.
Mungkin yang mengingat pesan historische nogwendigkeit yang secara teks bisa dikatakan sebagai keharusan sejarah itu hanya dilakukan oleh Presiden BJ Habibie dan KH Abdurrahman Wahid. Habibie menjalankan dengan kerja keras, bahkan ditengah gejolak politik yang keras bisa menurunkan nilai tukar Dollar AS terhadap Rupiah. Sedangkan Presidah Abdurrahwan Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menangkis dengan mengatakan “begitu saja kok repot.”