27.8 C
Jakarta

Kami Ingin Anak-anak Pulang ke Indonesia…..

Baca Juga:

PUDINAUNG girang memperoleh birth certificate atau akta kelahiran bagi 2 anaknya, Quennly dan Jerry. Akta kelahiran yang diurusnya saat ada kegiatan Pembinaan terhadap WNI dan Pemberian Akte Kelahiran di Pulau Balut oleh Konsulat Jenderal RI Davao City bersama UNHCR, Kementerian Kehakiman, Biro Imigrasi dan Public Attorneys Office Filipina akhir 2017 lalu setidaknya memberikan identitas lebih jelas tentang siapa anak-anaknya.

Di depan Walikota Munisipal Sarangan, Pudinaung, pria berusia sekitaran 36 tahun tersebut berulangkali mengucapkan terimakasih kepada pemerintah Indonesia. Program pemberikan akta kelahiran yang mendapat dukungan pemerintah Filipina melalui Municipal Resolution tersebut telah memudahkan dirinya maupun warga Indonesia lain di Municipal Sarangani merenda mimpi, membawa anak-anak mereka ke bangku sekolah. Lalu membentangkan harapan untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi, negeri Indonesia. Negeri indah yang sudah puluhan tahun ditinggalkan.

Municipal Resolution itu sendiri merupakan program pemerintah Filipina untuk memberikan kemudahan bagi warga keturunan Indonesia, mendapatkan dokumen kependudukan atau perbaikan kesalahan pencatatan (correction of entry) pada akta kelahiran tanpa harus melalui prosedur yang berbelit-belit serta dibebaskan dari keharusan membayar biaya pencatatan sipil.

Selama ini, Pudinaung tidak bisa mendaftarkan anaknya sekolah, karena tidak memiliki identitas diri. Sekolah-sekolah di Filipina seperti halnya di Indonesia, mengharuskan siswanya memiliki birth certificate baik untuk siswa lokal maupun siswa pendatang.

Lama ingin mengurus, tetapi tidak tahu harus bagaimana dan kemana, dari mana biayanya. Sebab sebagai pendatang ilegal, Pudinaung sendiri tidak memiliki kartu identitas diri.

Penyerahan birth certificate oleh KJRI Davao kepada keluarga Pudinaung di Munisipal Sarangan. (ist/kemenlu)

“Selama anak-anak tidak punya akta kelahiran, maka mereka tidak bisa sekolah. Bagaimana bisa mengubah nasib kalau tidak sekolah,” katanya seperti dikutip dari laman kemenlu.go.id.

Melalui program pemberian akta gratis dari pemerintah Indonesia, kini Pudinaung tidak hanya berhasil memberikan birth certificate bagi anaknya. Ia juga memiliki kartu keluarga dengan stempel Indonesia.

Pudinaung tinggal di Pulau Balut sebagai generasi ketiga. Nenek moyangnya berasal dari Indonesia tepatnya Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.  Aktivitas sebagai nelayan yang dilakukan sejak 1950-an menyebabkan nenek moyang Pudinaung berinteraksi dengan warga Filipina, kemudian tinggal di Mindanao.

Perpindahan penduduk tanpa prosedur legal tersebut terus berlangsung. Hingga pada tahun 1970-an, banyak warga keturunan Indonesia yang datang ke Mindanao sebagai buruh perkebunan nanas dan buruh pemetik kelapa.

Konsulat Jenderal RI di Davao pada tahun 2017 memperkirakan jumlah WNI di Pulau Mindanao sekitar 53.000 jiwa. Tetapi data Kementerian Luar Negeri RI memperkirakan jumlahnya mencapai 15.000 jiwa. Mereka tinggal menyebar di sejumlah perkebunan kelapa atau nanas di Pulau Saranangi dan Pulau Balut, satu lokasi yang sangat jauh dari kota-kota besar seperti Davao City ataupun General Santos City di Pulau Mindanao, Filipina Selatan.

Bekerja sebagai nelayan atau buruh perkebunan nanas dan sawit, kehidupan warga keturunan Indonesia sangat lekat dengan kemiskinan. Penghasilan keluarga rata-rata hanya berkisar Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan jika di kurs dengan mata uang rupiah.

Mereka juga tidak memiliki akses yang baik terhadap pangan, kesehatan apalagi pendidikan.

Mimpikan anaknya sekolah

Karenanya, untuk mengubah nasib anak keturunan, keluar dari kemiskinan struktural, sekolah menjadi impian kedua setelah memperoleh birth certificate dari pemerintah Indonesia. Dan gayung pun bersambut ketika kemudian pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Luar Negeri pada tahun 2007 membangun sejumlah Learning Center (pusat pembelajaran) dibeberapa kawasan permukiman WNI, seperti di Tupi, Laensasi, Isulan, Magdub, Kuilantang, dan Balunto, Pulau Mindanao.

Tetapi keberadaan Learning Center tersebut dinilai kurang efektif. Guru harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, naik turun gunung, menyeberangi sungai dengan waktu tempuh bisa 5 jam. Demikian pula muridnya, acapkali mereka harus menempuh perjalanan 1 hingga 2 jam untuk mencapai learning center dengan berjalan kaki.

Elia Toding Bua, guru di Sekolah Indonesia di Davao, Filipina.

“Ya, setelah menempuh perjalanan sangat jauh dan melelahkan, kami hanya mengajar efektif satu atau dua jam saja,” kata Elia Toding Bua, guru Sekolah Indonesia Davao  kepada Menara62.com.

Itulah sebabnya kemudian pemerintah Indonesia membangun Sekolah Indonesia Davao (The Indonesia School of Davao). Sekolah tersebut saat ini menampung 107 anak keturunan warga Indonesia di Pulau Balut, Sangarani dan kawasan permukiman WNI lainnya di perbatasan Filipina-Indonesia.

Di sekolah yang berdiri di area KJRI Davao City, Elia Toding Bua mengatakan anak-anak keturunan Indonesia belajar Bahasa Indonesia, matematika, IPS, seni budaya, olahraga, Bahasa Inggris dan pelajaran lain layaknya sekolah Indonesia. Mereka menari, menyanyikan lagu-lagu nasional, juga lagu-lagu daerah Indonesia seperti lagu Batak, lagu Jawa, Betawi dan lagu Sunda.

“Kami menggunakan kurikulum tahun 2013, materi dan buku teks yang sama persis dengan yang digunakan di Indonesia. Jadi kami memang membawa Indonesia ke sini,” ujar Elia Toding Bua.

Elia Toding Bua menceritakan bagaimana para orangtua antusias menitipkan anak-anaknya ke asrama agar bisa bersekolah. Mereka bahkan ada yang meminta agar guru-guru mengajarkan lebih banyak lagi tentang Indonesia.

Ada Carmi Rose, kelas VII, Merry Grace, kelas VII dan Romel kelas IV. Mereka tiga bersaudara yang dititpkan oleh sang ibu agar belajar banyak tentang Indonesia. Mereka tidak hanya bisa bersekolah, tetapi juga mendapatkan birth certificate berstempel Indonesia.

Ada juga Joshua Barahama, kelas XII. Siswa yang terpilih menjadi ketua OSIS tersebut kini tinggal di asrama Sekolah Indonesia Davao seorang diri. Kedua orangtuanya telah kembali ke Sangihe, Sulawesi Utara setelah memperoleh paspor dari pemerintah Indonesia.

Joshua Barahama, kelas XII, bersama teman-teman di Sekolah Indonesia di Davao. (ist/elia)

Rencananya, Joshua akan pulang ke Indonesia dan melanjutkan pendidikannya di Indonesia setelah lulus dari Sekolah Indonesia Davao.

“Sebenarnya selama tinggal di Filipina, para orangtua mereka tidak pernah ke Indonesia. Apalagi anak-anaknya. Karena untuk ke Indonesia membutuhkan biaya tidak sedikit. Mereka harus pergi naik perahu selama kurang lebih sepekan,” lanjut Elia Toding Bua.

Sekolah kata Elia Toding Bua, awalnya memang tidak dilakukan secara serius oleh anak-anak Indonesia di Davao City. Sebab anak-anak berpikir, usai mengikuti program sekolah selama 12 tahun, mereka harus kembali ke rumah orangtua. Hidup berkutat dengan kemiskinan, tidur di atas tikar, bernaung di rumah beratap jerami dan berdinding bambu.

“Memang dulunya awal keberadaan kita disana, anak-anak minat belajarnya kurang, itu karena mereka lebih suka tinggal di asrama, semuanya dibiayai, kasurnya empuk fasilitasnya luar biasa. Tapi kalau pulang ke rumah, kasurnya dari tikar, rumahnya dari bambu, sehingga kalau tamat mereka berpikir pasti akan kembali ke keluarga jadi buruh, jadi nelayan. Jadi mereka maunya di asrama terus,” katanya.

Tetapi setelah pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud membuka akses lebih luas lagi bagi anak-anak Indonesia di Filipina untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, anak-anak mulai bersaing ketat. Mereka belajar keras untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan ke universitas melalui program beasiswa Bidikmisi.

“Nah setelah kakak-kakak mereka sudah dikuliahkan di Indonesia sekarang terpacu, mereka bersaing, karena dijanjikan bahwa mereka yang berprestasi akan dikuliahkan. Salah satu lulusan yang berhasil ada yang jadi dubes,” tambahnya.

Lulusan Sekolah Indonesia Davao kini sudah ada yang melanjutkan ke IPB, UNS dan sebagian lagi ke Universitas Negeri Manado dan Banjarmasin.

Elia Toding Bua mengatakan kegembiraannya karena anak-anak Indonesia di Filipina sudah bisa mendapatkan hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia berupa birth certificate. Dengan memiliki birth certificate,  anak-anak bisa sekolah di mana saja.

Pemerintah Filipina sendiri tidak melarang anak-anak Indonesia bersekolah di sekolah Filipina. Kebijakan ini berbeda dengan Malaysia yang melarang anak Indonesia bersekolah di sekolah Malaysia.

“Orang-orang Indonesia di Mindanao memang tidak pernah pulang ke Indonesia. Tetapi mereka kalau ditanya apakah mau pindah jadi warga negara Filipina, umumnya tidak mau. Mereka mau tetap jadi orang Indonesia,” jelas Elia Toding Bua.

Beberapa anak-anak keturunan Indonesia di Davao. (ist/elia)

Meski sebagai warga negara Indonesia, mereka belum sekalipun melihat alam Indonesia, belum sekalipun menginjakkan kaki di bumi Indonesia apalagi mencicipi kue pembangunan nasional. Tetapi darah Indonesia yang mengalir di tubuh mereka telah memberikan harapan bagi anak-anak mereka untuk pulang ke Indonesia. Saat itu akan tiba, dimana mereka akan berkata “Kami Ingin Anak-anak Pulang ke Indonesia.”

Penuhi Hak Anak

Anak-anak keturunan warga Indonesia yang berada di Filipina, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise tetap harus mendapatkan haknya sebagai anak sekaligus sebagai warga negara Indonesia. Karena itu pemerintah terus berupaya memenuhi hak mereka termasuk diantaranya hak sipil berupa akta kelahiran.

“Setiap anak memiliki hak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Hak-hak tersebut harus tetap terus terjaga keutuhannya dimana pun anak tinggal,” kata Yohana dalam siaran persnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise. (ist)

Pemenuhan hak sipil anak ini sesuai dengan Konvensi Hak Anak (KHA), UU NO.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 5. 27, dan 28, UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan  pasal 27, serta UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan pasal 5.

Selain itu masih ada  Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010 – 2014, PP nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk, serta Perpres no. 25 tahun 2008 tentang persyaratan dan Tata cara Pendaftaran Penduduk dan pencatatan Sipil.

Konvensi PBB 1989 mengenai hak-hak anak Pasal 7 menyatakan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahiran dan harus mempunyai nama serta kewarganegaraan.

“Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada 1990. Dengan demikian, maka Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan dan taat aturan dari konvensi tersebut,” kata Yohana.

Menurut Yohana, pencatatan atau akta kelahiran merupakan bukti sah mengenai status dan peristiwa kelahiran seseorang yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Anak yang dilaporkan kelahirannya akan terdaftar dalam Kartu Keluarga dan diberi nomor induk kependudukan (NIK) sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya.

“Kepemilikan akta kelahiran salah satu bukti terpenuhinya hak identitas anak dan kesadaran akan pentingnya pencatatan kelahiran anak mulai tumbuh di Indonesia,” lanjut Yohana.

Namun sayangnya di Indonesia saat ini masih ditemui anak yang identitasnya tidak atau belum tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara de jure keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Hal ini menyebabkan anak lahir tidak tercatat namanya, silsilah dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaanya.

Seperti anak-anak  keturunan Indonesia yang tinggal di Mindanao dan beberapa wilayah lain di Filipina. Juga di daerah Serawak dan Sabah Malaysia dimana 70 persen anak TKI tidak memiliki akta kelahiran.

Agung Setiawan, seorang guru di CLC Sabah Malaysia mengatakan tidak ada dokumen apapun yang dimiliki oleh anak-anak TKI. Mereka cuma bisa berbahasa Indonesia sedikit, dan tidak tersentuh oleh program pendidikan di Tanah Air.

“Orangtua mereka adalah pekerja di perkebunan sawit. Masuk ke Malaysia dengan cara ilegal. Karenanya, anak-anak tidak memiliki dokumen kependudukan, seperti halnya orangtua mereka,” jelas Agung.

Agung Setiawan, guru CLC Sabah, Malaysia.

Ia yang bertugas di CLC Sabah selama 3 tahun memahami betul mengapa anak-anak Indonesia di wilayah tersebut tidak memiliki akta kelahiran. Selain status mereka ilegal, prosedur yang sulit, biaya yang mahal , orangtua juga tinggal di daerah yang sangat jauh dari kota. Mereka menyebar di daerah perkebunan yang sulit dijangkau petugas catatan sipil Indonesia.

Kepemilikan Akta Kelahiran Rendah

Dengan tidak tercatatnya identitas seorang anak jelas Menteri Yohana menyebabkan risiko eksploitasi anak semakin tinggi. Anak bisa menjadi korban perdagangan manusia, mengalami kekerasan, ataupun melanggar aturan tenaga kerja dan di seluruh dunia. Indonesia menjadi  salah satu negara yang cakupan pencatatan kelahirannya kurang baik.

Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2016 menunjukkan masih rendahnya kepemilikan akte kelahiran anak usia 0-17 tahun. Survei tersebut menunjukkan hanya sekitar 66,30 % yang memiliki akte kelahiran dan dapat menunjukkannya.

Adapun yang mengaku memiliki akta kelahiran namun tidak dapat menunjukkannya sekitar 15,38 %. Sedangkan yang tidak memiliki akte kelahiran ada sekitar 18,05 %, bahkan ada sekitar 0,27 % yang tidak tahu tentang akta kelahiran.

Menurut Yohana, ada beberapa alasan bagi orang tua yang mempengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran di Indonesia. Alasan yang paling banyak adalah tidak adanya biaya untuk mengurus akte kelahiran (33.87 %). Padahal Pemerintah telah menggratiskan biaya kepengurusan dengan menetapkan biaya pembuatan akta kelahiran secara gratis walaupun memang pengurusan akta kelahiran bayi yang lewat dari 60 hari disetiap daerah mempunyai ketentuan dendanya masing masing.

Peta kepemilikan akta kelahiran anak di Indonesia. (ist)

Sementara itu sebanyak 7.56 % terungkap bahwa jarak juga menjadi salah satu faktor bagi orang tua untuk tidak mengurus akte kelahiran anaknya. Presentase yang cukup tinggi adalah sekitar 9,33 % orang tua tidak tahu cara mengurus akte kelahiran atau tidak tahu jika kelahiran anaknya harus dicatat.

Dari 27 provinsi di Indonesia, ada lima Provinsi dengan kepemilikan akte kelahiran anak yang harus menjadi perhatian khusus. Yang terendah adalah Papua (57.85%), disusul Nusa Tenggara Timur (46.06%), Sulawesi Tengah (32.53%), Papua Barat (29.58%) dan Sumatera Utara (29.56%). Bila melihat dari 3 provinsi terendah yaitu Papua, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah yang memiliki realisasi kurang dari 70%, hal ini berarti bahwa masih ada lebih dari sepertiga anak di tiga provinsi diatas yang tidak terpenuhi hak sipilnya.

Yohana mengatakan di Provinsi Papua alasan paling dominan sebesar 38.64% adalah tidak tahu bahwa kelahiran harus dicatatkan atau tidak tahu cara mengurusnya. Hal Ini bisa disebabkan oleh faktor lokasi geografis yang cukup sulit, sehingga penyebarluasan informasi mengenai akte kelahiran ini sulit dijangkau penduduk setempat.

Sementara di Provinsi Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur selain alasan lainnya, alasan yang dominan bahwa anak tidak mempunyai akte kelahiran dikarenakan akte belum terbit. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan dan perhatian bagi dinas terkait kecepatan proses pembuatan akta kelahiran.

“Cukup memprihatinkan memang jika melihat kondisi pencatatan hak sipil anak di Indonesia saat ini, ternyata masih ada orang tua yang tidak menganggap penting keabsahan anaknya,” tukas Yohana.

Padahal pembuatan akta kelahiran bagi anak adalah sebuah kewajiban para orang tua karena akta kelahiran selain dapat berfungsi sebagai identitas anak, administrasi kependudukan (KTP, KK). Dokumen tersebut juga dapat berfungsi untuk pengurusan sekolah, pendaftaran pernikahan di KUA, mencari pekerjaan yang layak, sebagai persyaratan pembuatan paspor, dapat untuk mengurus hak ahli waris, pengurusan asuransi, tunjangan keluarga, mengurus hak dana pensiun dan yang terpenting bagi umat muslim di Indonesia sebagai syarat untuk pengurusan pelaksanakan ibadah haji.

Permudah Kepengurusan Akte Kelahiran

Karena begitu pentingnya pencatatan hak sipil bagi anak, Pemerintah dikatakan Yohana terus melakukan upaya dan sosialisasi secara efektif kepada masyarakat, serta menginformasikan prosedur dan apa saja syarat-syarat yang dibutuhan sehingga hak sipil anak dapat terpenuhi. Dengan harapan masyarakat, keluarga dan orang tua memiliki kesadaran tinggi untuk membuat akta kelahiran anak sehingga pemenuhan hak anak sebagai masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa tetap terus terjaga.

Akta kelahiran, hak sipil anak paling mendasar. (ist/kompas)

Pemberian akte kelahiran bagi anak-anak keturunan Indonesia baik di Filipina maupun Malaysia, menjadi salah satu impelemntasi dari nota kesepahaman yang ditandatangangi 8 kementerian pada 20111. Nota kesepahaman 8 kementerian tersebut diinisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam rangka mempercepat kepemilikan akta kelahiran guna melindungi anak dan masa depannya. Adapun 8 kementerian tersebut adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Sebagai tindaklanjutnya telah diterbitkan Pedoman Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka perlindungan Anak yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 06 Tahun 2012, yang diharapkan dapat merespon permasalahan tersebut.

“Tentu saja ini semua akan terus kita lanjutkan, bahkan kembangkan dan sempurnakan sehingga benar-benar bisa mencapai tujuan utamanya yaitu kepemilikan Akta Kelahiran Anak 100 persen,” tegas Menteri Yohana.

Ia mengajak agar semua elemen masyarakat bersama-sama menggali bahan-bahan pemikiran terbaik, mengembangkan inovasi-inovasi dengan pendekatan kearifan lokal budaya daerah dan kreativitas yang ”out of the box” serta memobilisasi semua kemampuan untuk mewujudkan pengakuan atas penghargaan anak, pemenuhan sepenuhnya hak sipil anak sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia dan tujuan konstitusi negara Republik Indonesia.  (m.kurniawati)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!